Korupsi Rokatenda: Urusan WC pun Dikorupsi (3)

Artikel ini yang ditulis oleh Eman Embu, Staf Puslit Candraditya, Maumere, Kabupaten Sikka merupakan hasil investigasi dan riset terhadap kasus korupsi dana bencana untuk pengungsi akibat letusan Gunung Rokatenda. Ini merupakan bagian ketiga dari enam tulisan.

Floresa.co – Di negeri ini pengurus negara bisa korupsi apa saja. Entah yang berkaitan dengan hal yang surgawi seperti Kitab Suci, atau malah dengan urusan WC atau buang hajat semuanya bisa dikorupsi. Semua digasak, yang penting ada kesempatan.

Di media massa kita dengan mudah menemukan berita-berita memedihkan yang dialami pengungsi Rokatenda. Satu di antaranya adalah tentang pengungsi yang direlokasi ke Kelurahan Hewuli yang membuang hajat di kebun-kebun warga, malah sebagiannya membuangnya ke dalam kantong plastik yang kemudian dibuang ke laut.

Sulit masuk dalam nalar respon bencana bahwa sesudah lebih dari satu tahun Rokatenda meletus, sesudah tarik ulur urusan relokasi pada pertengahan tahun 2013, dan ketika tiba saat pembangunan rumah-rumah relokasi warga pada tahun 2014, kita masih menyaksikan satu pertunjukkan sangat memalukan dari Pemkab Sikka bahwa dalam pembangunan fasilitas relokasi itu tak ada fasilitas MCK, tak ada air bersih yang disediakan secara tetap, tak ada fasilitas penerangan.

Sangat tragis untuk kabupaten Sikka ketika kita membaca dalam loran lokal kata-kata dari Ketua BPBD Sikka setelah masalah ketiadaan fasilitas MCK mencuat ke ruang publik bahwa belum ada rapat koordinasi, belum dapat laporan, baru mengetahui masalahnya dari koran (SF.Com, 12/02/2014). Adanya pernyataan seperti ini sangat menyakiti rakyat.

Umum terjadi bahwa lemahnya perencanaan dan underbudgeting biaya-biaya relokasi menjadi alasan dari kegagalan relokasi. Dalam urusan relokasi warga pasca bencana dikenal dua biaya utama. Satu, hard costs yang mencakup infrastruktur dan konstruksi rumah. Dua, soft cost yang mencakup pelayanan publik sementara, bantuan-bantuan sosial, pelatihan-pelatihan, dan berbagai fasilitasi yang akan dikerjakan.

Ketakcakapan dalam perencanaan dan penganggaran adalah soal yang satu. Soal yang lain yang sungguh miris adalah indikasi korupsi dalam pengelolaan dana bencana.

***

Biaya pembangunan fasilitas MCK dan pembangunan rumah-rumah untuk pengungsi Rokatenda di Hewuli tidak semuanya terang benderang. Kalak BPBD Kabupaten Sikka, Silvanus M. Tibo dalam Rapat Dengar Pendapat  dengan DPRD Sikka tanggal 18 September 2013 melaporkan bahwa total Dana Siap Pakai dari BNPB untuk pembangunan rumah relokasi di Hewuli sebesar Rp 6.400.000.000. Tetapi, BNPB dalam website-nya menyebutkan bahwa total dana untuk pengungsi Rokatenda di Kabupaten Sikka Rp 6.500.000.000. Jadi, ada selisih sebesar Rp 100.000.000.

Apakah ini semata ihwal salah melaporkan? Untuk para pengurus negara bisa saja jumlah itu dianggap tak seberapa, tetapi untuk pengungsi yang sedang menderita dan juga untuk para buruh serta petani di Sikka jumlah Rp 100.000.000 bukanlah angka yang kecil.

Tanggal 2 Mei 2014, Bupati Sikka, Yoseph Ansar Rera, meresmikan pembangunan 314 unit rumah pengungsi di Kelurahan Hewuli. Artinya, dana yang dipakai adalah 314 unit rumah x Rp 15.000.000 (harga per unit rumah) = Rp 4.710.000.000. Jadi, masih ada sisa dana Rp 6.500.000.000 dikurangi Rp 4.710.000.000 = Rp 1.790.000.000. Rakyat tak pernah tahu, untuk apa dana sebesar itu digunakan.

Untunglah bahwa tidak seperti pembangunan fasilitas MCK, rumah-rumah di Kelurahan Hewuli itu pembangunannya diurus sendiri oleh pengungsi. Karenanya, telinga kita terbebaskan untuk mendengar berita-berita tentang kejahatan pengelembungan harga dan pengurangan volume barang atau bahan bangunan.

Dalam urusan pembangunan fasilitas MCK setidaknya ada dua dokumen yang beredar di kalangan masyarakat.

Satu, dokumen pernyataan dari seorang pengurus negara di Sikka tentang manipulasi penggunaan dana bencana dari pos Dana Siap Pakai sebesar Rp 405.900.000. Dua, dokumen RAB pembangunan fasilitas MCK di Hewuli. Dokumen-dokumen tersebut sudah diserahkan kepada penegak hukum.

Korupsi terjadi dalam bermacam-macam modus. Salah satunya adalah modus pengurangan volume barang atau bahan bangunan. Merujuk pada dokumen RAB pembangunan fasilitas MCK, bukanlah pekerjaan yang sulit untuk membuktikan adanya pengurangan volume bahan atau barang. Dalam RAB tersebut tertera 15 jenis barang/bahan yang dibagikan kepada keluarga pengungsi untuk membangun fasilitas MCK. Tinggal memeriksa kenyataan di lapangan. Malah dalam RAB tersebut tertera upah tukang sebesar Rp 150.000 per unit WC. Apakah upah tersebut diberikan kepada pengungsi?

Dua, bukti awal lain yang telah diserahkan kepada penegak hukum ialah pernyataan tertulis dari seorang pengungsi pada tanggal 1 November 2014. Di sana jelas tertera bahwa pengungsi di Kelurahan Hewuli di Blok H, I, dan J, sebanyak 68 keluarga, hanya menerima dua sak semen dan empat lembar seng. Artinya bantuan lainnya, untuk pembangunan fasilitas MCK seperti closet tidak dibagikan.

Adanya kesaksian tertulis dari warga tersebut membuat kita sulit percaya bahwa di blok-blok hunian pengungsi yang lain bahan bangunan fasilitas MCK dibagikan secara lengkap, dan upah tukang pun sudah diberikan.

***

Kalau sekarang ditulis tentang dugaan korupsi dana bencana, khususnya dugaan korupsi dalam pembangunan fasilitas MCK di Hewuli maka hal ini sama sekali bukanlah perkara baru. Teriakkan agar penegak hukum, entah kejaksaan Negeri Maumere, atau malah KPK memeriksa semua mereka yang terlibat dalam urusan pembangunan  fasilitas MCK di Kelurahan Hewuli dapat dibaca dalam koran-koran lokal.

Kini kita memaksa agar para penegak hukum bekerja cepat dan adil menyeret semua yang bertanggungjawab dalam urusan pembangunan fasilitas MCK di Hewuli, entah para pengurus negara atau rekanan mereka ke sidang pengadilan. Masukkan siapa saja yang menyalahgunakan dana bencana ke dalam kurungan. Kalau pengungsi Rokatenda membuang hajat di laut lantaran ketiadaan fasilitas MCK, biarlah mereka yang bersalah makan dan membuang hajat di penjara. (Bersambung)

spot_img

Artikel Terkini