Rasionalisasi Pemprov NTT Demi Sukses Merampok Pantai Pede

Pantai Pede

Oleh: ENCE GEONG

Sosialisasi yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (Pemprov NTT) di Aula Sekda Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) pada 17 Januari 2015 tentang Pembangunan Hotel di Pantai Pede menguak banyak hal.

Namun, hal ini bukan karena jelasnya materi sosialisasi yang disampaikan oleh Pemprov NTT tetapi lebih karena masyarakat Mabar sangat kritis dan mengungkapkan berbagai data sejarah, hukum, sosial dan budaya Pante Pede.

Pemerintah Provinsi bahkan kelihatan tidak siap, baik dari segi data maupun argumentasi yang bisa menjadi landasan teguhnya pendirian mereka untuk menyerahkan Pantai Pede ke PT Sarana Investama Manggabar (PT SIM).

Tim dari provinsi lebih banyak menjelaskan hal-hal yang tidak dibutuhkan para peserta sosialisasi atau menjawab apa yang tidak ditanyakan para peserta.

Akibatnya, sosialisasi ini gagal total dengan beberapa pertanyaan tak terjawab hingga kini karena kekecewaan masyarakat terhadap penjelasan pihak Pemprov.  Masyarakat pun meminta acara sosialisasi ditutup.

Hanya satu persoalan yang dipertanyakan masyarakat yang coba dijawab oleh Gubernur NTT melalui para utusannya, yaitu tentang bagaimana sampai Pante Pede menjadi aset Pemprov NTT?

Jawaban yang disampaikan oleh Karo Hukum NTT, Hadidja Abbas pun tidak memuaskan peserta sosialisasi. Hadidja Abbas mencoba berargumentasi dengan masyarakat tentang mengapa Pante Pede tidak diserahkan kepada Kabupaten Mabar sebagaimana telah diatur dalam UU No 8 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Manggarai Barat.

Menggunakan pasal yang sama dengan yang digunakan masyarakat sebagai dasar pertanyaan tidak diserahkannya Pante Pede kepada Mabar, Hadidja menekankan bahwa tidak ada keharusan bagi Pemprov untuk menyerahkan Pante Pede kepada Mabar.

Menurutnya, UU tidak menyatakan bahwa Pemerintah Provinsi harus menyerahkan seluruh asset yang ada di wilayah Kabupaten Mabar karena tidak ada kata wajib atau harus dalam Pasal 13 UU No 8 Tahun 2003 itu.

Rasionalisasi Hukum

Mendengar penjelasan Gubernur melalui utusannya itu, para peserta sosialisasi memberontak. Beberapa orang bahkan mengatakan bahwa ini adalah cara untuk melegalkan perampokan yang dilakukan Pemprov NTT terhadap aset Mabar.

Bagi saya, penjelasan Hadidja  sangat aneh dan merupakan upaya rasionalisasi hukum semata, yang sulit diterima. Hal ini karena Pemprov menggunakan dasar hukum yang ada bukan untuk mengerti dan menyelesaikan persoalan, tetapi lebih sebagai upaya untuk membenarkan tindakannya. Akibatnya, UU ditafsir secara tidak proporsional. Penafsirannya dibuat untuk membenarkan apa yang dilakukan pemerintah Provinsi.

Pasal 13 Ayat 1 Huruf b UU No. 8 Tahun 2003 memerintahkan agar Gubernur NTT dan Bupati Manggarai menyerahkan kepada Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat “barang milik/kekayaan daerah yang berupa tanah, bangunan, barang bergerak, dan barang tidak bergerak yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Kabupaten Manggarai yang berada dalam wilayah Kabupaten Manggarai Barat”.

UU ini secara jelas menerangkan bahwa barang-barang baik milik Provinsi NTT maupun Kabupaten Manggarai yang ada di Mabar diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten Mabar.  Dan acara penyerahan itu mesti diselesaikan paling lambat satu tahun terhitung sejak peresmian dan pelantikan penjabat di Mabar.

Akan tetapi, hingga 11 tahun Manggarai Barat berdiri sebagai sebuah kabupaten sendiri, Pante Pede dan beberapa tanah di Mabar belum diserahkan.

Tentu saja, argumen Karo Hukum Sekda NTT di atas bahwa tidak ada kata “wajib” atau “harus” dalam UU itu yang mengharuskan Pemprov NTT untuk menyerahkan seluruh aset provinsi di Mabar kepada Pemkba Mabar bukanlah argumennya sendiri.

Argumentasi ini tentu saja menjadi argumentasi Gubernur NTT, Frans Lebu Raya juga. Sebelasn tahun sudah Mabar menjadi kabupaten otonom dan Fidelis Peranda, saat menjabat sebagai Bupati Mabar beberapa kali menyurati Lebu Raya tentang permintaan penyerahan aset-aset itu.

Akan tetapi, Pante Pede dan beberapa aset lainnya masih tetap teregistrasi sebagai aset Pemprov NTT. Hal ini menggambarkan bahwa argumentasi bahwa tidak ada kata “harus atau wajib” dalam UU itu merupakan dasar pijakan Pemprov untuk tidak menyerahkan Pante Pede kepada Pemkab Mabar.

Secara sepintas, argumentasi di atas bisa diterima. Akan tetapi upaya rasionalisasi atas belum diserahkannya Pante Pede kepada Kabupaten Mabar dengan basis penafsiran atas UU ini pun dengan mudah dipatahkan.

Gubernur dan stafnya membaca UU ini secara tidak proporsional. Dasar tidak diserahkannya Pantai Pede adalah tidak adanya kata “harus atau wajib”. Akan tetapi gubernur dan stafnya lupa bahwa tidak menyerahkan Pante Pede dengan alasan tidak adanya keharusan menuntut adanya pertimbangan sebaliknya yaitu apakah ada kata yang menunjukkan pengecualian dalam UU tersebut sehingga Pemprov hanya menyerahkan sebagian asset kepada Kabupaten Manggarai Barat dan sebagiannya tidak?

Pasal 13 UU ini tidak mengandung kata “kecuali” yang bisa membenarkan tindakan Gubernur NTT. Sebaliknya dalam UU ini Pemeprov NTT dan Pemkab Mabar diperintahkan untuk menyerahkan aset provinsi yang ada di Mabar, entah aset yang selama ini dimiliki, dikuasai atau yang dimanfaatkan oleh provinsi.

Dengan demikian, sesungguhnya lebih jelas dipahami bahwa yang dimaksudkan UU adalah seluruh aset provinsi yang ada di Kabupaten Mabar dan bukan sebagian aset. UU tidak memberi batasan tentang aset mana yang harus diserahkan dan mana yang tidak diserahkan, tetapi UU merinci aset – aset provinsi yang diserahkan kepada Kabupaten Manggarai Barat. Dengan demikian segala asset yang masuk dalam rincian itu mestinya sudah diserahkan kepada Pemkab Mabar.

Pertanyaannya, mengapa Pemprov NTT sangat teguh mempertahankan Pantai Pede dan bahkan dengan cara mengelabui masyarakat dengan rasionalisasi atas UU yang ada?

Bagi saya adalah benar jika beberapa peserta seminar mengatakan bahwa Pemprov sedang melakukan rasionalisasi untuk membenarkan perampokan aset Kabupaten Mabar. Apalagi, upaya rasionalisasi ini ditujukan untuk mengamankan MoU yang telah dibuat antara Pemprov dan investor.

MoU itu dengan PT Sarana Investama Manggabar (PT SIM), milik Setya Novanto telah dilakukan sejak 2011 lalu. MoU ini mengikat Pemprov dan PT. Sarana Investama Manggabar selama 25 tahun. Dengan MoU seperti ini, maka Pemprov NTT sebenarnya dalam posisi dilematis: membatalkan MoU berarti berhadapan dengan investor yang juga adalah Ketua DPR RI, sementara melanjutkan MoU berarti berhadapan dengan masyarakat Mabar yang tidak mau ruang publiknya yang tersisa dirampok para investor.

Akan tetapi, pilihan Pemprov menyelesaikan masalah ini adalah mencoba merayu masyarakat dengan PAD yang didapat dari kerjasama dengan investor sebesar Rp 250.000.000 per tahun atau Rp 20.833.333/bulan atau Rp 685.000/hari. Angka ini tentu saja tak sebanding dengan kehilangan ruang publik masyarakat Mabar dengan implikasi secara sosial, budaya, ekonomi dan politiknya.

Privatisasi Pante Pede berarti  juga menutup akses masyarakat Mabar untuk berekreasi, anak muda tidak bisa lagi berkreativitas, para pedagang kecil yang tersingkir dari pusat perekonomian di Labuan Bajo kehilangan pasarnya, atau para nelayan kehilangan tempat tambatan perahunya di Pante Pede.

Maka apa yang dilakukan Pemprov NTT dengan merasionalisasi UU di atas untuk mempertahankan kerjasama dengan investor merupakan suatu bentuk perampokkan terhadap asset Pemda Mabar dan ruang publik masyarakat.

Ence Geong adalah Alumnus Sekolah Tinggi FIlsafat Katolik (STFK) Ledalero, Maumere – Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Sekarang, ia aktivis HAM di Papua

spot_img

Artikel Terkini