Rotok yang Disetir Uang

Baca Juga

Bupati Christian Rotok
Bupati Christian Rotok

Oleh: ALFRED TUNAME

Memasuki usia “pensiunnya” sebagai bupati Manggarai, beberapa waktu lalu, Christian Rotok masih menyampaikan pernyataan yang membuat gendang telinga publik jadi panas.

Pernyataannya memiliki dampak yang begitu kompleks, terutama karena berkenaan dengan keputusan kebijakan publik yang dibuatnya.

“Mereka yang keberatan itu yang sudah habis uangnya. Sebelumnya, juga mau terima”. Itulah pernyataan Christian Rotok seperti yang dilansir Kompas (17/2/2015).

Pernyataan tersebut bertalian dengan diskursus tambang yang menjadi tema sentral persoalan kebijakan publik pemerintah daerah.

Sederhananya, bagi Rotok, ada tambang, ada uang. Logika ekonomi utilitarian ini menjadi doktrin distribusi kesejahteraan. Tentu, uang adalah garansi keamanan proses ekspolitasi tambang.

Dengan kerangka pemikiran itu, secara tidak langsung Rotok telah membuka sendiri cacat kebijakan publiknya tentang tambang. Ia sendiri menggunakan uang untuk meredam reaksi publik atas kebijakannya tentang tambang.

Sejauh itu, kebijakannya untuk mengizinkan investor tambang di Manggarai adalah kebijakan yang “pseudo-legal”. Sebab, ia sendiri tentu sudah mendapat upeti (uang) yang besar. Kata pemeo lama, “ikan besar pasti umpannya juga besar”.

Dengan logika itu, pe-legal-an izin tambang di Manggarai boleh jadi terjadi dengan perjanjian “bawah tangan”. Di sini, besarnya sejumlah uang menjadi meterai petanda legalitas eksploitasi tambang. Semua yang terlibat dalam aktivitas perizinan tambang tersebut mendapat bagiannya masing-masing.

Karenanya, munculnya pernyataan Rotok di atas memiliki relevansinya dengan praktik politik seputar tambang.

Sejumlah uang berhamburan di seputar izin tambang tentu berkenaan dengan gelombang penolakan rakyat atas tambang di Manggarai. Dengan uang, semua urusan menjadi licin.

Tetapi, benarkah para akvitis tolak tambang menerima uang dari perusahaan tambang?

Pertanyaan ini tentu hanya bisa dijawab secara jujur oleh kelompok aktivis tersebut. Memang, tidak dipungkiri bahwa ada juga kelompok-kelompok aktivis yang sering menerima sejumlah uang dari perusahaan tambang. Tetapi tidak semua aktivis tolak tambang menerima uang pelicin tersebut. Masih ada kelompok aktivis tulen dan organik yang berjuang menikam kepala membela tanah rakyat dan menolak uang pelicin.

Para aktivis tolak tambang yang organik adalah mereka yang menyadari secara sungguh dampak eksploitasi tambang terhadap hak hidup masyarakat. Secara kritis para aktivis mengkaji dan merumuskan nota penolakannya terhadap aktivitas tambang di Manggarai. Sebab musuh pertanian di Manggarai adalah tambang, maka mereka berjuang mendesak kepala daerah untuk menghentikan izin tambang di Manggarai.

Premis Rotok tidak berlaku untuk aktivis tolak tambang seperti ini. Menawarkan sekarung uang kepada aktivis organik ini sama artinya dengan, mengutip novelis Amy Tan, “saving fish from dwroning”. Artinya, upaya tutup mulut tersebut sia-sia belaka.

Perjuangan para aktivis tolak tambang pun tidak sia-sia. Perjuangan mereka mendapat sambutan baik dari rakyat yang menjadi korban aktivitas tambang. Rakyat pun kian kritis terhadap tambang. Bersama-sama dengan rakyat, para aktivis berjuang mendesak para pemangku kebijakan untuk lebih berpihak kepada rakyat dan bukan kepada investor tambang.

Celakanya, para pemangku kebijakan, seperti Rotok, lebih berpihak kepada pemilik modal, ketimbang rakyatnya sendiri. Atas panji-panji uang, ia menegasi segenap suara rakyat yang menolak tambang. Tesisnya, politik membutuhkan uang untuk meremas erat kekuasaan; uang membutuhkan politik memupuk timbunan keuntungan.

Tetapi rakyat tidak bergeming. Perjuangan menolak tambang di Manggarai semakin bertensi tinggi, meski perselingkuhan kekuasaan dan uang tampak intim. Setiap aksi tolak tambang adalah koreksi terhadap kebijakan publik yang tidak adil.  Long march rakyat tolak tambang terjadi bukan karena uang, tetapi hak hidup mereka sedang teracam.

Karenanya, setiap kebijakan publik yang tidak melayani rakyat, tetapi hanya bertameng pada legal dan formal, harus dilawan. Desentralisasi kebijakan harus berarti pelayanan publik yang adil bagi rakyat, bukan untuk mengontrol kekuasaan dan syahwat kekayaan.

Oleh karena itu, Rotok harus mengubah paradigma terkait kebijakan publik. Secara politis, kebijakan publik harus berpihak pada rakyat. Di sini, “politics is the business of producing correct policies” (Peter Schweizer, 2013).

Sebagai pemimpin politik Manggarai, Rotok seharusnya mendengarkan suara rakyatnya sehingga kebijakannya pun menjadi benar di mata rakyat.

Gelombang tolak tambang tidak akan pernah terjadi di Manggarai seandainya kebijakan yang dibuat berpihak kepada rakyat Manggarai, khususnya petani.

Correct policy mengandaikan maksimalisasi kesejahteraan rakyat, bukan maksimalisasi kekuasaan pribadi dan profit investor. Kegagalan politik (failed politics) terjadi ketika kekuasaan digunakan untuk syahwat kepentingan pribadi dan kelompok. Inilah yag disebut “politics is corrupting money”.  Artinya, terkait problem tambang di Manggarai, pemimpin (lokal) terlalu fokus pada kekuasaannya sehingga setiap kebijakannya berada dalam kontrol pemilik modal (investor tambang). Karenanya, pemimpin politik sering kali mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang konyol demi mempertahankan kebijakan pro tambang.

Dengan demikian, segala perizinan tambang di Manggarai adalah legalized bribery. Tambang merusak tanah adat, pertanian dan hutan rakyat, tetapi pemerintah daerah membiarkan itu terjadi. Sekarung uang telah menutup mata dan telingga pemimpin daerah. Dengan uang itu, pemimpin daerah telah menjadi Yudas bagi demokrasi ekonomi Manggarai. Hak hidup rakyat (petani) Manggarai sedang dijual.

Tetapi, uang tidak bisa membeli hasrat keadilan yang ada dalam nurani rakyat Manggarai. Dari sinilah perjuangan keadilan dimulai.

Penulis adalah pemerhati isu-isu sosial politik di NTT. Saat ini tinggal di Yogyakarta

Terkini