Ketika Kita Ditimpa Tragedi, Tuhan Ada Dimana?

Keluarga korban AirAsia QZ8501
Keluarga korban AirAsia QZ8501

Oleh: AVENT SAUR

Kecelakaan lalu lintas entah darat, laut ataupun udara selalu terjadi kapan saja, di mana saja dan bisa dialami oleh siapa saja. Kecelakaan tidak memandang “muka”: entah jenis lalu lintas, latar belakang sosial-budaya orang yang menjadi korban, usia tua dan muda atau kecil, orang berada dan orang miskin, atau pelbagai latar belakang lainnya. Bedanya, terletak pada prosesnya, dan juga akibatnya, semisal jumlah korban dan total kerugian serta pelbagai cerita unik terkait lainnya.

Semuanya ini menyisakan dukacita, dan inilah tragedi. Tanggapan yang paling menonjol terhadap tragedi itu adalah keprihatinan. Lebih dari pada itu, adalah solidaritas. Dan besar atau kecilnya keprihatinan dan solidaritas sangat bergantung pada besar atau kecilnya jenis dan kerugian tragedi.

Demikian misalnya, tragedi kecelakaan pesawat AirAsia QZ8501 memancing tanggapan (keprihatinan dan solidaritas) luar biasa pada level internasional. Hal yang sama terjadi pada tragedi lainnya, entah kecelakaan lalu lintas atau bencana alam luar biasa. Demikian juga misalnya, tragedi kecelakaan tunggal sepeda motor di sebuah kampung atau kota kecil tentu membangkitkan keprihatinan dan solidaritas luar biasa pada level kampung/kota atau keluarga besar.

Namun entah apa pun levelnya, sebagai orang beragama-beriman (apalagi kita negara beragama [bukan negara agama]) yang percaya kepada Tuhan yang Mahaesa, tragedi itu menghadirkan pelbagai pertanyaan fundamental-radikal yang bergejolak memadati pikiran dan menggugat nurani yang boleh jadi menggoncangkan iman dan menggeser pandangan kita tentang Tuhan.

Di manakah Tuhan yang Mahakuasa? Apakah Tuhan absen, sementara umat meyakini bahwa Tuhan ada di mana-mana dan menguasai dunia dan segala isinya? Apakah Tuhan pelit, tidak menunjukkan kemahakuasaan-Nya pada saat manusia ciptaan-Nya mengalami situasi batas? Apakah Tuhan menghendaki mereka mati dengan cara demikian, dan dengan itu, Tuhan merencanakan itu? Apakah Tuhan sudah tidak berkuasa lagi atas ciptaan-Nya sendiri (alam atau teknologi lebih kuat daripada Tuhan)? Siapakah yang mengendalikan dunia sekarang dan selanjutnya setelah pada awal mula Tuhan telah menjadikan dunia?

Pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan betapa kompleksnya (rumitnya) misteri sebuah tragedi dan kehidupan manusia serta keberadaan Tuhan. Dengan cara apa pun dan dengan kekuatan apa pun yang dimiliki manusia, kekusutan benang misteri itu tak akan terurai tuntas.

Di hadapan pelbagai kompleksitas misteri itu, kita boleh marah dan menyesal, mempersalahkan diri, protes dan menggugat Tuhan dengan cara apa saja, tapi yang pasti semua ekspresi psikologis-spiritual itu mesti berujung pada kesadaran (pengakuan dan kepasrahan) akan keberadaan pribadi yang transenden bahwa pribadi itulah yang menghadirkan kita di dunia dan yang menjamin masa depan kita setelah berhenti hidup. Dengan kesadaran ini yang sekalipun sangat sulit dibangun, kita juga secara total sadar bahwa manusia itu fana, dan hanya Tuhan yang abadi.

Kesadaran ini sama sekali tidak boleh dijadikan candu (melankoli-religius) yang membuat orang justru pesimis akan hidup dan Tuhan. Kesadaran ini justru menguatkan kita untuk lebih militan menjalani hidup dengan percaya diri; mencari nafkah dan menerobosi tantangan, menyusuri darat, mengarungi lautan dan mengepak di udara, menciptakan teknologi, mencari ilmu pengetahuan dan menahkodai peradaban dengan modal kebebasan dan tanggung jawab terberi. Semuanya itu dijalankan dengan penuh kebahagian tanpa takut akan mati, karena usia dan tempat kematian hanya Tuhan yang tahu.

Justru oleh karena menggunakan kebebasan dan tanggung jawab itu secara kualitatif, kita akan mengalami keadaan masa depan di dunia abadi dalam kebahagiaan, di mana kita bersatu dengan Tuhan yang dahulu pernah memberikan kesempatan kepada kita untuk berziarah di dunia fana ini.

[infobox style=”alert-success”]Avent Saur adalah imam yang bertugas di Ende, Flores. Artikel ini pernah dimuat di Flores Pos, Selasa, 6 Januari 2015. Dipublikasi kembali di Floresa.co atas izin penulis.[/infobox]

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini