Sollan Jebatu : Gunung Sampah di Bantar Gebang

Kolom ini, disediakan khusus oleh Floresa.co untuk tempat berbagi pengalaman, cerita-cerita bagi anak muda, putera-puteri asal NTT . Isinya tak seserius – kalau boleh dikatakan demikian – dengan tulisan-tulisan lain yang dipublikasi Floresa.co. Di sini, kami membagi tulisan-tulisan santai, yang ringan untuk dicerna. Jika Anda tertarik menulis di sini, silahkan kirim artikel ke [email protected].

 

11077384_757799597668922_7432257333694004806_o

Bantar Gebang adalah salah satu kawasan kumuh di Jakarta.  Di tempat ini, sampah sudah menimbun layaknya gunung.Bagi masyarakat kelas bawah, tempat ini menjadi lapangan kerja untuk menyambung hidup.

Akan tetapi, gambaran kehidupan miris tersebut seringkali diperparah dengan pandangan sebagian orang yang kerap menyepelehkan dan menghina mereka dengan memberikan label-label tertentu.

Adalah  Sollan Jebatu, Mahasiswa Teknik Informatika di Universitas Nasional Jakarta, yang melihat sisi berbeda dari kehidupan masyarakat di sana. Alumnus Seminari Yohanes Paulus II Labuan Bajo ini pernah tinggal di antara kaum miskin tersebut.

Di ruang Aletheia ini, pemuda kelahiran 14 April 1992 ini akan menyajikan refleksinya:

 

Bantar Gebang adalah lembah para petarung. Bertarung mengumpulkan “rupiah” demi sesuap nasi dan kebahagiaan buah hati. Sebagian besar masyarakat Bantar Gebang berprofesi sebagai pemulung. Keadaan hidup yang serba terbatas akan menjadi kesan awal jika kita menginjakkan kaki di sini.

 

Mereka terpenjara dalam lingkungan dengan tuntutan hidup yang tinggi. Meski tantangan dan rintangan yang mereka hadapi lebih sulit dari sebagian orang di sekitar mereka, toh mereka tetap memilih bahagia. Mereka sudah terbiasa tegar meladeni pelbagai tekanan hidup, yang mana sebagian orang belum tentu mampu mengatasinya. Bagaimana mungkin saya membiarkan diriku menyerah, saat orang-orang di samping kiri dan kananku mati-matian mempertahankan  hidup? Berada di sini, di tempat pembuangan terakhir sampah-sampah Jakarta dan sekitarnya, rasa-rasanya hidupku terasa lebih hidup.

 

Di negeri kita, hampir tak ada orang yang sejak sediakala memilih berprofesi sebagai pemulung. Menjadi pemulung, mungkin hanya opsi terakhir saat semua pintu lapangan kerja tak memberi mereka izin masuk. Apalagi, jika mereka hanya memiliki sedikit nyali untuk berbisnis. Memulung sebagai pintu terakhir.

Butuh orang yang benar-benar peduli yang mampu mengapresiasi profesi yang satu ini. Selebihnya, orang lebih memilih memandang dengan sebelah mata. Biasanya, dalam situasi sulit dan tertekan secara sosial, kepribadian dan mental kita teruji. Soal kualitas, mental dan kepribadian mereka pastinya telah teruji. Bayangkan saja setiap hari mereka setia dengan aktivitasnya, tanpa kenal lelah. Bangun pagi, dengan karung dan ganco, mulai memilih dan memilah jenis sampah mana yang layak dikoleksi dan dijual.

 

Sementara itu, klaim tak senonoh masyarakat umum mengenai keberadaan mereka tak pernah hilang. Para pemulung terlampau lazim  mendapat stigma sesarkas itu. Mereka tak pernah geram dengan keadaan seperti itu. Justeru, mereka bijak mengolah makna. Tekanan sosial malah memberi mereka kekuatan dalam menjalani sekaligus mempertahankan profesinya. Bermodalkan keyakinan, mereka selalu berkata dalam hati; “ada pelangi seusai hujan”. Tidak salah jika mereka selalu kelihatan bahagia.

1501453_411169739015571_47985648_o
Sollan berpose bersama warga di Bantar Gebang

Sekadar menggali nilai kerja, sempat kami tanyakan bagaimana mereka memandang para pekerja kantoran, buruh, dll. Sudah menjadi fenomena umum, masyarakat perkotaan betah dengan profesi kerja kantoran di mana tuntutan dan persaingan sangat ketat. Ironinya, kebanyakan para pekerja kantoran (perusahan) mengeluh dengan rutinitas dan tekanan di tempat kerja. Pemilik perusahaan hampir pasti memasang standar tinggi untuk pencapaian akhir tahun. Tuntutan inilah yang membuat para karyawan bosan dan jenuh dengan pekerjaannya.

 

Berbeda dengan profesi yang sedang mereka jalani. Boleh dikatakan tingkat stress yang dialami sangat minim meskipun mereka hidup dan tinggal dalam keadaan yang kumuh seperti itu. Memang, lingkungan tempat tinggal mereka jauh dari standar lingkungan dengan tingkat sanitasi yang memadai. Pernah kami tanya, “bagaimana pandangan mereka tentang gunung sampah yang ada di sekitar mereka? Jawaban yang tak pernah diduga bahwa mereka memandangnya sebagai gunung emas yang tak ternilai.

Mereka adalah pribadi-pribadi pekerja keras. Berada di kompleks kumuh, biasanya tak terfasilitasi. Persoalan pokok mereka memang berkutat seputar masalah-masalah klasik khas masyarakat kumuh, yakni: finansial, kesehatan, dan pendidikan.  Namun, satu hal yang pasti: mereka tidak pernah menyerah dengan kondisi yang ada. Sikap tak menyerah ini biasanya dapat kita baca dari cara mereka berdinamika. Mereka sangat menikmati hidup, memiliki orientasi hidup yang jelas, dan tidak menginginkan gaya hidup yang mewah.

 

Perjuangan hidup yang mereka tampilkan mampu memberi insight yang berarti. Petualangan hidup mereka merupakan pembelajaran. Dari para pemulung, kita bisa memulung makna; mengenai apa saja yang seharusnya kita lakukan untuk mengisi hidup. Sebagai manusia bebas, kita bisa memutuskan untuk menyerah atau malah sebaliknya. Kita bertarung mati-matian demi kesejahteraan hidup kita.

Menariknya, justeru dalam komunitas (masyarakat) yang serba terbatas inilah kami mampu menemukan cinta yang tulus. Mereka tak pernah segan untuk member dan berbagi dari keterbatasannya. Efek sosialnya jelas, hampir pasti tidak ada kesenjangan sosial di antara mereka. Saya yakin, semangat solidaritas yang telah ditanamkan sejak lama menjadi landasan mereka dalam membangun kehidupan sosialnya. Situasi seperti inilah yang membuat mereka nyaman; jauh dari tindakan-tindakan anarkis, gemar mempraktikan hidup dengan gaya sosialis, serta memahami proses pengenalan identitas (penerimaan diri).

 

Tak dapat dipungkiri Bantar Gebang sebagai tempat para pemulung setempat hidup, beraktivitas, dan berkreasi. Mereka menampilkan hidup yang sungguh-sungguh “apa adanya”. Dari mereka yang hidup dalam kekurangan, kita malah rakus mengejar hal-hal yang muluk-muluk. Mungkin jika ditanya apa itu hidup bahagia, mereka pasti akan menjawab: bersyukur dengan segala apa yang kau miliki.

 

spot_img
spot_img

Artikel Terkini