Krisis Air di “Kota Dingin”: PT Nampar Nos dan Kecemasan Orang Ruteng

Floresa.co – Memanfaatkan jejaring sosial seperti Facebook sebagai ajang memperluas pertemanan, bertegur sapa, juga ruang untuk narsis, adalah hal biasa, yang bisa ditemukan sehari-hari.

Tapi, ada hal lain, yang sudah makin jadi tren luas fenomena di media sosial: tak sedikit yang menjadikan Facebook sebagai ajang mengungkap kepedulian sosial.

Itulah yang terjadi, saat pemilik akun Edel Jenarut New, dalam statusnya mengangkat masalah krisis air di Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang kerap disebut “kota dingin”.

Status Edel, perempuan asal Ruteng yang tinggal di Jakarta ini mendapat respon luas dan melahirkan diskusi panjang sejak ia unggah, Selasa (13/10/2014) kemarin.

Edel menulis demikian:  Sudah sebulan lebih saya perhatikan, wall teman-teman di Ruteng dipenuhi dengan masalah air. Tepatnya kekurangan air.Kita semua tentu tahu bahwa kekurangan air bisa disebabkan oleh banyak hal antara lain perubahan iklim, hutan yang tak lagi hijau dan bisa juga pengaruh Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK). Kira kira ada tidak pengaruh air kemasan terhadap debit air?Dan bagaimana sebenarnya halhal yan menyangkut Izin Eksplorasi Air Bawah Tanah (ABT)?

Hingga Rabu siang, sudah terdapat 114 komentar di status tersebut. Salah satu hal yang menjadi fokus diskusi – sebagaimana disinggung Edel – adalah kehadiran perusahan AMDK, tidak lain PT Nampar Nos, yang memproduksi air kemasan bermerek Ruteng.

Tentang PT Nampar Nos

Sebuah tim kecil yang menjadi peserta pelatihan JPIC-OFM dan JPIC KeuskupanRuteng pada Maret 2011, pernah membuat penelitian tentang perusahan ini. Penelitian tersebut yang melibatkan 6 orang secara terbatas berupaya menjawab pertanyaan ini: Apakah ada dampak kehadiran PT Nampar Nos bagi debit air di Ruteng?

Mereka menelurkan sebuah laporan berjudul “Wariskan Mata Air, Bukan Air Mata Kepada Anak Cucu Kita”, yang salinannya juga didapat Floresa.

Dalam laporan tersebut, berdasarkan hasil wawancara mereka dengan Koordinator Produksi PT. Nampar Nos, Bapak Bon, dijelaskan bahwa perusahan ini merupakan milik swasta, dengan nama pemilik Willy Agustinus. Pria ini dilaporkan berasal dari Surabaya dan pernah sekolah di University of Technology, Sydney, Australia pada 1997-2001.

PT Nampar Nos masuk ke Ruteng pada 2005, dengan dua hasil produk: air minum Ruteng dan jus berlabel Ruteng.

Dari Bapak Bon, tim peneliti menemukan bahwa, kedua produk ini mengambil air tanah sebagai bahan dasarnya. “Air diperoleh dengan cara membor ke dalam tanah sedalam 75 meter. Proses pengambilannya melalui sistem teknologi canggih. Air disedot menggunakan mesin-mesin yang diatur otomatis untuk mengisi tempat penampungan yang tersedia. Air yang digunakan melalui proses ozon dan filterisasi yang katanya sangat higienes dan terjamin kualitasnya”, demikian laporan penelitian ini.

Dampaknya Sudah Terasa

Valens Dulmin, Sekertaris Eksekutif JPIC-OFM yang menjadi pendamping dalam penelitian saat itu mengatakan kepada Floresa, meski mereka tidak sampai pada penelitian teknis-ilmiah terkait dampak kehadiran PT Nampar Nos, terutama terkait peta lokasi pemboran perusahan, namun pengakuan sejumlah narasumber, terjadi pengurangan debit air, sejak perusahan itu hadir.

Dalam laporan penelitian ini, misalnya, mengutip penjelasaan seorang narasumber bernama Bapak Ben (57), petani di Mena, mereka menulis, ”Om Ben bercerita dengan semangat dan agak marah ketika kami bertanya tentang keberadaan perusahaan air minum Ruteng. Tanpa ditanya ia menjelaskan tentang mata air yang kena dampak langsung dari perusahaan air minum tersebut. Dua mata air yang dimaksud adalah Air di Kelurahan Golo Dukal (Taga, Ruteng Pu,u dan Leda) dan Wae Ces (Lawir, Ka, Mena). Om Ben juga mengkritik pemerintahan Cristian Rotok yang menurutnya sangat lemah”.

“Dan yang paling disesalkannya adalah pemerintah membiarkan PT Nampar Nos mengambil air di atas. Sebab PT Nampar Nos Ruteng mengambil air di antara dua mata air yaitu Wae Rowang dan Wae Lerong”, demikian laporan tersebut.

Memang, dari penelitian ini tidak semua warga Ruteng mengaku terkena dampak kehadiran perusahan itu. Ibu Sisi, seorang warga Woang misalnya menuturkan, mereka hampir tidak mengalami masalah serius terkait air, karena menggunakan air dari Perusahan Daerah Air Minum (PDAM)  PT Tirta Komodo untuk urusan rumah tangga.

Sementara untuk mengairi sawah, Ibu Sisi mengaku, mendapat aliran air dari kali Wae Locak. “Dan menurut pengakuan ibu sisi dan anaknya bahwa sawah mereka yang cukup banyak tidak pernah kekurangan air. Ibu sisi dan keluarga tetap mengolah sawahnya dua kali setahun, dengan hasil yang tidak tetap. Perbedaan hasil itu bukan karena kekurangan air tetapi lebih disebabkan oleh perawatan dan pengolahan sawah. Misalnya pemberian pupuk dan penyemprotan hama dan penyakit”, demikian laporan ini.

Ditambahakan juga bahwa, “mengenai kehadiran PT. Nampar Nos yang mengeksploitasi air di kota Ruteng, Ibu Susi melihat tidak ada pengaruhnya bagi ketersediaan air di keluarganya.”

Namun narasumber lain, Bapak Aleks dari Kampung Ruteng Pu’u memberi kesaksian bebeda. Ia mengatakan, kali Wae Lideng, Wae Moro dan Wa Namut sangat terkena dampak. “Kalau musim kering Wae Namut mengalami penerunan debit sampai sebesar jari-jari tangan manusia,” katanya, seperti dikutip laporan penelitian ini.

Bapak Kosmas Siong, seorang sarjana geografi, yang tinggal tinggal di Waso mengatakan, “Kehadiran PT Nampar Nos mempengaruhi penurunan debit air di kota Ruteng terutama untuk wilayah Pau, Taga,Woang, Mena, Ruteng Pu’u sampai kali Wae Garit.

“Sebab wilayah-wilyah tersebut kemungkinan besar memiliki jalur air tanah yang sama dengan jalur air tanah yang diambil oleh PT Nampar Nos. Kalau itu yang terjadi maka mata air yang terdapat di Ruteng Pu’u, Pau, Woang, Ka Redong, suatu saat akan hilang”, tulis laporan tersebut. “Karena setiap hari perusahaan mengambil air dengan target yang tetap sementara produksi air tanah sangat bergantung pada musim dan tingkat peresapan tanah.”

Paradoks

Kisah miris warga di Ruteng sangat kontras dengan kisaran uang yang diperoleh PT Nampar Nos dan menjual air dan jus. Berdasarkan pengakuan Bapak Bon, perusahan itu dalam sehari memperdagangkan 50,860 liter air dalam bentuk air gelas (920ml), air botol (600ml dan 1500ml), air galon, serta jus.

Cypri Jehan Padju Dale, peneliti alumnus Universitas Erasmus Belanda yang dalam bukunya “Kuasa, Pembangunan dan Pemiskinan Sistemik (2013)”, juga menyinggung soal masalah air ini mengatakan, jika di pasaran, rata-rata harga air per liter adalah Rp. 2,000, maka penghasilan bruto/kotor perusahann ini dalam sehari adalah 101,720,000 rupiah. Dalam sebulan Rp. 3,051,600,000 atau Rp. 36,619,200,000 (36,6 miliar rupiah) dalam setahun.

“Kalau seluruh air itu dibeli oleh orang Manggarai, maka sebesar itulah uang orang Manggarai yang diserap oleh perusahaan ini”, tulis Cypri dalam bukunya. “Dalam kalkulasi kasar, memakai data 2011, maka setiap tahun ada 36 miliar sumber daya publik yang diprivatisasi, dan ada 36 miliar uang pribadi orang Ruteng yang dikeluarkan untuk beli air.”

Cypri mengaitkan fakta pencaplokan sumber daya air (water resources grabbing) di Ruteng dengan fakta memburuknya kualitas dan kuantitas pelayanan PDAM yang menyebabkan orang Ruteng semakin banyak menjadi konsumen PT Nampar Nos.

Ia berargumen, ini adalah salah satu contoh pemiskinan sistemik di Ruteng. “Orang Ruteng dimiskinkan dengan dua cara sekaligus, yakni dengan cara pencaplokan sumber daya air yang sebenarnya sumber daya publik dan orang Ruteng terpaksa menjadi konsumen air yang dicaplok oleh perusahaan dari sumber daya publik itu”, jelasnya.

“Jadi rugi dobel, hilang sumber daya dan harus mengeluarkan uang untuk membeli air yang sebenarnya bisa didapat gratis”, katanya.

Cypri mengatakan, sebagaimana juga disinggung Valens dari JPIC-OFM, perlu penelitian lebih lanjut untuk membuktikan secara teknis apakah berkurangnya debit air memang diakibatkan oleh operasi perusahaan ini.

“Namun pengambilalihan air yang adalah milik publik dalam tanah untuk kepentingan komersial jelas bermasalah. Kita sedang menyaksikan di Ruteng sebuah mekanisme water grabbing, yang seperti prosess land grabbing di tempat lain merampas sumber daya vital milik kolektif masyarakat ke tangan segelintir elit pemodal dalam kerjasama dengan aparat negara lewat mekanisme yang seakan-akan legal,” tegasnya.

Mesti Disikapi

Jika data 2011 itu membuat miris, lalu apa fakta saat ini? Keluhan orang-orang Ruteng, yang terekam di Facebook tentu saja mengafirmasi masalah krisis air, yang tak lama lagi akan akut.

Agustinus Dawarja, pengacara asal Manggarai di Jakarta yang juga pemilik kantor hukum Lex Regis mengatakan, persoalan ini harus segera disikapi. “Nanti Ruteng akan kehabisan air”, katanya kepada Floresa.

Ia menjelaskan, air Ruteng sebenarnya sudah sejak awal bermasalah, antara lain terkait merek, karena kata dia, nama ibukota tidak boleh dipakai sebagai merek dagang.

“Tetapi yang terpenting adalah soal lokasinya. KotaRuteng akan kewalahan di masa depan, karena letak perusahan itu sejajar dengan sejumlah sumber air. Maka. secara alami dia sedot semua air. Wae Ces sekarang mulai mengering”, katanya.

Dari segi tata kota, jelas Gusti juga terjadi masalah, mengingat wilayah perusahan ini masuk adalah kawasan kota.

“Jadi lokasi yang sekarang itu, bukan untuk kawasan perindustrian, tetapi untuk perumahan dan kota”, jelasnya.

Pabrik air yang terletak di perkotaan, kata dia, pasti tidak sesuai dengan tata ruang kota.

Ia memberi peringatan, “karena Pemda yang memberi izin, mereka sekarang harus upayakan agar perusahan itu pindah kalau mau Ruteng selamat untuk jangka panjang.”

Situasi ini memang, butuh langkah serius dari kelompok yang peduli, termasuk Gereja dan kelompok masyarakat sipil. Bila seperti dalam kasus tambang, mengharapkan ada niat baik pemerintah untuk memikirkan keselamatan rakyat banyak ibarat pungguk merindukan bulan, maka dalam isu ini, Gereja dan kelompok masyarakat sipil diharapkan kembali berada di garis depan.

Memang sebagaimana ditulis pemilik akun Ronny Marut di status Edel Jenarut New, ketika PT Nampar Nos masuk, Almarhum Uskup Eduardus Sangsung  SVD sendiri yang meresmikan pabrik ini.

Tapi tentu saja, peresmian oleh seorang uskup tidak menjadi alasan pembenar bagi kehadiran sebuah perusahan yang diketahui mendatangkan petaka bagi publik.

Orang Ruteng-lah yang jadi korban, juga di kampung-kampung lain, yang selama ini mengharapkan adanya aliran air dari kota dingin itu.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.