Efek Tambang di Tumbak, Benih Konflik Sosial Mulai Mencuat ke Permukaan

Warga Tumbak sedang berada di lahan mereka yang hendak ditambang oleh PT Aditya Bumi Pertambangan (Foto: Floresa/Irvan Kurniawan)
Warga Tumbak sedang berada di lahan mereka yang hendak ditambang oleh PT Aditya Bumi Pertambangan (Foto: Floresa/Irvan Kurniawan)

Floresa.co – Kehadiran perusahan tambang PT Aditya Bumi Pertambangan di Kampung Tumbak, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur tidak hanya mengoyak lingkungan yang selama ini menjadi tempat nyaman bagi warga.

Tambang, bagi masyarakat kampung ini, sudah menjadi pemicu konflik horisontal.

Gambaran situasi ini diungkap oleh Irvan Kurniawan, Ketua Umum HIPMMATIM yang pada Senin (21/7/2014) datang ke Tumbak bersama para mahasiswa lain untuk mempelajari situasi terkini di daerah lingkar tambang tersebut.

Berdasarkan data yang ia temui di lapangan, sampai saat ini, dari 72 kepala keluarga (KK) yang ada di Tumbak, terdapat 52 KK yang menolak kehadiran tambang dan 20 orang yang menerima kehadiran tambang.

Mereka yang menerima tambang telah mendapat kompensasi sebesar 25 juta per KK.

Pihak perusahan masih berjuang merayu warga lain dengan memanfaatkan warga yang telah menerima tambang.

“Cara mereka merayu memang sangat menggiurkan dengan tawaran uang 25 juta per KK di tengah kebutuhan kami yang tinggi akan uang,” kata Mus, seorang warga Tumbak yang getol mempertahankan tanahnya.

Sampai saat ini, ke-52 KK tersebut masih setia dengan komitmen untuk mempertahankan tanah ulayatnya sampai titik darah penghabisan.

“Kami tidak mau uang. Kami tidak percaya dengan janji kesejahteraan yang ditawarkan perusahaan. Bagi kami, tambang sebagus apapun janjinya tidak akan membawa manfaat,” demikian kata Morgan, yang juga menolak tambang.

Di gunung yang terletak di seberang sawah ini sudah ditargetkan untuk menjadi lokasi tambang. Namun warga Tumbak masih menolak. (Foto: Floresa/Ardy Abba)
Di gunung yang terletak di seberang sawah ini sudah ditargetkan untuk menjadi lokasi tambang. Namun warga Tumbak masih menolak. (Foto: Floresa/Irvan Kurniawan)

Sementara itu berdasarkan pengakuan warga pro-tambang yang sudah menerima uang kompensasi, kebutuhan akan uang untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari adalah alasan utama mereka.

“Utang yang melilit, kebutuhan akan makanan, kesehatan, pakaian tidak bisa dipungkiri oleh kami,” kata salah seorang warga pro-tambang yang tidak mau disebutkan namanya.

Kondisi Memanas

Irvan menegaskan, relasi warga yang terpecah menjadi pro dan kontra makin hari makin memanas.

“Telah terjadi sekat sosial yang disinyalir akan melahirkan prahara besar. Pihak pro membentuk kelompoknya sendiri dan pihak kontra membentuk kelompok sendiri”, katanya.

Sain, seorang warga yang selalu membaca situasi ini mengatakan, kedua kubu ini sebenarnya berasal dari satu keluarga besar. Ia sangat menyayangkan kehadiran tambang di daerah mereka yang justru memancing konflik horisontal yang berkepanjangan.

Luis Aman dari Institute Sophia-Kupang mengatakan, agar konflik ini tidak berkepanjangan, pemerintah harus turun tangan, jangan melakukan pembiaran.

Selama ini yang terjadi, kata dia, Pemda Manggarai Timur selaku pemberi izin tambang seakan melakukan pembiaran terhadap gejala ini.

“Pemerintah juga tidak boleh netral karena kalau mereka netral itu juga pembiaran. Dimana peran mereka sebagai jembatan antara perusahaan dan masyarakat?”, pungkas Luis yang dihubungi via telepon.

Sementara itu, pihak perusahan mengelak bahwa kehadiran mereka membawa konflik di tengah masyarakat.

Rusli, General Officer PT Aditya menegaskan, pihaknya tidak sedang mengadu domba masyarakat.

“Kami sebagai perusahaan justru mengharapkan kehadiran kami tidak membawa perpecahan”, katanya. “Kami mengharapkan pihak pro dan kontra jangan terlalu emosional tetapi menyikapi masalah ini dengan cara-cara yang elegan, seperti lewat ranah hukum” lanjut Rusli.

Masalah SK Bupati Tote

Konflik tambang di Tumbak bermula dari penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk PT Aditya berdasarkan SK Bupati Manggrai Timur, Yosep Tote No. HK/81-2009.

Dalam lampiran SK itu, lokasi tambang termasuk di Tumbak, tetapi jika berdasarkan peta lokasi yang ada, Tumbak tidak termasuk dalam wilayah IUP yang mencapai luas 2.222 hektar.

Warga Tumbak yang menolak tambang pun melakukan pemagaran di Lingko Roga dan Lingko Lembung, dua lingko mereka.

Namun pihak perusahan dibantu aparat keamanan terus berupaya meloloskan niat mereka untuk mengeruk alam di Tumbak.

Akibatnya pada Juni lalu, 21 warga Tumbak, dimana dua orang di antaranya masih duduk di bangku SMP dijadikan tersangka oleh Polres Ruteng karena memagari Lingko Roga dan Lingko Lembung.

Informasi yang dihimpun Floresa, pada 31 Juli 2012, Warga Persekutuan Adat Gendang Tumbak pernah membuat kesepakatan dengan PT Aditya.

Isinya, bagian pinggir luar Lingko Roga, Lingko Lembung dan Lingko Bongko dipakai oleh perusahan, tetapi hanya untuk pembuatan jalan ke lokasi tambang di Waso dari Satar Teu.

Namun kemudian, sejak Mei 2014 lalu, malah lokasi tersebut dikeruk.

Perusahan asal India itu melakukan eksplorasi di Lingko Roga dan Lingko Lembung, serta satu lagi, Lingko Wejang Nara.

 

Ikuti terus info kasus tambang Tumbak dalam topik: Prahara Tambang Tumbak

 

spot_img
spot_img

Artikel Terkini