Korupsi Rokatenda: Jungkir-Balik Darurat Bencana (2)

uang

Artikel ini yang ditulis oleh Eman Embu, Staf Puslit Candraditya, Maumere, Kabupaten Sikka merupakan hasil investigasi dan riset terhadap kasus korupsi dana bencana untuk pengungsi akibat letusan Gunung Rokatenda. Ini merupakan bagian kedua dari enam tulisan.

Floresa.co – Gunung Rokatenda meletus pada 12 Oktober 2012. Lalu, ada seri letusan kecil pada awal tahun 2003. Karenanya, warga Palue mengungsi ke Flores. Data BPBD Sikka menunjukkan bahwa pada bulan Maret 2013 ada 3.785 warga telah mengungsi. Letusan besar terjadi pada 10 Agustus 2013. Karena letusan ini sebanyak 1.118 warga dievakuasi ke Maumere. Tidak ada lagi letusan sesudahnya.

Pasca letusan 10 Agustus itu, Yoseph  Ansar Rera, bupati Sikka, mendeklarasikan keadaan bencana dan menetapkan status Tanggap Darurat Bencana selama 30 hari, terhitung sejak 10 Agustus 2013. Tidak ada masalah. Ini standar dalam penanggulangan bencana. Masalahnya, Bupati Sikka membuat keputusan berulang Tanggap Darurat Bencana Rokatenda sampai 30 Desember 2014.

Bulan Oktober 2013 sebagian besar pengungsi dari Desa Rokirole sudah meninggalkan kamp pengungsi di Maumere dan kembali ke Palue. Aktivitas vulkanik Rokatenda terus menurun. Karenanya, 7 April 2014, status kebencanaan gunung Rokatenda sudah diturunkan oleh Pusat Vulkanolog dan Mitigasi Bencana Geologi dari Siaga menjadi Waspada.

Penurunan status kebencanaan ini mestinya mengakhiri Keadaan Darurat Bencana. Tapi, akal sehat telah dijungkirbalik. Penurunan status kebencanaan tersebut justru menjadi basis pertimbangan Bupati Sikka untuk memelihara Keadaan Darurat Bencana. Ini meninggalkan pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab.

Peraturan perundang-undangan mewajibkan adanya usulan dari BNPB/BPBD sebelum bupati mengeluarkan keputusan tentang suatu keadaan Darurat Bencana. Pertanyaan penting, seperti apa eskalasi vulkanik Rokatenda dan potensi ancaman yang menyertainya yang diajukan oleh kepala BPBD Sikka kepada bupati sehingga hakul yakin memelihara Keadaan Darurat Bencana sekian lama?  Ada kepentingan dan keuntungan apa di baliknya?

***

Penanggulangan bencana terdiri dari tiga tahap, yaitu, prabencana, tanggap darurat, dan pasca bencana. Dalam Surat Keputusan yang terus memperpanjang Keadaaan Darurat Bencana itu, bupati Sikka menggunakan terminologi Transisi Darurat ke Pemulihan. Tapi, ini tetaplah bagian dari Keadaan Darurat Bencanca, lantaran status ini terdiri dari tiga tahap, yaitu, Siaga Darurat, Tanggap Darurat , dan Transisi Darurat ke Pemulihan.

Merelokasi pengungsi sudah diputuskan pemerintah pada 29 April 2013. Artinya, tujuh bulan setelah Rokatenda mulai meletus. Baru pada pertengahan Juni 2013, Badan Nasional Penanggulangan Bencana mengalokasikan dana 6,5 milyar untuk pembangunan 375 unit hunian relokasi warga di Kelurahan Hewuli. Dan rumah-rumah tersebut baru dibangun oleh pengungsi sendiri pada awal Maret 2014. Karenanya, perlu waktu lama, baru diresmiskan pada 2 Mei 2014.

Ihwal pembangunan hunian pengungsi di Pulau Besar, tak usah ditanyakan. Sesudah lebih dari dua tahun mengungsi hingga kini belum sampai sepertiga dari 150 unit rumah yang dijanjikan itu selesai dibangun. Telanjang terlihat, respon bencana berjalan lambat, sama sekali tidak ada kepastian.

Merujuk pada pentahapan penanganan bencana tadi, apakah pembangunan hunian relokasi warga di kelurahan Hewuli dan Pulau Besar adalah kegiatan yang de facto dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana sehingga terbilang dalam kegiatan Tanggap Darurat Bencana? Seratus persen tidak.

Tak perlu mendalami Peraturan Pemerintah No. 21, Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, khususnya Bab IV, tentang Pascabencana. Jelas, dari segi waktu dan jenis pekerjaan yang dilakukan, pembangunan hunian pengungsi terbilang dalam kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi. Dalam urusan tersebut, tidak terlihat sedikit pun aspek-aspek kunci respon dalam Keadaan Darurat Bencana, yaitu, kecepatan, kedaruratan, dan ketanggapan.

***

Lalu, ada apa di balik rekor Keadaan Darurat Bencana tadi? Tiga kemungkinan penjelasan. Pertama, bisa saja perpanjangan Status Keadaan Darurat Bencana adalah trik untuk mendapatkan Dana Siap Pakai dari BNPB.  Tapi alasan tersebut sangat bermasalah. Mengapa? Keputusan ini dengan sangat keras menabrak peraturan perundang-undangan. Logik dari keputusan ini ialah bahwa penetapan dan perpanjangan Status Keadaan Darurat Bencana tidak didasarkan pada pertimbangan teknis eskalasi vulkanik Gunung Rokatenda, tetapi pada usaha untuk mendapatkan dan mengelola dana bencana.

Kedua, andaikan bahwa perpanjangan Status Tanggap Darurat Bencana itu dibuat berkepanjangan lantaran masih menggunakan Dana Siap Pakai dalam pembangunan fasilitas relokasi juga sangat bermasalah. Jelas, ini adalah alasan elastis, boleh ditarik-tarik. Artinya, Status Keadaan Darurat Bencana bisa terus dibuat-buat.

Ketiga, media massa menulis tentang dugaan kuat korupsi dana bencana Rokatenda. Ada transfer ratusan juta dari bendahara BPBD Sikka ke rekening pribadi pejabat. Ada pengurangan volume bahan atau barang dalam pembangunan hunian untuk pengungsi. Belum lagi, urusan pembangunan fasilitas MCK pengungsi di Kelurahan Hewuli yang berantakan.

Atas nama Keadaan Darurat Bencana yang berkepanjangan, pengadaan bahan-bahan bantuan dan pembangunan sarana-sarana relokasi warga dijalankan sendiri oleh BPBD Sikka. Mencengangkan sekali. Dari media massa kita tahu bahwa total dana yang dialokasikan untuk penanganan bencana Rokatenda, dari BNPB, ABPBD Sikka, dan sumbangan dari pihak ketiga sangat besar yaitu lebih dari 22 miliar.

Karena itu, sebagai bagian dari kontrol masyarakat, sah untuk  bertanya. Bukankah  memelihara Status Keadaan Darurat Bencana yang berkepanjangan adalah satu desain  yang menyediakan lapangan untuk berakrobatik dengan praktek-praktek yang terindikasi korupsi yang baru disebutkan?

Penegak hukum mesti menjawab pertanyaan tadi. Dan semua kita tahu bahwa keputusan yang melawan hukum, terindikasi korupsi, tidak bisa tidak harus diadili. (Bersambung)

spot_img
spot_img

Artikel Terkini