Formadda NTT: Rotok Terlalu Nekat

Koordinator Divisi Hukum dan Advokasi Formada NTT Hendrikus Hali Atagoran (Pegang Toa) Saat Memimpin Aksi Di Jakarta
Koordinator Divisi Hukum dan Advokasi Formada NTT Hendrikus Hali Atagoran (memegang toa) dalam salah satu aksi unjuk rasa di Jakarta.

Floresa.co  – Forum Pemuda NTT Penggerak Perdamaian dan Keadilan (Formadda NTT) menilai Bupati Manggarai, Flores, NTT Christian Rotok bertindak terlalu nekat saat menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk PT Sumber Jaya Asia (SJA), meski lokasi IUP tersebut masuk wilayah hutan lindung.

Koordinator Divisi Hukum dan Advokasi Formadda NTT Hendrikus Hali Atagoran menilai Rotok tidak mempertimbangkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

“Ia melabrak peraturan atau UU yang mengatur soal pertambangan di wilayah hutang lindung,” ujar Hendrikus saat dihubungi Floresa.co, Kamis (26/3/2015).

Iamenduga tindakan Rotok ini dilakukan karena ada sesuatu yang dijanjikan oleh pihak perusahaan. Sesuatu tersebut, asumsinya adalah imbalan. “Karena jelas bahwa tidak ada makan siang gratis bagi pejabat daerah,” tandasnya.

Hendrikus menjelaskan,  IUP saat ini menjadi lahan baru bagi pejabat daerah untuk mengumpulkan pundi-pundi pribadinya.

Dugaan Formadda NTT, satu IUP bisa dihargai minimal satu miliar rupiah. Dengan iming-iming imbalan yang luar biasa ini, tidak heran jika para pejabat di daerah berbuat nekat.

“Meskipun IUP yang dikeluarkan melanggar hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku, pejabat-pejabat tetap nekat mengeluarkan IUP, karena dapat dengan mudah mengisi pundi-pundinya,” terang Hendrikus

Sebagaimana diketahui Formadda NTT bersama elemen masyarakat lainnya yang tergabung dalam “Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi SDA di NTT” mendatangi KPK di Jakarta pada Rabu (25/3/2015). Koalisi melaporkan Bupati Rotok atas dugaan korupsi dalam penerbitan IUP kepada PT SJA oada 2007.

Laporan ke KPK ini juga merupakan respon elemen sipil terhadap Penandatanganan Nota Kesepakatan Rencana Aksi Bersama tentang Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam Indonesia pada tanggal 19 Maret 2015 di Jakarta.

Selain Formadda NTT, koalisi ini juga terdiri dari sejumlah organisasi, antara lain Komisi Justice, Peace and Integrity of Creation-Ordo Fratrum Minorum (JPIC-OFM), Angkatan Muda Anti Korupsi (AMAK NTT), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Cabang NTT (Walhi NTT).

Rotok diduga melakukan korupsi dalam penerbitan Surat Keputusan No.HK/287/2007 2007 tanggal 5 Oktober 2007 tentang Izin Pemindahan dan Perpanjangan Kuasa Pertambangan Eksploitasi Bahan Galian Mangan KW 9 PP 0208 di Kecamatan Reok dari  PT Tribina Sempurna kepada PT SJA.

Izin itu diberikan pada kawasan hutan lindung Nggalak Rego RTK 103, hal yang bertentangan dengan hukum yaitu ketentuan Pasal 38 ayat (4) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

MS Kaban, Menteri Kehutanan kala itu,  sesuai dengan surat No.S.40/Menhut-VII/2009 tanggal 27 Januari 2009  yang ditujukan kepada Gubernur NTT menyatakan PT SJA tidak termasuk dalam 13 perusahaan tambang yang diizinkan beroperasi dalam kawasan hutan lindung sesuai Keppres No.41 Tahun 2004. Dengan demikian, menurut Menteri Kehutanan,  PT SJA terbukti beroperasi di kawasan hutan lindung tanpa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dari Menteri Kehutanan.

Atas dasar itu, Menteri Kehutanan minta kepada Gubernur NTT untuk melakukan tindakan terhadap perusahaan tambang PT SJA sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam surat itu juga, Menteri Kehutanan menyatakan dengan tegas menolak permohonan  IPPKH yang diajukan oleh PT SJA karena kegiatan pertambangan PT SJA tersebut dilakukan dengan pola pertambangan terbuka.

Namun, faktanya, Rotok tetap membiarkan perusahan itu beroperasi.

Kasus ini yang sempat diproses di Polres Manggarai hilang jejak, meski polisi sudah menetapkan 3 tersangka, yaitu Supriyadi, ST (selaku Kepala Teknik Tambang PT SJA), A.D. Magung (selaku Kepala Perwakilan PT SJA yang berkedudukan di Reo) dan Herman Jaya (selaku Komisaris PT SJA).

Namun sampai dengan saat ini berkas hasil penyidikan dari ketiga orang tersangka tersebut tidak pernah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Ruteng untuk kemudian dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Ruteng untuk diadili.

Sementara itu, Rotok dalam jabatan selaku bupati yang telah mengeluarkan izin tambang di dalam kawasan hutan lindung Nggalak Rego RTK 103 belum diselidiki dan belum disidik oleh Polres Manggarai.

Menanggapi laporan tersebut, Bupati Rotok mengaku siap untuk diperiksa KPK. “Sebagai bupati pada prinsipnya saya menunggu kapan KPK menindaklanjuti laporan tersebut,” kata Rotok kepada wartawan di ruang kerjanya, Kamis (26/3/2015),

Bupati Rotok mengakui, sebagai bupati atau pejabat publik dirinya tidak bisa menghindar dari sorotan publik. Ia menambahkan, dalam konteks pemberian izin pertambangan ia mengklaim sudah melakukannya secara benar.

“Ada dinas yang mengurus itu, dan ada bagian hukumnya dan terakhir sebagai decision maker (pengambil keputusan), saya tanda tangan,” ungkap Rotok. (TIN/Floresa)

spot_img

Artikel Terkini