Naikkan Harga BBM, Jokowi Memang Hebat

 

Gregorius Afioma
Gregorius Afioma

Oleh: GREGORIUS AFIOMA, Pemuda asal Manggarai-NTT, Alumnus STF Driyarkara Jakarta. Kini sedang studi di Filipina

Keputusan menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) membuat Jokowi seketika menjadi sosok kontroversial.

Dikenal dekat dengan rakyat jelata, bahkan baru-baru ini ia berani memaafkan seorang yang menghinanya melalui media sosial, Jokowi seolah berubah drastis menjadi seorang presiden yang tak peduli dengan jeritan rakyat kecil yang merasakan efek domino dari kenaikan harga BBM.

Harga kebutuhan pokok, biaya pendidikan, kesehatan, dan tarif angkutan umum tentu bakalan meningkat. Lantas, benarkah Jokowi menjadi sosok yang kontroversial?

Ketegangan antara Visi vs Kenyataan

Melalui keputusan mencabut subsidi BBM, Jokowi terutama membuka mata rakyat Indonesia agar tidak menjadi terlampau “awam” dalam mengetahui urusan ekonomi negara ini.

Keputusan dari Jokowi lahir dari suatu ketegangan yang menuntut jalan keluar sesegera mungkin. Keadaan “darurat” itu merupakan hasil dari suatu visi untuk membangun kemandirian ekonomi dengan mengembalikan kekuatan negara maritim namun berhadapan dengan kenyataan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Patut dicatat bahwa defisit APBN diproyeksikan sebesar Rp 257. 572, 3 triliun sebelumnya. Sedangkan subsidi BBM pada RAPBN 2015 dialokasikan 291.111, 8 trilyun. Defisit inilah yang biasanya ditutup dengan utang. Tentu saja ini adalah preseden buruk pada periode transisi dari pemerintahan SBY kepada Jokowi.

Suatu keputusan harus diambil dalam keadaan demikian agar visi pada masa kampanye pemilu tercapai. Tak cukup dengan diskusi-diskusi yang bertele-tele, Jokowi lalu mengumumkan sendiri jalan keluar atas defisit tersebut melalui penghapusan subsidi BBM. Dengan pencabutan tersebut, diperkirakan terjadi surplus sebesar Rp. 33.539, 5 trilyun.

Kebijakan tersebut hendak menegaskan bahwa berhutang terus-menerus bukanlah jalan terbaik untuk mencapai kemandirian ekonomi. Kita sudah lama dimanjakan oleh utang. Subsidi tidak lain adalah semacam Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang mengabdi kepada nilai konsumsif daripada nilai produktif.

Bukankah utang perlu dibayar? Bagaimanakah utang dibayar kalau digunakan untuk konsumsi semata daripada membangun usaha yang produktif sedemikian sehingga bisa utang bisa dikembalikan?

Dililit utang dari masa ke masa membuat negara dengan kekayaaan alam luar biasa ini tetap berada dalam bayang-bayang “penjajahan” asing. Dengan mudah kita menerima perusahaan asing untuk menjarah alam kita melalui pertambangan. Sebab berhutang telah melemahkan daya tawar politik kita berhadapan dengan negara-negara lain.

Mengabdi Kepada Rakyat?

Jika tak dicermati secara baik, keputusan Jokowi memang terkesan tak berpihak kepada rakyat kecil. Sebab kenaikan harga BBM tentu menimbulkan situasi “chaos” yang tiba-tiba. Karena memang membangun kemandirian ekonomi tentu hasilnya tak terlihat sekali jadi tetapi berjangka panjang sehingga tak segera menolong situasi krisis ini.

Terlepas dari kesulitan yang kita hadapi sekarang, anggaran subsidi BBM sudah bisa dialokasikan untuk usaha yang lebih produktif, tidak lagi untuk konsumsi semata. Andaikan pembangunan tol laut bisa direalisasikan, pembangunan pelabuhan, akses jalan raya yang lancar, pasar, dan lain sebagainya, tentu hal itu membuka jalan kepada pemberdayaan ekonomi kerakyatan yang lebih luas dan merata.

Indonesia mempunyai potensi alam yang kaya raya dengan penduduk yang begitu banyak. Namun, selama ini terbelangkai karena pembangunan infrastruktur yang lamban, terbatas, dan diskriminatif. Kemajuan ekonomi Indonesia Timur masih bergerak lamban kecuali potensi alamnya yang lebih sering dijadikan lahan tambang. Padahal tambang bisa saja diabaikan kalau potensi ekonomi kerakyatan lebih diberdayakan.

Gambaran tersebut menunjukkan bahwa seorang presiden dalam mengambil keputusan tidak bisa menjadi terlampau melankolis. Curahan hati dari seorang guru honor yang merasa kewalahan dengan meningkatnya harga sembako tidak bisa membatalkan suatu keputusan penting untuk semua warga negara. Ia lebih mengabdi kepada visi dan misi yang sudah direncanakan dan “mengabaikan” perasaan orang-perorangan.

Di sinilah kita persis menemukan Jokowi yang tampaknya “tak peduli” dengan keluhan rakyat karena kenaikan BBM, tetapi sebetulnya sudah mendahului kita untuk berpikir tentang nasib kita ke depannya, bahkan sebelum kita memikirkannya untuk diri kita sendiri.

Sisi Kontroversial Jokowi

Kekuatan seorang Jokowi adalah kemampuan mengambil keputusan dalam situasi yang mendesak yakni tegangan antara visi besar dan keterbatasan anggaran.

Bahwa sekarang keputusan itu kemudian diikuti perdebatan panjang, salah satu hal yang harus direfleksikan: apakah yang terjadi jika Jokowi tak mencabut subsidi BBM?

Jokowi tidak akan berbeda dari pemimpin-pemimpin sebelumnya. Ia akan terjebak dalam lilitan utang yang sebagian untuk urusan konsumsi. Untuk menutup defisit APBN, ia sebetulnya bisa saja menaikkan pajak untuk perusahan-perusahan asing dan meningkatkan pengawasan keuangan pada masing-masing lembaga negara. Akan tetapi, keputusan pencabutan subsidi mempunyai nilai lebih.

Melalui keputusan tersebut, ia mengambil langkah cepat pembangunan sekaligus mengajak rakyat Indonesia seluruhnya menyadari kondisi perekonomian negara ini. Dengan kata lain, presiden ketujuh ini membangun kesadaran politik rakyat yang tampak “emosional” setelah pencabutan subsidi ini sedemikian sehingga tanpa dimintapun, rakyat yang “emosional” ini akan mengikuti dan mengawasi alokasi anggaran yang ia rencanakan ke depannya. Inilah pemerintahan bersama.

Sebaliknya jika keputusan tidak diambil, Jokowi akan menjadi sosok kontroversial. Bervisi besar tetapi bertindak nihil lantaran utang yang terus menjerat. Ia bahkan kemungkinan hanya mengisi lowongan jabatan administrasi tertinggi negara itu yang menunggu periodenya berakhir tanpa berbuat apa-apa.

spot_img

Artikel Terkini