Mengapa Pernyataan Deno Menyesatkan?

Edi Danggur
Edi Danggur

Floresa.co – Pernyataan Deno Kamelus, Wakil Bupati Manggarai beberapa waktu lalu yang meminta STKIP Ruteng tidak memainkan peran dalam politik terus mendapat kritikan pedas. Sejumlah pihak menilai, pernyataan Deno mengandung bahaya, karena dengan melarang kampus atau mahasiswa aktif dalam politik, ada kesan muncul upaya menghidupkan lagi rezim anti kritik, sebagaimana yang menjadi ciri khas orde baru.

Sebagaimana diberitakan Floresa.co sebelumnya, saat memberi sambutan pada acara wisuda 1.034 lulusan STKIP, Sabtu (8/11/2014), Deno menegaskan, dalam rangka mempertahankan perguruan tinggi yang kredibel, STKIP Ruteng menjalankan amanah UU nomor 12 tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi.

Dalam UU tersebut, jelasnya, perguruan tinggi wajib menjalankan fungsinya, yakni, pendidikan, penelitian dan pengabdian.

“Tidak boleh memainkan peran politik di kampus ini. Sebab, itu di luar amanah UU tersebut,” kata Deno, tanpa menjelaskan lebih detail peran politik apa yang ia maksud.

Edi Danggur, Dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Jakarta menilai, dengan mengatakan demikian, Deno sedang menegasi arti mendasar dari politik, yang pada hakikatnya merujuk pada upaya mencapai kesejahteraan umum.

Padahal, kata dia, mengambil peran dalam politik merupakan hak dan kewajiban konstitusional bagi setiap warga negara, termasuk mahasiswa.

“Sebab tujuan kita hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara adalah mewujudkan kesejahteraan umum itu”, kata Edi kepada Floresa.co, Rabu (12/11/2014).

Dalam rangka mencapai kesejahteraan umum, katanya, tentu tidak mudah, karena berbagai soal, terutama kemiskinan dan kebobrokan yang dilakukan oleh pemerintah, sebagai pengambil kebijakan.

Lantas, kata dia, hal itu membutuhkan peran berbagai pihak, termasuk kampus atau mahasiswa agar aktif memantau dan menyampaikan kritik demi memastikan terwujudnya kesejahteraan.

Selain karena kemiskinan ekonomi, yang membuat banyak masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhan hidup, jelas Edi, tantangan lain dalam mewujudkan kesejahteraan adalah sebagian rakyat kecil tidak mempunyai akses terhadap pendidikan yang memadai. Masalah berikut, kendati ada dari rakyat kecil yang sudah mengenyam pendidikan, namun dipersulit saat masuk dunia kerja.

“Pekerjaan di birokrasi seolah-olah monopoli anak pejabat. Rakyat tetap dibodohi secara sistematis”, jelas Edi.

Hal lain, yang menghambat kesejahteraan bersama adalah kemiskinan sosial dan sipil, di mana banyak rakyat kecil yang tidak diajak mengambil bagian dalam  memutuskan masa depan mereka sendiri.

“Mereka diberi informasi palsu atau yang dipalsukan. Proses demokratisasi dihambat dan proses pemikiran kritis pun dicegah”, katanya.

Ia melanjutkan, “kalaupun mereka mengkritik pejabat melalui media massa atau unjuk rasa, maka dengan segera pula disanggah dan dibantah, dengan berbagai argumentasi yang seolah-olah benar, padahal penuh kebohongan”.

Dalam konteks inilah, kata dia, ada harapan besar bagi kampus atau mahasiswa yang diandaikan memiliki kemampuan intelektual dan sikap kritis untuk menjalankan tugas profetis.

“Mahasiswa tidak boleh pernah menerima begitu saja keadaan sosial dan politik sebagai hal yang mutlak benar, yang memang harus diterima begitu saja, seolah-olah semua baik adanya”, jelasnya.

Ia mengatakan, mahasiswa justru harus menilai  keadaan masyarakat dengan solidaritas yang universal, yakni berpihak pada orang yang kecil, lemah dan miskin, yang terpaksa dipinggirkan dan karenanya kurang diperhatikan.

“Mahasiswa harus dapat membuktikan rasa solidaritasnya kepada masyarakat, dengan mengkritik segala bentuk penyelewengan yang dilakukan oleh pejabat. Bila perlu pejabat didemo, asal dilakukan dengan cara-cara yang etis dan tidak sampai merusak ketenteraman dalam masyarakat”, kata Edi.

Peran mahasiswa seperti ini, ungkap Edi, adalah bentuk kegiatan politik.

Kata Edi, ilmu pengetahuan yang diperoleh mahasiswa harus menjadi sarana pelayanan dan pengabdiannya bagi masyarakat di sekitarnya.

“Dalam konteks itulah kita bisa memahami kalau mahasiswa, melalui kegiatan diskusi, seminar, unjuk rasa, senantiasa berusaha untuk membangkitkan hati nurani umum, khususnya hatinurani mereka yang berpredikat sebagai pejabat pembuat keputusan.”

Untuk itu, jelas Edi,  mahasiswa dengan kemampuan intelektualnya turut serta bersama organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga swasta yang sama-sama berkemauan baik untuk menelanjangi kemacetan birokrasi, korupsi, kolusi, nepotisme, indisiplin, disorganisasi, egoisme pribadi dan kelompok, tingkah laku antisosial dan tidak bertanggung jawab, pemerasan serta penindasan.

Berangkat dari cara pandang demikian, demikian Edi, pernyataan Wabup Deno menunjukkan sikapnya yang ingin membentengi diri dari fungsi kontrol, yang selama ini dan ke depan dimainkan oleh kelompok masyarakat sipil, termasuk civitas akademika STKIP Ruteng.

“Ia sekaligus mewartakan dirinya sebagai tipe birokrat yang berpikir secara ideologis. Artinya, dia hanya mau memegang ‘kebenaran’ yang menguntungkan diri atau kelompoknya,” jelas advokat yang juga aktif di Kelompok Peduli Manggarai (KPM) ini.

Demi keuntungan pribadi, kata Edi, Deno menyirami benih rasa curiga, benih rasa saling tidak percaya, benih rasa saling menyalahkan, bahkan benih pembohongan yang menyesatkan masyarakat.

Sebelumnya, kritikan terhadap Deno juga disampaikan oleh mantan aktivis mahasiswa STKIP, termasuk Vito Dandung, aktivis mahasiswa tahun 2003-2008. Ia menegaskan, kalau kampus atau mahasiswa terlibat dan peduli dengan kondisi politik  di Manggarai, itu artinya kampus atau mahasiswa sedang menjalankan darma ketiga yang Deno sebut sebagai pengabdian.

Vito mengatakan, dirinya sangat mendukung sepenuhnya setiap gerakan STKIP yang membawa pencerahan politik bagi masyarakat Manggarai.

“Terutama untuk mengkritisi setiap kebijakan Pemda yang tidak populis,” kata mantan Sekjen Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia ini. (ARL/Floresa)

spot_img
spot_img

Artikel Terkini