Mengenal “Lodok” dan “Odok” dalam Sistem Pembagian Kebun Orang Manggarai

Sawah lodok di Cancar, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai.
Sawah lodok di Cancar, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai.

Floresa.co – Persawahan berbentuk jaring laba-laba di Kampung Cancar, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai kerap menarik perhatian siapa saja yang melintasi daerah tersebut.

Model persawahan ini hanya ada di Manggarai Raya (Manggarai, Manggarai Barat, dan Manggarai Timur) sehingga layak dikategorikan sebagai persawahan unik di Asia Pasifik oleh Lonely Planet, buku panduan perjalanan terbesar di dunia, yang juga tersedia dalam versi digital.

Mungkin, bagi orang dari luar atau bahkan orang Manggarai Raya sendiri, model jaring laba-laba atau dikenal dengan sistem lodok ini, menjadi satu-satunya model pembagian kebun (lahan) di daerah yang dikenal dengan Tana Congka Sae tersebut.

Namun, ternyata, selain sistem lodok, ada juga sistem odok, nama untuk pola pembagian kebun yanh hanya berlaku di daerah Rembong, sebutan untuk wilayah di Kecamatan Elar dan sekitarnya di Manggarai Timur.

Berikut diuraikan secara singkatan dua sistem tersebut.

Sistem Lodok

Lodok secara sederhana dipahami sebagai pusat lingko, areal kebun atau sawah yang berbentuk bundaran.

Lingko  merupakan semua tanah yang dimiliki satu wa’u (kumpulan beberapa klan) di dalam satu golo. Karena itu, lingko bukan milik pribadi, tetapi milik wa’u yang tinggal di satu golo saja.

Istilah golo yang secara harafiah berarti bukit, merujuk pada sebuah permukiman tradisional. Meskipun demikian, golo sebagai pemukiman tidak harus di puncak bukit, bisa juga di kaki bukit, tergantung jauh-dekatnya mata air.

Dari atas puncak bukit, orang akan melihat garis jari-jari yang membentang sampai ke kaki bukit yang tampak membundar.

Dari sinilah muncul istilah langang (garis jari-jari/batas antara kebun), cicing (kaki bukit/batas luar kebun) dan lodok (pusat lingkaran/pusat kebun).

Sistem inilah yang diterapkan di lingko-lingko lain.

Dalam sistem lodok, yang bertanggung jawab dalam membagi lingko adalah tu’a teno, yang dipilih dari tu’a panga (klan) yang paling tua dalam satu wa’u.

Tu’a teno akan mengadakan rapat awal  yang sebut reke lodok, yang mengagendakan waktu pembagian lingko. Rentang hari dari reke  dengan hari-H pembagian lingko biasanya disebut lu’ang atau sepuluh hari. Ca lu’ang berarti sepuluh hari lagi.

Selanjutnya, rapat menentukan rembo yang akan ikut dalam pembagian lingko (lodok lingko). Rembo adalah hak setiap panga untuk mengambil bagian dalam lodok lingko.

Kalau lingko-nya luas, maka semua panga bisa mendapat bagian, tapi kalau lingko-nya kecil, maka mereka yang tidak mendapat bagian akan diberikan kesempatan pada lodok lingko bon, yaitu lingko yang tidak mempunyai hubungan esensial dengan golo.

Pada rapat yang sama, disepakati siapa yang akan mengambil bagian dalam sor moso atau acara pembagian lingko. Setiap panga biasanya sudah mengetahui anggota keluarganya yang membutuhkan lahan.

Seandainya ada orang lain di luar wa’u atau yang disebut ata long tapi tinggal di golo dan ingin mengambil bagian dalam sor moso, maka dia akan mendekati tu’a teno dengan membawa ayam dan tuak.

Pembagian lingko sendiri akan dimulai dengan acara yang dikenal sebagai tente teno, yaitu menancapkan kayu yang bernama haju teno ke lubang yang telah digali sebelumnya dan persis terletak di pusat lingko. Dari kayu teno itulah nanti akan ditarik garis jari-jari lingkaran yang kemudian menjadi batas antarkebun (langang).

Namun, sebelum kayu teno ditancapkan, tua teno akan memegang sebutir telur ayam mentah dan mengucapkan sebuah doa harapan kepada Tuhan dan nenek moyang agar memberikan rejeki.

Telur ayam ini akan ditaruh di dalam lubang dimana kayu teno ditancapkan.

Sesudah lubang ditutup dengan tanah, di sekeliling teno akan ditancapkan kayu-kayu kecil yang disebut lance koe. Pada lance inilah akan diikat tali (wase). Banyaknya tali tergantung jumlah panga dalam satu golo. Di luar lance itu akan dibuat langang.

Sistem Odok

Odok adalah sebidang tanah yang sudah dibagi  secara jelas oleh nenek moyang ke dalam lampan dan uma meze.

Bentuk odok disesuaikan dengan kondisi topografi lahan, bisa lingkaran, persegi, atau tanpa bentuk teratur sekalipun.

Kalau sistem lodok, tu’a teno berperan penting dalam pembagian lingko, maka dalam sistem odok, dor yang bertanggung jawab.

Dor adalah orang yang diangkat dari (tidak harus) dari anggota sepu biza (seperti wa,u) yang memenuhi syarat-syarat tertentu.

Meski wanita bisa diangkat sebagai dor, tapi sejalan dengan budaya patrilineal, sebaiknya laki-laki yang sudah berkeluarga (uma mozong), sudah melunasi mas kawin (rotos zeto), dikukuhkan secara adat (tenang dor) dan dijamin tinggal menetap minimal selama satu musim tanam.

Dor akan mengadakan rapat awal  di rumahnya yang dikenal dengan sebutan reze yang dihadiri oleh wa’ung adak (gelarang atau dalu), ngga’e natar (ketua kampung) dan mereka yang menerima lampan dan uma meze.

Dalam reze akan diadakan pase, yaitu proses pengundian untuk menentukan odok yang akan digarap. Kemudian reze akan menentukan siapa saja yang boleh menggarap lampan dan uma meze. Dor mengetahui dengan baik  para angggota wongko sehingga pembagian dilakukan sesuai dengan kebutuhan.

Hak penggarapan lampan dan uma meze biasanya berakhir setelah lo’e (panen). Saat lo’e, setiap penggarap melapor ke dor untuk melepas hak pakai mereka atas tanah itu.

Dengan demikian, dalam masyarakat Rembong, setiap orang tidak memilik odok secara penuh sebagai harta pribadi. Setelah lo’e, mereka akan pindah ke odok lain yang lebih subur.(ARS/Floresa/Dari berbagai sumber).

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini