Ini Alasan Terbentuknya UU Desa

Baca Juga

Ilustrasi Kehidupan Masyarakat Desa
Ilustrasi Kehidupan Masyarakat Desa

Floresa.co – Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani mengungkapkan alasan filosofis dan sosiologis terbentuk UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dia menyebutkan dua hal yang menjadi dasar pertimbangan terbentuknya UU Desa sebagaimana termaktub dalam konsidearn UU Desa.

“Pertama, desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945),” ujarnya di Jakarta pada Jumat (5/12).

Kedua, lanjutnya, dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis. Hal ini, katanya, dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.

“Membangun desa adalah mandat konstitusional Pasal 18 dan 18B ayat (2) UUD NKRI 1945,” tegas Pengajar Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.

Dia menyatakan bahwa mengacu pada dua pasal Konstitusi RI, UU Desa telah memberi ruang pengakuan pada dua konsep penyelenggaraan pemerintahan desa yang selama ini berkembang dalam diskursus desentralisasi. Pertama, katanya, praktik desa sebagai organisasi komunitas lokal yang mempunyai pemerintahan sendiri atau disebut dengan self-governing community.

“Self-governing community menunjuk pada praktik bahwa komunitas lokal membentuk dan menyelenggarakan pemerintahan sendiri berdasarkan pranata lokal, bersifat swadaya dan otonom, tidak dibentuk oleh kekuatan eksternal dan tidak terikat secara struktural dengan organisasi eksternal seperti negara,” jelasnya.

Kedua, desa sebagai bentuk pemerintah lokal yang otonom atau disebut local self government. Konsep tata kelola ini merupakan bentuk pemerintahan lokal secara otonom, sebagai konsekuensi dari desentralisasi politik.
“Hal ini berarti negara mengakui pemerintah daerah yang sudah ada atau membentuk daerah baru, yang kemudian disertai pembagian atau penyerahan kewenangan kepada pemerintah lokal,” pungkasnya.

Ismail juga meninlai paradigma pembangunan yang dianut dalam UU Desa juga mengubah pola lama, yang meletakkan desa sebagai obyek pembangunan yang terus dikapitalisasi. Kemiskinan dan ketertinggalan desa, menurutnya telah sejak lama ditekuni tetapi masih sebatas meletakkan desa semata-mata obyek.

Dia mencontohkan proyek Inpres Desa Tertinggal (IDT), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), dan yang masih berlangsung hingga akhir 2014 ini adalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, baik berbasis pedesaan maupun perkotaan.

“Proyek-proyek tersebut berikhtiar mengatasi kemiskinan tetapi tidak dengan sepenuhnya menyertakan keberdayaan masyarakat sebagai sasaran utama pembangunan. Tepatnya, kemiskinan terus dikapitalisasi secara ekonomi dan politik,” tandasnya.

UU Desa akan diimplementasikan pada awal tahun 2015. Jika mengacu pada APBN yang sudah ditetapkan, dana desa yang dialokasikan masih terbatas hanya Rp 9,066 triliun. Dana ini jika dibagi ke 73.000 desa, maka masing-masing desa akan memperoleh 124 juta. Dana tersebut akan ditambah dari alokasi dana desa (ADD) sebesar 400 juta. Dengan demikian, setiap desa pada 2015 baru akan memperoleh dana sebesar 524 juta.

Pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla telah membentuk Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Kementerian ini juga adalah leading sector pemerintahan yang menjalankan mandat UU Desa. Kementerian hasil modifikasi Jokowi-JK ini ditujukan untuk membangun desa, membangun daerah tertinggal, dan melaksanakan kebijakan transmigrasi yang terintegrasi dengan fokus area pembangunan pedesaan. (TIN/Floresa)

Terkini