Ini Dia Pengatur Strategi Kampanye Prabowo

Rob Allyn
Rob Allyn

Kalau pemilihan presiden Indonesia kali ini akan dicatat sebagai pemilihan yang paling sarat dengan kampanye hitam, mungkin harus segera disebut nama satu orang yang sangat – kalau bukan paling – bertanggungjawab.

Orang itu adalah Rob Allyn. Warga negara Amerika Serikat ini adalah tukang plintir (spin doctor) yang merancang segenap propaganda hitam untuk menghancurkan Jokowi.

Dia memang bukan orang main-main. Dia adalah perancang kampanye George Bush untuk menjadi Gubernur Texas, dan berada di tim pemenangan Bush untuk menjadi Presiden Amerika Serikat pada 2000 dan 2004.

Namun yang paling penting dalam catatan prestasinya adalah ketika ia menjadi konsultan politik calon presiden Meksiko,  Vincente Fox, segera sesudah Bush menang di AS. Berkat tangan dinginnya, Fox berhasil naik ke tampuk kekuasaan dengan menumbangkan Partai Revolusi Institusional yang sudah berkuasa selama 71 tahun.

Rob telah malang melintang di dunia periklanan dan public relations di AS selama 25 tahun. Ia pernah menjadi Presiden dan CEO Allyn & Company yang dikenal sebagai salah satu perusahaan konsultan politik, public relations dan iklan terkemuka di AS.  Pada 2000, perusahaan itu diambil alih Omnicom.

Allyn tidak bekerja untuk memenangkan ideologi tertentu. “Saya pebisnis, bukan politisi,” kata Allyn di majalah D Magazine pada 2001. Yang dia layani bukan saja klien politik namun juga perusahaan-perusahaan besar seperti Coca cola, Seven Eleven, dan AT&T.  Sekadar catatan, perusahaan yang ia pimpin dikenal aktif mempromosikan hak kaum gay dan lesbian baik di AS maupun di negara-negara lain di dunia.

Namun, karena percaya dia dibayar untuk memenangkan klien, dia bisa melakukan apapun untuk memenangkan pertarungan. Salah satu keahliannya yang khas adalah merekayasa kebenaran untuk menghancurkan lawan.

Apa yang terjadi di Indonesia saat ini khas karya-karya Allyn: penuh kebohongan, fitnah, rekayasa dan plintiran. Jokowi misalnya dituduh sebagai komunis, kafir, anti-Islam, Kristen, memiliki orangtua Cina-Singapura. Begitu juga, konsep Revolusi Mental dituduh sebagai gagasan komunis. Di sepanjang proses pemfitnahan ini, beredar bukti-bukti hasil rekayasa, seperti foto, akte kelahiran atau bahkan surat nikah palsu.

Di luar itu ada pula pembuatan tabloid Obor Rakyat, penyebaran kabar palsu soal transkrip wawancara Megawati dengan Jaksa Agung untuk membebaskan Jokowi dari tuduhan kasus korupsi TransJakarta, serta penyebaran surat palsu Jokowi yang meminta penangguhan pemeriksaan oleh Jaksa Agung.

Kecanggihan kampanye itu juga terasa melalui media baru seperti Youtube: manipulasi dalam film Prabowo Sang Patriot, rekayasa wawancara dengan Jokowi yang seolah-olah disiarkan stasiun televisi internasional Bloomberg, serta rekayasa pengunduhan video yang memuji Prabowo oleh ilmuwan terkemuka AS, Geoffrey Robnson.

Kehebatan kampanye hitam itu pun terlihat dalam rekayasa pemberitaan  tentang hasil penelitian lembaga survei internasional Gallup yang memenangkan Prabowo. Terakhir adalah kehadiran empat lembaga survei yang melansir hasil-hasil Quick Count yang sangat meragukan.

Kampanye hitam yang penuh kebohongan ini sangat luar biasa. Namun itulah keahlian Allyn. Dia adalah master rekayasa.

Selain berprofesi sebagai konsultan politik dan bisnis, Allyn (tahun ini berusia 55 tahun) adalah seorang produser film, penulis naskah film, perancang iklan dan penulis novel. Novelnya, Front Runner yang ditulisnya pada 1990 pernah menempati posisi buku terlaris menurut New York times selama 13 minggu.

Di Indonesia dia terlibat sebagai produser dan penulis naskah dalam trilogy film yang didanai oleh keluarga Prabowo: Merah Putih (2009), Darah Garuda (2010), dan Hati Merdeka (2011). Ia juga membuat film dokumenter tentang kehebatan Prabowo dan program revolusi putihnya berjudul Hungry is the Tiger, yang dapat disaksikan di Youtube. Belakangan ia membuat film komersial bertema aksi, Java Heat.

Hampir semua film tersebut disutradai oleh anaknya sendiri, Conor Allyn. Trilogi film revolusi yang mereka buat berbiaya sangat besar (dikabarkan ketiganya menghabiskan dana di atas Rp 40 miliar), tidak begitu meledak di pasar Indonesia namun mendapat penghargaan di sejumlah festival internasional. Salah satu kekuatan film-filmya adalah dalam hal kedahsyatan efek visualnya.

Kehebatannya dalam menciptakan kehidupan imajiner di layar lebar itu juga terlihat dalam kampanye yang ia rancang dalam kehidupan nyata.

Ia dianggap berjasa dalam memenangkan George Bush sebagai Presiden AS pada 2000 karena ia berhasil merancang kampanye negatif yang efektif menjatuhkan reputasi pesaing Bush, John McCain.

Kehadirannya di Meksiko sejak awal sudah diwarnai kontroversi. Negara itu sebenarnya tidak mengizinkan keterlibatan orang asing dalam masalah politik dalam negeri. Ratusan jurnalis dan aktivis HAM luar negeri diminta keluar Meksiko karena aturan itu. Namun Allyn dengan cerdik bisa terus bertahan di sana selama pemilu.

Kisahnya bak cerita spionase tingkat tinggi. Ia berkeliaran di Meksiko dengan berbagai nama palsu, seperti Jose de Murga atau Alberto Aguirre. Peran Allyn sangat besar dalam kemenangan Fox. Ia terlibat dalam hal jajak pendapat, menyusun pidato sampai menentukan pakaian yang dikenakan Fox.

Setelah kemenangan spektakuler Fox, ia sempat menjadi konsultan  Perdana Menteri Bahama, Perry Christie dan juga calon presiden Haiti, Dumarsais Simeus; serta membantu Bush di masa pemerintah Amerika menyerbu Irak dan Afghanistan.

Allyn kembali membantu Fox pada 2005 untuk melobi kepentingan Meksiko di AS. Dia juga membantu keberhasilan Calderon menjadi Presiden Meksiko pada 2006. Di Meksiko, Allyn dibayar US$ 720.000 per tahun.

Media di AS yang secara khusus meliput Amerika Latin, menggambarkan Allyn sebagai orang yang lazim mengembangkan kampanye hitam dengan beragam cara: iklan-iklan provokatif, polling palsu, berbagai berita yang didasarkan pada kabar burung dan fitnah, untuk menciptakan ketakutan dan kebencian; serta juga menggelar demonstrasi bayaran dalam skala raksasa.

Untuk memenangkan Fox, misalnya Allyn menciptakan LSM bernama ‘Democracy Watch’ yang berperan sebagai seolah-olah pemantau pemilu. Di masa Fox berkuasa, Allyn juga merancang sejumlah kampanya rekayasa.

Salah satu kejahatan Allyn adalah memanipulasi peristiwa Atenco di Meksiko, Mei 2006, dalam peristiwa tersebut 30 dari 47 tahanan politik perempuan diperkosa polisi. Allyn disebut membantu Vicente Fox menentukan langkah yang harus diambil supaya kasus itu tak sampai menggoyahkan posisinya. Ia juga membantu Fox mengatur pemberitaan dalam media agar kasus ini tidak menjadi besar.

Di masa Presiden Fox, Allyn berperan besar dalam upaya membangun citra positif tentang Meksiko di AS. Salah satu keberhasilan dia adalah ketika melancarkan kampanye agar AS tidak menerapkan kebijakan yang akan memperketat arus imigran ilegal dari Meksiko.

Setiap tahun sekitar 500 ribu imigran legal dari Meksiko masuk ke AS.  Hanya saja, yang sebenarnya terancam oleh kebijakan tersebut bukanlah hanya para imigran miskin dari Meksiko melainkan juga operasi penyelundupan obat bius berskala raksasa yang dilindungi pemerintah Meksiko.

Yang dilakukan Allyn adalah mengarahkan opini publik Amerika untuk bersimpati dengan nasib para imigran Meksiko dan mengabaikan isu utamanya, yakni soal arti penting pengamanan perbatasan AS-Meksiko bukan saja dari arus imigran tapi juga peredaran obat bius. Untuk itu, Allyn melakukan berbagai kegiatan lobi, jajak pendapat, iklan  dan kunjungan tur pejabat Meksiko ke AS.

Allyn juga  memobilisasi demonstrasi-demonstrasi yang melibatkan ratusan ribu orang di kota-kota di AS, seperti di Los Angeles. Ini sempat menimbulkan kekacauan dan huru-hara yang melibatkan kebencian ras dan etnik. Kekacauan ini turut diprovokasi oleh berbagai media berbahasa Spanyol di AS yang dibayar oleh Allyn.

Di masa kampanye Calderon (yang menggantikan Presiden Fox), Allyn juga menerapkan propaganda hitam. Pada awalnya, Calderon dikenal sebagai politisi yang jujur dan patriotik. Namun elektablitasnya tertinggal dibandingkan lawannya. Di bawah arahan Allyn, Calderon mengubah taktik kampanyenya dengan melancarkan kampanye hitam terhadap pesaingnya, walikota kota Mexico City, Lopez Obrador. Nyatanya taktik ini berhasil.  Calderon menang.

Dengan reputasi semacam itu, wajar bila Allyn sekarang menerapkan hal serupa untuk menghancurkan Jokowi.

Allyn sendiri membantah bahwa ia berada di belakang kampanye hitam Prabowo. Ia mengaku hanya menjadi pembuat iklan politik televisi bermuatan pesan positif. Namun dengan reputasinya yang sedemikian mengemuka, kehadiran Allyn untuk sekedar membuat iklan tentu tak masuk akal.

Allyn sudah membantu Prabowo sejak pemilu 2009. Ketika itu, iklan-iklan Gerindra yang sangat atraktif – antara lain dengan visualisasi garuda– membantu perolehan suara partai sampai 4,46%. Sejak saat itu branding Prabowo sebagai seorang pemimpin yang nasionalis, berani menentang dominasi asing, dan peduli pada rakyat kecil secara konsisten dikembangkan.

Prabowo dan Gerindra juga secara khusus mengarahkan kampanye mereka pada generasi muda yang tak pernah mengalami penindasan politik ala Orde Baru dan tak memiliki kenangan buruk tentang kejahatan militer.

Hanya saja, kalau Allyn hanya mengarahkan kampanyenya pada pembangunan citra positif Prabowo, tentu tak akan ada masalah. Yang jadi persoalan, sang master kini kembali menunjukkan keahliannya dalam kampanye hitam yang memecahbelah bangsa.

Buat Allyn, ini barangkali sekadar permainan. Buat Indonesia, dia membawa malapetaka. (Sumber: www.indonesia-2014.com)

spot_img
spot_img

Artikel Terkini