FPPL: “Polres Lembata Digaji Dengan Uang Rakyat, Bukan Uang Bupati”

Polres LembataFloresa.co – Forum Pemuda Peduli Lembata (FPPL) Jakarta menyampaikan kritik pedas terhadap kinerja polisi di Polres Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dinilai tidak profesional. Forum ini menilai, dalam banyak kasus, Polres Lembata lebih cenderung membela kepentingan Bupati Eliaser Yentji Sunur, sementara rakyat kecil dikorbankan.

“Mereka digaji dengan uang rakyat, bukan uang bupati,” kata Marcel Buang Blikololong, Moderator FPPL di Jakarta, akhir pekan lalu.

Ia menegaskan, Polres Lembata tidak menyadari tugas mereka yang seharusnya melayani, mengayomi dan melindungi masyarakat serta menegakkan hukum.

Penilaian Marcel merujuk pada sikap aparat Polres Lembata dalam penanganan kasus usulan pemberhentian Bupati Sunur ke Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia beberapa bulan lalu.

Dua anggota DPRD Lembata Bediona Philipus dan Fransiskus Limawai (Fery) Koban yang membawa dokumen usulan pemakzulan itu akhirnya ditetapkan sebagai tersangka karena dianggap membawa dokumen palsu ke MA. Bediona telah ditahan Polres Lembata pada Jumat (17/10/2014) malam.

“Jika ada anggota DPRD Lembata diduga melakukan pemalsuan dokumen usulan pemakzulan Bupati Lembata ke MA, semestinya anggota DPRD bersangkutan dipanggil dan diperiksa Badan Kehormatan DPRD sebagai alat kelengkapan yang bertugas mengawasi anggotanya,” tandas Marcel.

Terkait kasus ini, terpisah, kuasa hukum Bediona, Petrus Bala Pattyona menegaskan, masih ada pertanyaan penting lain yang harus dijawab aparat Polres Lembata terkait kasus kliennya, misalnya, apakah Polres Lembata sudah melakukan penyitaan dokumen di MA sebagai badan peradilan tertinggi.

Selain itu, kata dia, apakah dokumen asli tersebut sudah diuji petik bagian-bagian yang dianggap palsu.

“Apakah sudah dikonfirmasi secara kelembagaan ke DPRD Lembata atau pihak-pihak yang menyusun, membuat, dan menandatangani dokumen-dokumen yang diserahkan ke MA? Saya yakin Polres Lembata tidak mungkin melakukan sita agar dokumen asli dijadikan bahan pemeriksaan laboratorium untuk tahu kepalsuan dokumen,” kata Bala Pattyona.

Selain kritik terkait ketidakprofesinalan dalam penanganan kasus itu, Polres Lembata, juga dianggap Marcel gagal dalam penanganan kasus kematian anak Sekolah Dasar, Alfons Hita saat pengerjaan arena balap motor di Desa Muruona, Ile Ape.

Proyek arena balap motor tersebut dikabarkan tak ada dalam rencana Dinas Pariwisata Lembata, juga tak pernah dibicarakan dan disetujui DPRD Lembata.
“Aneh, setelah Kepala Dinas Pariwisata jadi tersangka, penanganan kasus itu tak jelas lagi. Saya lihat, kepala dinas bersangkutan sengaja dikorbankan untuk melindungi pejabat yang lebih tinggi. Bupati seharusnya bertanggung jawab dengan kematian bocah Alfons Hita,” ujar Marcel.

Ansel Deri, aktivis FPPL lainnya menyoroti ketidakprofesional aparat Polres Lembata saat menangani dugaan penipuan dan pemerasan ratusan juta rupiah yang dilakukan Bupati Sunur terhadap kontraktor lokal, Paulus Lembata dengan iming-iming mendapatkan proyek multi years bernilai miliaran rupiah.

Juga, jelas Ansel, penanganan kasus pembunuhan Karinus Lanang yang terjadi di Markas Polsek Wulandoni pada 17 Agustus lalu. Karinus dibunuh di dalam kompleks Markas Kepolisian Sektor (Mapolsek) Wulandoni, tak jauh dari aparat kepolisian. Penanganan kasusnya pun berlarut-larut dan begitu sulit pelaku ditangkap dan diproses.

“Kita meminta agar aparat Polres Lembata tak bermain-main dalam sejumlah kasus hukum di wilayah hukum Polres Lembata. Jika kasus-kasus ini tidak ditangani serius, bukan tidak mungkin akan memantik kemarahan rakyat,” tandas Ansel.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini