Apa Pesan Petisi Tentang Uskup Ruteng (Tanggapan Terhadap Artikel Gregorius Afioma)

Oleh: RYAN DAGUR

[Artikel yang ditulis Gregorius Afioma berjudul Kedewasaan Iman: Menyikapi Petisi Untuk Uskup Ruteng dan dipublikasi di situs ini pada Sabtu, 11 Oktober 2014 mendapat tanggapan dari Ryan Dagur. Berikut isi tanggapan tersebut]

Membaca sampai habis tulisan Gregorius Afioma dengan judul “Kedewasaan Iman: Menyikapi Petisi Untuk Uskup Ruteng”, memberi banyak pencerahan soal sikap apa yang mesti diambil berhadapan dengan isu yang memang selalu dianggap sensitif untuk dibicarakan: skandal para imam, uskup.

Argumen yang sarat degan sentuhan teologis itu amat jelas dan memberi kesimpulan jelas pula, bahwa perlu memilah-milah, bagaimana beriman dan bagaimana beragama.

Dalam konteks menghadapi petisi soal Uskup Ruteng, Mgr Hubertus Leteng – di change.org yang dituduh memiliki anak angkat, menggelapkan dana, dst –  misalnya, pesan dari Afioma saya rumuskan begini: tak perlulah menganggap hal itu sebagai pengganggu iman, meski pernyataan seperti ini bisa dengan segera diserbu argumen lain, bahwa sikap setiap orang tidak mungkin sama menyikapi petisi seperti itu.

Mengapa tak seharusnya menganggap itu mengganggu iman? Ya, karena kata Afi,info soal skandal itu, sebenarnya menyentuh hal lain, soal beragama, tepatnya figur dalam institusi agama, yaitu uskup.

Dalam arti itulah, maka ia menulis, “Bahwa kita kecewa terhadap berbagai skandal para imam, para uskup, dan lain sebagainya, satu hal yang pasti adalah tidak boleh mengkianati diri kita sebagai makhluk beriman.”

Yang saya tanggapi, lebih ke soal adanya isu skandal itu, hal yang dalam tulisan Afi tidak terlalu diekplor, terutama terkait cara berpikir seperti apa yang harus selalu/mesti ada menyikapi munculnya isu-isu itu.

Ketika petisi itu muncul, yang ada dalam benak saya, pertanyaan ini : Benarkah ini? Saya tak langsung menganggap bahwa itu semua bohong hanya karena orang yang membuat petisi tidak membuka identitas. Ia hanya menulis Gemas NTT, nama yang kemudian saya yakini, hanya ciptaan sesaat saja.

Memang, tak sedikit orang mengatakan, “Ah itu sampah, jangan percaya, cukup sudah omong soal itu, karena toh si pembuat petisinya itu lempar batu sembunyi tangan”.

Saya membaca, reaksi demikian mewakili pola umum yang ada dalam masyarakat kita berhadapan dengan informasi negatif tentang institusi gereja, bahwa siapapun yang menyebar informasi itu langsung dianggap sebagai tukang gosip, menyebar fitnah dan lalu lebih sadis lagi, mereka itu musuh gereja.

Lantas, ketika gereja memberi jawaban/klarifikasi, maka itulah yang dengan segara diangap sebagai kebenaran tunggal. “Ini sudah gereja beri tanggapan. Itu orang memang tukang tipu”, begitu komentar untuk si penyebar informasi(petisi) setelah membaca klarifikasi pihak gereja.

Tapi, apakah itu harus segera diamini sebagai akhir dari cerita tentang isi petisi itu? Lalu kita diwajibkan percaya saja pada klarifikasi gereja, dengan sedikit argumen yang memaksa: cukup sudah omong itu.

Memang, pasti akan lebih menarik bila kita bisa mendapat tanggapan dari si pembuat petisi terhadap klarifikasi itu. Tapi dalam konteks ini, itu sulit, karena kita tidak tahu siapa dia.

Lagi-lagi, tetap ada yang mesti dicatat, bahwa gereja tidak boleh berhenti pada klarifikasi itu. Mesti ada upaya untuk mencari tahu kebenaran di baliknya. Apapun informasi itu, tidak bisa segera dibilang sampah, tetapi harus mendorong gereja untuk kritis terhadap dirinya sendiri.

Karena, siapa bisa menjamin, semua isinya adalah sampah. Saya selalu memberi jawaban, “Saya tidak tahu. Tuhan dan mereka yang terkait dengan petisi itu yang tahu”, ketika ada yang tanya: “Ole…..itu benar kah?” Itu jawaban normatif, tapi ada penegasan di dalamnya, bahwa, saya tak begitu yakin, semua itu salah. Berbeda kalau jawaban ini: “Jangan percaya, itu bohong semua”.

Ada alasan di belakang jawaban saya: Agaknya sulit membayangkan ada orang yang seberani itu memfitnah pejabat gereja sekelas uskup – andai saja semua isipetisi itu bohong. Karena, si pembuat petis  pasti tahu apa konsekuensi yang akan dia dapat dari fitnahan itu.

Lalu, soal lain, perlukah mencari tahu siapa si pembuat petisi? Menurut saya itu perlu dalam konteks agar mudah mendapat penjelasan lebih lanjut terhadap apa yang ia tulis. Tapi, kalaupun ia tak diketahui pasti identitasnya, maka itu tak bisa menjadi alasan untuk mengabaikan saja isi petisi itu.

Karena, dengan pola umum reaksi yang menyebut orang seperti Gemas NTTsebagai perusak, maka sangat sulit memaksa siapapun agar dengan berani membuka diri, identitas, siapa sebenarnya dia. Beban sosialnya besar.

Penyelidikan terhadap kebenaran isi petisi itu mutlak, apalagi jika ada indikasi-indikasi yang membuka pintu pada kesimpulan lain, bahwa apa yang diinfokan itu benar adanya.

Kalau toh, memang itu benar, maka yang menjadi tugas kita, membangkitkan lagi wibawah gereja. Karena bukankah, ia perlahan-lahan sudah kehilangan wibawa akibat mereka-mereka yang menjadi oknum dalam banyak bentuk kasus.

Mengutip lagi tulisan Afi  di bagian akhir, “Kita harus membedakan iman sebagai sebuah kebutuhan dasar manusia dan penghayatan iman dalam baju institusi agama yang disertai kelemahan-kelemahan manusiawi. Inilah yang membuat kita harus semakin kritis dalam menanggapi isu-isu negatif seputaran dinamika keagamaan”.

Sebagai orang beriman, saya tetap berdoa, semoga Tuhan selalu membuka kita jalan untuk mencari cara agar agama/gereja kita tetap jadi “Kabar Baik” bagi siapapun. Berdoa juga untuk para gembala, agar mereka tetap jadi Gembala Yang Baik.

Penulis adalah pemuda asal Manggarai Timur, alumnus STF Driyarkara, Jakarta. Saat ini bekerja di UCA News.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini