Asnat Bell dan Potret Buram Nasib Guru Honorer

Asnat Bell (Foto ; Ist)
Asnat Bell (Foto ; Ist)

Oleh: IGO HALIMAKING

“Penghargaan ini saya persembahkan kepada anak-anak didik saya agar mereka bersemangat dalam belajar dan juga sebagai contoh buat guru-guru di sekolah kami. Selamat memperjuangkan NTT”.

Itulah ucapan Asnat Bell, seorang guru hononer yang mengajar di Sekolah Dasar GMIT Nunuheno Desa Telukh, Kecamatan Amanuban Timur, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) saat menerima penghargaan “Kick Andy Heroes 2015” kategori pilihan pemirsa.

Penghargaan diberikan oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjaha Purnama dalam acara malam penganugerahan Kick Andy Heroes di Grand Studio Metro TV, Sabtu malam (7/3/2015).

Asnat telah mengabdi sebagai guru honorer selama 12 tahun sejak dia tamat SMA tahun 2002. Gajinya cuma Rp 50.000 per bulan. Padahal dia mengajar selama tujuh jam sehari untuk sembilan mata pelajaran di kelas satu dan dua sekolah tersebut.

Sebagai calon guru, sangat terharu ketika menyaksikan acara ini. Betapa tidak, dalam keterbatasan, Asnat Bell tetap menjalankan misi mulia mencerdaskan anak bangsa. Lalu dimana pemerintah? Inikah komitmen pemerintah terhadap nasib pendidikan?

Kisah Asnat Bell merupakan cerminan dari nasib sebagian guru honorer atau guru tidak tetap di NTT yang selama bertahun-tahun bekerja untuk mencerdaskan anak bangsa,  namun nasibnya tak pernah diperhatikan. Bukan cerita fiktif, memang. Terutama bagi mereka yang masih berstatus sebagai guru honorer yang hanya mendapat upah mengajar sebesar Rp 200.000 hingga Rp 600.000 per bulan. Bahkan, gaji yang sekecil itu belum dibayar selama satu tahun.

Gaji mereka masih minim dan belum mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pasalnya, gaji bulanan guru honorer diambil dari iuran siswa atas kesepakatan antara sekolah, komite, dan orang tua siswa, karena dana BOS dan dana APBD tidak menanggung anggaran gaji mereka.

Ironisnya, untuk sekolah-sekolah di daerah pelosok, terkadang honorer  tidak mendapat upah kerja karena minimnya pemasukan sekolah. Sehingga, tidak jarang para guru tetap harus mengeluarkan iuran untuk menutup kekurangan dana tersebut sebagai wujud rasa kemanusian.

Inilah potret wajah suram pendidikan di Indonesia, khususnya di NTT. Sesuram saat wajah guru-guru honorer pulang ke rumah yang tidak membawa oleh – oleh untuk anaknya. Saat anak – anak kecilnya berkata, “Ayah – Ibu pulang ke rumah membawa apa?” Gaji mereka yang tidak manusiawi, ditambah dengan beban kerja yang sama dengan guru PNS bahkan lebih besar kapasitasnya, ditambah menyelesaikan tugas berat administrasi sekolah.

Berbeda kala Guru PNS pulang ke rumah saat jam sekolah, dengan santai mereka pulang sebelum jam pulang dan sambil membawa makanan dari sisa jatah perjalanan dinasnya ke luar kota.

Nasib guru honorer semakin berat, saat UU Nomor 15 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), yang dinilai diskriminatif. Terutama yang tersingkap dalam Pasal 58 UU ASN bahwa pengadaan PNS hanya untuk pelamar umum, tanpa hak khusus yang dimiliki tenaga honorer.

Entah, ini dapat dikatakan adil atau tidak. Pengangkatan PNS hanya diukur dari segi gelar (Sarjana, Magister, Doktor), bukan dari ukuran kinerja dan loyalitas kepada negara dalam wujud pengabdian yang telah dilakukan selama berpuluh-puluh tahun.

Data Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), dari 2,9 juta guru di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), sebanyak satu juta orang berstatus guru tidak tetap. Sedangkan pemerintah hanya mengangkat honorer dengan kuota nasional 30 persen sampai tahun 2014.

Lalu, bagaimana nasib 70 persen honorer yang tidak lolos tes CPNS? Akankah mereka tetap bekerja dengan honor yang tidak layak atau diberikan kesejahteraan oleh pemerintah?

Olehnya pemberian kesejahteraan dan kejelasan bagi para honorer menjadi keniscayaan dan harus segera dilakukan untuk memperjelas nasib guru honorer atau guru tidak tetap.

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk memperjelas nasib mereka.

Pertama, pemerintah harus membuat regulasi baru untuk memperjelas nasib guru honorer atau guru tidak tetap.

Kedua, pemerintah harus memperjelas 70 persen golongan atau kategori-2 (K2) yang belum berkesempatan diangkat, mereka perlu diberikan gaji bulanan sesuai dengan UMR daerah setempat. Itu dilaksanakan, dengan catatan guru honorer atau guru tidak tetap harus sesuai dengan kualifikasi dan kecocokan kompetensi ilmu yang dibutuhkan.

Ketiga, jika guru honorer atau guru tidak tetap dihentikan dari sekolah, sebaiknya dilakukan secara terhormat dengan pemberian dana kompensasi sesuai APBD masing-masing daerah.

Maka dari itu, pemerintah harus membuat kebijakan yang tetap memanusiakan guru honorer atau guru tidak tetap, karena bagaimanapun juga mereka pencerdas bangsa.

Keempat, perlu dilakukan revisi peraturan yang mensyaratkan hanya guru tetap yang dapat mengikuti sertifikasi. Dalam hal ini, semua guru boleh mengikuti sertifikasi, baik guru tetap maupun guru tidak tetap, yang penting memenuhi syarat dan ketentuan berlaku.

Kelima, pemerintah harus lebih rutin melakukan “blusukan edukatif” dan pembinaan kepada guru PNS agar kualitas pengajaran tetap terjaga.

Tidak hanya itu, pembinaan terhadap guru honorer atau guru tidak tetap perlu dilakukan, agar mutu pendidikan bangsa kita dapat terus meningkat baik.

Dengan adanya pembinaan, nasib guru honorer atau guru tidak tetap yang telah berpuluh-puluh tahun mengabdi akan semakin jelas, dan mempunyai bekal pengalaman lebih.

Akhirnya semoga spirit Asnat Bell, seorang guru hononer yang bekerja tanpa pamrih selama belasan tahun, bisa membuka mata pemerintah Indoonesia khususnya pemerintah NTT agar lebih peduli dan memperhatikan kesejahteraan guru.

Karena sesungguhnya, kesejahteraan yang diberikan pemerintah dapat memacu spirit mengajar para guru. Jika spirit para guru meningkat, maka memberi cahaya terang kemajuan pendidikan Indonesia khususnya di NTT, yang saat ini masih dianggap belum memadai, bahkan, semakin mundur oleh masyarakat luas.

Ke depannya, kemajuan pendidikan di NTT sangatlah bergantung pada kerjasama masyarakat NTT, pemerintah NTT dan stakeholder yang berkompeten dalam dunia pendidikan.

Marilah kita bersama-sama membangun NTT karena kemajuan NTT ada di pundak kita sebagai rakyat NTT.

Penulis adalah Mahasiswa Universitas PGRI Kupang

spot_img

Artikel Terkini