Pemimpin dan Tambang di NTT

Alfred Tuname
Alfred Tuname

Oleh: ALFRED TUNAME

Rakyat NTT sedang risau. Di tengah persoalan lingkungan dan sosial yang akut, pemimpinnya malah kepincut akan lelaku politik yang korup. Langgam kepemimpinan lokal yang korup dan busuk ini semakin memporak-porandakan perikehidupan masyarakat lokal NTT. Siklus kesengsaraan pun sering datang seiring putaran tongkat kepemimpinan politik.

Sejarah persoalan masyarakat nyaris tidak lepas dari pola kepemimpinan. Sastrawan Rusia, Leo Tolstoy menulis, leader is slave of history. Memimpin berarti bertransaksi dengan sejarah. Lompatan besar dalam sejarah ditandai dengan lahirnya pemimpin besar. Di situ ada benang merah, perubahan.  Masyarakat membutuhkan pemimpin sebagai konduktor perubahan. Seorang pemimpin adalah seorang yang mengerti kebutuhan dan harapan masyarakat. Di sini, mengutip Profesor Edwin A. Locke, kepemimpinan adalah proses mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan yang sama (bdk. Susan Elaine Murphy dan Ronald E. Ragio, 2003).

Kesejahteraan dan keadilan merupakan teleologi politik sebuah organisasi bernama provinsi NTT. Pemimpin politik NTT mau tidak mau harus berpikir dan berbuat untuk menghadirkan kesejateraan sebagai wujud kebaikan bersama (bonum communae) dan keadilan sebagai cita-rasa perikehidupan bersama (sensus communis). Bagi masyarakat NTT, kesejahteraan berarti melepas beban litani kemiskinan dan kesengsaraan. Kesejahteraan berarti lapangan kerja luas, kesempatan pendidikan layak, pelayanan kesehatan terjangkau. Keadilan berarti akses yang sama kepada sumber-sumber ekonomi dan pengakuan atas hak hidup individu maupun komunal. Pemimpin politik NTT harus mengerti dan memahami semua kebutuan dan harapan masyarakat ini.

Pengabaian kebutuhan dan harapan bersama adalah ciri kepemimpinan “fasilitatif” (facilitative leadership). Sebab, pemimpin politik memanipulasi kekuasaan dan otoritas politiknya demi kepentingan dan keuntungan pribadi dan kekompok. Kebijakan dan keputusan politik dipaksakan berkompromi dengan kepentingan pribadi dan kelompok.  Nah, langgam kepemimpinan seperti ini akan “menambang” kebobrokan dalam politik berdemokrasi.

Kuda Troya Politik

Politik telah tercerap dalam urusan privat, tidak lagi menyangkut urusan publik (res publica). Politik tidak lagi medium menuju kebaikan dengan citra-rasa keadilan bersama. Tetapi, secara bersama-besama, politik telah dibajak oleh pihak-pihak yang mengejar keuntungan pribadi dan kelompok. Politik menjadi begitu dangkal diterjemahkan sebagai perang tanding untuk kekuasaan; perang dengan “berkuda” (ex equo pugnare). Pada konteks NTT, perusahaan tambang merupakan “kuda Troya” politik para politisi.

Dalam epik Yunani, kuda Troya merupakan sebuah kuda kayu (wooden horse) raksasa ciptaan Odysseus, sebagai persembahan kepada dewi Athena.  Di perut kuda kayu itu terdapat para komandan pasukan Yunani. Kuda kayu raksasa itu digunakan dalam siasat perang. Dengan siasat itu, kemasyuran kota Troya di Asia musnah jadi abu oleh pasukan Yunani dalam perang Troya.

Persis kuda Troya, para pemimpin politik meyakinkan masyarakat bahwa sektor pertambangan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Ternyata, itu hanyalah siasat busuk untuk mengelabui masyarakat. Sebagian besar PAD kabupaten di NTT disumbangkan oleh sektor pertanian. Tambang hadir hanya sebagai beban pembangunan (development expense) dengan “multiplier effect” yang begitu besar bagi penghancuran sektor pertanian dan kehidupan rakyat. Tanah-tanah ulayat rakyat  dan lingkungan hidup menjadi korban operasi tambang. Bagi masyarakat NTT, tambang adalah “senjata pembunuh massal”. Tetapi, mengapa pemimpin politik NTT masih bersembunyi di balik dalih korelasi posisif  antara pertumbuhan ekonmi dan tambang?

Motivasi proliferasi profit dan timbunan kuasa-harta menjadi modalitas perselingkuhan investor tambang dan pemimpin politik. Pada Realpolitik NTT, intimasi perselingkuhan ini terjadi bergitu riil di belakang publik. Negosiasi, lobi dan kompromi sebagai “perangkat lunak” (software) perselingkuhan dilakukan pada ruang remang yang kedap publik. Biasanya, event kontestasi politik menjadi “ranjang” perselingkuhan investor tambang dan pemimpin politik. Ketika Pilkada membutuhkan dana operasional kampanye, investor menawarkan bantuan karikatif “pra-bayar”. Investor tambang bermutasi menjadi investor politik.

Pasca-Pilkada, mutualisme oportunis itu akan (mudah) tergenapi. Calon pemimpin (politisi) menang; administrasi perizinan tambang terurus dengan gampang. Kekuatan politik digunakan oleh investor tambang untuk merebut dan menghacurkan hak komunal dan mata pencaharian masyarakat. Masyarakat adat dan petani selalu menjadi korban kebijakan dan keputusan penguasa yang mengizinkan pertambangan. IUP (Izin Usaha Pertambangan) yang diterbitkan pemerintah daerah menjadi surat sakti sekaligus penjamin bagi perusahan tambang. Atas tinda IUP, masyarakat menjadi korban yang dikorbankan (victimized victim) pasca-Pilkada.

Pemimpin Transformasional

Mutualisme oportunis investor tambang dan pemimpin politik di atas menunjukan bahwa “habitus” kepemimpinan di NTT tidak pro-rakyat.  Pemimpin (politisi) menjadikan tambang sebagai kuda troya untuk setumpuk kekuasaan dengan pundi-pundi harta dan privilese. Pemimpin seperti ini bertipikal pemimpin transaksional. Pemimpin transaksional bersandar pada doktrin “do ut des” (memberi dan menerima).  “Hukum” pertukaran dianggap menjadi neraca imbang politik.

Pemimpin transaksional terkungkung “hukum” pertukaran, yakni politik yang menggunakan siasat kotor penuh intrik. Uang, jabatan, status sosial, kebijakan, keputusan dan bahkan harga dirinya digunakan sebagai alat tukar politik. Money politics pun jadi fenomena Pilkada. Politisi memberikan uang untuk mendapatkan suara (konstituen). Atau, pemberian bantuan/subsidi sebagai kampanye pencitraan politik. Tujuannya adalah kekuasaan semata.

Karena fokus politik adalah kekuasaan, maka semakin berat bagi masyarakat untuk mengharapkan pemimpin yang bersih. Cara kerja politik yang kotor tidak bisa menghasilkan pemimpin yang bersih. Seperti pepatah, air yang kotor tidak mungkin membersihkan piring yang kotor, begitu pula halnya relasi kualitas pemimpin kotor dan masyarakat. Pemimpin yang lahir dari politik transaksional tidak akan mampu mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat.

Filsuf William James menulis “leadership means leadership in thought as well as in action”. Inilah kaidah integritas seorang pemimpin politik. Integritas sangat dekat kaitannnya dengan moralitas dan etika politik. Tanpa integritas, tidak akan pernah muncul sosok pemimpin yang transformasional. Padahal, masyarakat membutuhkan sosok pemimpin yang transformasional, yakni pemimpin yang mampu menggerakan dan membawa perubahan di masyarakat.

Pemimpin politik transformasional berdedikasi pada kebaikan bersama dan keadilan, bukan memperlebar mahligai kesengsaraan masyarakatnya. Ia membebaskan rakyatnya dari beban kemiskinan. Pemimpin politik transformasional yang berdedikasi tinggi pada kesejahteraan dan keadilan akan memungkinkan demokrasi, dan fidelitas politik emansipatoris akan kesejahteraan dan keadilan membuat demokrasi semakin baik. Kita yakin, demokrasi di NTT akan membuahkan emansipasi sosial dan individu bagi segenap rakyat NTT, tanpa tambang.

Penulis adalah pemerhati isu-isu sosial politik di NTT. Saat ini tinggal di Yogyakarta

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini