Rotok, Tambang dan Uang

Bupati Christian Rotok
Bupati Christian Rotok

Floresa.co – Kalau uang berbicara, “tuhan” pun bisa diam.

Barangkali pernyataan tersebut tidak berlebihan jika tuhan yang dimaksud adalah juga menyangkut nilai-nilai moral yang dipercaya oleh orang beriman. Berhadapan dengan uang, segala ajaran iman bisa lenyap seketika.

Pada kategori demikian, uang adalah raja atau “tuhan” baru. Uang adalah ideologi. Uang bukan saja memerintah, tetapi juga satu-satunya kaca mata dalam melihat segala aspek kehidupan seperti budaya, agama, sosial dan lain sebagainya.

Pernyataan Bupati Manggarai, Christian Rotok terhadap para penolak tambang merupakan cermin dari ideologi uang.

Sebagaimana dilansir Harian Kompas, Selasa (17/2/2015), Rotok berkata, “Mereka yang keberatan itu yang sudah habis uangnya. Sebelumnya, juga mau terima.” (Baca: Bupati Rotok Hina Warga yang Tolak Tambang)

Pertanyaan berikut harus diarahkan pada Rotok: Apakah betul bahwa penolak tambang adalah orang yang sebelumnya menerima uang dari tambang? Apakah ia tak bisa atau tidak mampu berpikir bahwa para penolak tambang memiliki argumentasi berbasis nilai, seperti pertimbangan tentang keseimbangan ekologis, motivasi budaya, agama, dan lain sebagainya?

Pada tataran kesahihan pernyataan, tanggapan dari Pastor Marsel Agot SVD, imam senior sekaligus aktivis lingkungan di Labuan Bajo adalah tepat untuk menggugurkan pernyataan Rotok.

“Dia harus buktikan kapan saya terima uang, dari siapa, di mana dan berapa banyaknya. Jangan asal omong tuan bupati,” kata Pastor Marsel. (Baca: Pastor Marsel Agot Tantang Bupati Rotok)

Sementara pada diskusi yang lebih substansial, pertambangan memang sudah sangat memiriskan. Berulang kali tambang menjadi bahan perdebatan karena kerusakan alam semakin masif tetapi tidak sebanding dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat lingkar tambang.

Belum lagi, soal prosedur penerbitan izin yang kerap dilanggar dan tanpa pengawasan.

Cermati saja soal Pendapatan Asli Daerah (PAD) Manggarai. Kontribusi dari sektor pertambangan pada tahun 2012, hanya  Rp 132 juta dari total Rp 38. 247.543.544 miliar PAD kabupaten itu.

Ironis bukan? Nilai uang itu terlampau kecil bila dibandingkan dengan kerusakan alam yang sudah ada, bahkan tak cukup bila mereklamasi lahan tambang, juga konflik sosial yang terjadi di lokasi lingkar tambang.

Malahan pendapatan terbanyak yakni menghampiri separuh dari keseluruhan PAD, yaitu 17.337.917.000 (sekitar 45 persen), didapat dari sektor kesehatan (3.587.917.000 dari retribusi pelayanan kesehatan Puskemas-puskemas dan 13.750.000.000 dari RSUD Ruteng). Padahal baru-baru ini kualitas pelayanan rumah sakit dikeluhkan, di mana hanya ada tiga dokter umum tetap dan petugas gagal memberi layanan prima kepada pasien.

Kalau menilik jumlah populasi di Manggarai, tidak seharusnya juga tambang itu diprimadonakan.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2013, petani berjumlah  81.828 dari total 128.408 penduduk yang berumur 15 tahun ke atas. Sedangkan yang bekerja di sektor pertambangan dan penggalian hanya sekitar 1.290.

Siapapun yang berpikir sehat pasti berharap bahwa sektor pertanian terus dikedepankan atau ditingkatkan dengan kondisi statistik demikian.

Lantas, apa yang mendorong seorang Rotok untuk mengeluarkan 22 Izin Usaha Pertambangan (IUP)? Data ini merujuk pada yang dikutip Ferdy Hasiman, dalam bukunya Monster Tambang (2013).

Apa pula yang menyebabkan ia menelantarkan sektor unggulan seperti pertanian dan termasuk juga rumah sakit?

Diskusi atas dasar pertimbangan akal sehat saja, pertambangan amat dipertanyakan urgensinya dalam mendatangkan kesejahteraan rakyat, apalagi kalau konflik pertambangan melibatkan nilai-nilai dan simbol-simbol budaya, agama, sosial dan lain sebagainya.

Atas dasar itu, kecurigaan seperti yang diungkap Ino Jemabut, warga Manggarai, sungguh beralasan.“…Karena sudah terima uang, maka ia kemudian setuju dengan tambang…Hanya memang uang yang ia dapat dari tambang, pasti jumlahnya berbeda dengan yang didapat warga yang ia tuduh,.. Berapa yang ia terima dari tambang?” katanya. (Baca: Hina Warga Tolak Tambang, Rotok Tuai Kritikan Pedas)

Ferdy Hasiman menulis di hal 87 bukunya, andai setiap IUP yang dikeluarkan Rotok diharga dengan 1 miliar, maka Rotok mendapat 22 miliar.

Menjadikan uang sebagai satu-satunya alat ukur dalam menilai kompleksitas masalah tambang, mengungkapkan secara gamblang bagaimana kapasitas intektektual, ideologi, orientasi isu, dan pengalaman keputusan politis seorang Rotok terarah. Uang adalah patokannya.

Hanya uang, terlebih cinta pada uang, yang membuat seorang pemimpin bertindak irasional, termasuk mengambil keputusan yang melawan pertimbangan rasional logis bagi kepentingan orang banyak, bahkan menghancurkan nilai-nilai dan simbol-simbol budaya, sosial, dan agama.

Sebab bukan tidak mungkin para penolak tambang termotivasi oleh simbol-simbol dan nilai-nilai budaya, sosial, dan agama. Bukan uang sebagaimana dituduhkan Rotok.

Dengan demikian, tiap sumpah yang diangkat oleh pejabat publik semisal Rotok yang sudah dua kali angkat sumpah di depan Kitab Suci bisa saja sangat mekanistis daripada benar-benar menghayati itu sebagai tanggung jawab moral, apalagi sebagai panggilan Tuhan yang ia imani.

spot_img

Artikel Terkini