[Kaleidoskop dan Proyeksi] Pantai Pede: Tetap Jadi “Natas Labar” atau Jadi Barter Politik

"Save Pede", adalah salah satu bentuk kampanye yang dilakukan sejumlah elemen sipil di Mabar, demi mempertahankan pantai itu sebagai ruang publik. (Foto: dok Floresa)
“Save Pede”, adalah salah satu bentuk kampanye yang dilakukan sejumlah elemen sipil di Mabar, demi mempertahankan pantai itu sebagai ruang publik. (Foto: dok Floresa)

Floresa.co menghadirkan laporan khusus berupa kajian dan proyeksi terhadap isu-isu yang sudah, sedang dan akan dihadapi masyarakat Flores khususnya dan NTT umumnya. Kajian ini yang dilaporkan berseri merupakan hasil kerja sama tim riset Floresa.co.

 

Floresa.co – Salah satu isu yang menyedot perhatian publik di NTT terutama Manggarai Raya pada tahun 2014 adalah rencana penyerahaan pengelolaan Pantai Pede di Labuan Bajo ke  PT Sarana Investama Manggabar.

Pemerintahan Provinsi NTT yang dipimpin Frans Lebu Raya sudah menandatangani nota kesepahaman (Memorandum of Understanding) dengan perusahaan milik politikus Golkar Setya Novanto itu pada 2013 lalu.  Namun, tahun 2014 ini isu ini baru menjadi perhatian luas terutama setelah pihak perusahaan mulai memagari lokasi di Pantai Pede sehingga masyarakat tidak bisa bebas masuk lagi.

Gubernur Lebu Raya yang ditanya Floresa.co di Jakarta pada Senin (24/11/2014) mengatakan Pantai Pede adalah aset provinsi. Pemerintah akan menyerahkan pengelolaannya kepada swasta untuk dibangun hotel di atasnya.

Mayoritas masyarakat di Manggarai  Raya terutama Labuan Bajo menentang rencana tersebut.  Masyarakat menginginkan agar pantai tersebut tetap menjadi destinasi wisata yang bebas diakeses masyarakat luas.

Atau dalam bahasa sejumlah aktivis muda di Labuan Bajo, biarkan pantai itu tetap menjadi ruang publik, sebagai “natas labar” tempat masyarakat bermain, bercengkrama, bertukar pikiran, berkreasi, sambil menikmati indahnya pantai.

Apalagi,  hampir semua pantai di sekitar kota Labuan Bajo kini sudah dikapling menjadi milik orang-orang berduit, di atasnya sudah dibangun hotel serta resort-resort.  “Selama ini kami punya tempat main hanya (Pantai) Pede. Itu saja yang tersisa di dalam kota,” ujar Marta Muslin Tulis, seorang aktivis muda di Labuan Bajo ketika beraudiensi dengan Bupati Manggarai Barat, Agustinus Ch. Dulla pada Selasa (17/12/2014).

Lebu Raya berkilah, meski nantinya di tempat itu akan dibangun hotel, masih ada area yang bisa diakses masyarakat.

“Nanti masih ada tempat publik dan tidak tertutup untuk masyarakat. Ada pendapat supaya dibiarkan begitu saja menjadi tempat publik. Apakah dibiarkan seminggu sekali orang datang ke situ. Makanya dibangunlah hotel di sana”, kata Lebu Raya.

Tetapi masyarakat tentu belajar dari pengalaman nyata di lapangan. Sejumlah bibir pantai yang kini sudah dibangun hotel seperti di Binongko kini tidak lagi bisa diakeses masyarakat. Tempat-tempat tersebut sudah dijaga jongos perusahaan. Ketika ada masyarakat yang masuk, langsung kena semprit.

Semula harapan ditujukan kepada Bupati Manggarai Barat Agustinus Ch Dulla untuk bersama masyarakat menentang rencana tersebut.  Tetapi belakangan, Dulla terang-terangan mengatakan tidak bisa menentang Lebu Raya.

“Omong tentang Pantai Pede, kalau diminta saya ikut berjuang melawan gubernur, saya minta maaf. Saya bupati, kalau saya pensiunan bupati mungkin,” ujarnya, Selasa (17/12/2014).

Secara hukum  Pantai Pede adalah aset milik pemerintah provinsi NTT. Menurut Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappede) Manggarai Barat Aleks Saryono, aset tersebut dulunya adalah milik Kantor Wilayah Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi. Ini merupakan instansi vertikal dari Departamen Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi pada era Orde Baru.

Aset tersebut kemudian beralih ke pemerintah Provinsi NTT ketika otonomi daerah mulai diperkuat semenjak tahun 2004. Namun, anehnya, mengacu pada UU No 8 tahun 2003 tentang pembentukan kabupaten Manggarai Barat, mestinya aset tersebut beralih ke pemerintah daerah kabupaten Manggarai Barat setelah kabupaten itu terbentuk menjadi kabupaten definitif.

Lebih anehnya lagi, Bupati Dulla saat bertemu dengan perwakilan sejumlah komunitas orang Muda di Labuan Bajo pada pertengahan Desember 2014 lalu mengaku tidak mengetahui adanya amanat dalam UU N0 8 tahun 2003 tersebut.

Seorang sumber Floresa.co yang tidak mau namanya disebut mengatakan, Bupati Dulla dan juga ketua DPRD Manggarai Barat Matheus Hamsi bukan tak tahu soal UU tersebut. Tetapi, kata sumber itu, mereka sudah membarter pantai tersebut dengan berbagai kasus yang melilit mereka.

Karena itu, tampaknya di 2015 ini, perjuangan mempertahkan Pantai Pede sebagai “natas labar” atau ruang publik masih menjadi agenda penting yang perlu dikawal. Semua elemen yang peduli perlu bergerak.

Sejumlah komunitas muda di Labuan Bajo sudah lama bergerak. Beberapa waktu lalu, PMKRI Cabang Ruteng juga sudah dengan tegas menyatakan penolakan bahkan membongkar pagar pembatas yang telah dibuat perusahaan.

Di 2015 ini, butuh banyak lagi elemen yang terlibat. Sejauh ini, DPRD Manggarai Barat belum terdengar suaranya untuk menentang rencana tersebut. Kalau mereka toh sudah masuk angin, harapannya kini tinggal pada elemen masyarakat sipil. (ARL/Floresa)

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini