Tambang di Oinbit dan Elegi Keperihatinan

Aksi warga Oinbit, TTU menolak kehadiran perusahan tambang PT ERI
Aksi warga Oinbit, TTU menolak kehadiran perusahan tambang PT ERI

Oleh: DAN MENI

Belakangan ini situasi memanas di Oinbit, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur (NTT) antara warga, pemerintah dan pihak PT. Elgary Resources Indonesia (ERI). Pasalnya, sepengetahuan pemerintah, PT ERI mengeruk hasil alam berupa mangan di wilayah ulayat masyarakat Oinbit. Karena itu, beberapa kelompok dan organisasi masyarakat (LMND, GMNI, Aparel, FMTM) bersama warga gencar melakukan upaya perlawanan dengan menduduki lokasi yang sebagian besar sudah menerima amuk korporasi dengan sejumlah alat beratnya. Tujuannya yaitu menyelamatkan lingkungan hidup yang telah bertahun-tahun menjadi rumah yang menghidupkan bagi masyarakat setempat.

Namun, apa tanggapan pemerintah? Masyarakat yang datang ke lokasi malah dinilai oleh pemerintah setempat sebagai “kelompok yang tidak jelas.” Rakyat yang melakukan perlawan atas nama hak asasi manusia dituduh telah melakukan makar. Lebih miris lagi, pemerintah berdiri di pihak perusahaan; mendukung perusahaan untuk melakukan eksploitasi terhadap tanah-tanah warga. Pertanyaannya: pemerintah bekerja untuk siapa? Untuk kesejahteraan rakyat atau untuk kesejahteraan struktural dan para investor?

Sebagai warga Oinbit, saya merasa perlu membeberkan alasan penolakan kami.

Pertama, argumen teologis. Pada dasarnya manusia menjaga dan menguasai alam, sebagai wakil dari Allah sendiri. Manusia bukan pemilik tanah tersebut. Manusia bukan penguasa tetapi hanya menjaga. Tujuannya bukan untuk dirinya sendiri. Manusia diberi kepercayaan mengatur alam dunia oleh Allah. Semakin dia bertanggung jawab terhadap alam dunia, semakin dia memuliakan Allah. Alam dunia dan segala isinya diciptakan bukan pertama-tama demi memenuhi kebutuhan manusia. Manusia boleh memiliki interese terhadap alam tetapi interese itu harus menambah kemuliaan dan keadilan Tuhan.

Kedua, argumen ekologis. Tambang merusak hutan dan mata rantai ekosistem yang ada di sekitarnya. Kita semua tahu bahwa akibat Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dikeluarkan pemerintah, di tengah masyarakat terjadi polarisasi yang begitu tajam antara mereka yang pro dan kontra terhadap pelaksanaan tambang. Kehadiran tambang di suatu daerah merusak bahkan menghancurkan sendi-sendi kebersamaan yang telah lama tumbuh di tengah masyarakat kita. Inilah awal kerusakan yang ditimbulkan investor tambang.

Ketiga, argumen medis. Mangan juga berpengaruh sangat buruk terhadap kesehatan. Pusat Penelitian Kesehatan Masyarakat Institusi Kesehatan Publik Nasional di Meksiko pada tahun 2002-2003 membuat penelitian tentang dampak  mangan. Penelitian tersebut menggunakan sampel darah dan rambut dari 300 orang. Tahun 2007, institusi yang sama melakukan studi serupa terhadap 700 anak berusia tujuh hingga sebelas tahun. Sebagian sampel berasal dari penduduk di dekat pertambangan, sedangkan selebihnya diambil dari penduduk jauh dari area pertambangan. Dari hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa 60% orang dewasa yang tinggal di dekat kawasan pertambangan mengalami masalah syaraf dan tubuh bergetar yang mirip efek penyakit parkinson. Sementara anak-anak memiliki penurunan kemampuan belajar dan kecerdasan sebesar 20% dibandingkan dengan kelompok serupa yang jauh dari daerah pertambangan (Alex Jebadu, 2009, 22).

Dengan melihat persoalan sosial di masyarakat lingkar tambang sebagaimana yang telah diuraikan di atas, hemat penulis ada beberapa pelanggaran dari tambang mangan di Oinbit.

Pertama, lokasi penambangan mangan di Oinbit sebagian besar terjadi di dalam lahan pertanian dan perkebunan masyarakat (jagung dan ubi kayu) dan lahan peternakan. Tambang telah dan sedang mengganggu sumber-sumber makanan, yang menunjang kehidupan warga. Karena itu, tambang oleh PT ERI melanggar hak asasi manusia untuk hidup.

Kedua, masuknya investor pertambangan ke lokasi potensial tambang tanpa mengetahui lebih jelas siapa pemilik lahan yang sebenarnya. Hal ini yang menimbulkan konflik di tengah masyarakat antara warga, perusahaan dan pemerintah. IUP bersifat sepihak karena menggunakan cara subversif dan represif. Masyarakat Oinbit tidak diberikan kesempatan untuk menentukan pendapat dan hak-haknya sendiri secara otonom.

Ketiga, pemerintah dalam hal ini dinas terkait tidak memberikan sosialisasi seputar dampak negatif dari tambang mangan. Pemerintah setempat justru cenderung berdiri di pihak perusahaan. Rakyat dibiarkan terjebak dalam ketaktentuan nasib atas nama keuntungan orang-orang tertentu.

Keempat, PT ERI sarat dengan pelanggaran HAM. Pencaplokan terhadap tanah ulayat milik suku (Naikofi, Ataupah dan Taesbenu) merupakan bentuk pelanggaran hak masyarakat tani. Selain itu, perusahaan juga melanggar hak budaya dan ekonomi masyarakat karena merusakkan tanah ulayat yang mempunyai hubungan dengan sistem sosial masyarakat agraris.

Kelima, industri pertambangan membawa dampak negatif yang massif terhadap lingkungan masyarakat agraris secara permanen. Ribuan hektar yang digunakan untuk tambang akan mengakibatkan pengurangan produksi pertanian masyarakat setempat.

Keenam, industri pertambangan di Oinbit pada dasarnya bukan alternatif terbaik untuk menyejahterakan rakyat yang sebagian besar adalah petani. Hasil pengamatan selama ini menunjukkan bahwa belum pernah ada masyarakat di sekitar kawasan tambang yang benar-benar sejahtera. Masyarakat Oinbit seluruhnya hidup dari jagung, padi, ubi kayu dan hasil perkebunan lainnya dan bukan dari tambang.

Menyikapi kondisi tersebut, pemerintah perlu melihat kembali keberadaan IUP-IUP yang sudah diterbitkan selama ini. Pemerintah seharusnya bersikap tegas dengan mencabut IUP tersebut karena tidak membawa manfaat tetapi lebih banyak mudaratnya bagi masyarakat. Ketegasan itu hanya bisa dilakukan oleh pemimpin yang tidak menambang dana ketika IUP diterbitkan.

Penolakan masyarakat Oinbit atas tambang harus dibaca sebagai teriakan masyarakat kecil yang suaranya dikesampingkan oleh para pemimpinnya sendiri. Inilah elegi keprihatinan: tangisan protes orang-orang kecil yang menolak tunduk atas nama penghargaan terhadap hak asasi manusia.

Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana STFK Ledalero, Maumere

 

spot_img

Artikel Terkini