Pesan Jurnalis: Antara Rindu dan Benci

Alfred Tuname
Alfred Tuname

Oleh: Alfred Tuname, kolumnis Floresa, pemerhati isu sosial dan politik

Seorang ibu muda, dengan senyum membuka jendela di pagi hari. Ia menikmati udara yang segar dan langit biru nan indah. Ia diam sebentar dan (mungkin) membayangkan suaminya di suatu tempat yang jauh. Suami adalah seorang tentara yang sedang bertugas di medan pertempuran.

Tak lama berselang, seorang pria berseragam tentara menghampiri rumah tetangganya. Ia melihat perbincangan singkat tetangganya dengan pria berseragam itu, lalu tangisan pecah di rumah tentangganya. Dua pria berserangam membawa kabar duka.

Kejadian itu merupakan sepenggal cerita pada film The Messenger (2009) yang diproduksi oleh sutradara Oren Moverman. Film ini bercerita tentang ketakutan para istri tentara kalau-kalau the messanger mengetuk pintu rumah mereka. Ketukan itu pertanda ada berita duka. Pada masa perang, para istri tentara tidak menginginkan kejadian itu terjadi pada mereka. Mereka berharap the messanger menjauh dari rumah mereka dan tidak pernah ada di kintal halaman rumahnya.

Cerita yang nyaris sama juga sedang terjadi pada pemerintah lokal, khususnya di Manggarai Raya. Aparatus pemerintah lokal tidak ingin berita buruk pemerintahannya didengar oleh masyarakat, bahkan oleh dirinya sendiri. Perbedaanya, dalam film The Messenger, berita buruk yang diterima oleh para istri berkaitan dengan kisah heroik suaminya di medan perang. Sementara, berita buruk yang diterima pemerintah daerah berkaitan dengan malpratik aparatusnya.

Dalam konteks ini, the messanger adalah para jurnalis. Jurnalis berkerja pada sebuah media, tetapi ia mengabdi kepada masyarakat. Akses terhadap informasi merupakan hak masyarakat yang diatur oleh undang-undang. Hak atas informasi itu sangat penting untuk membangun suatu peradaban yang lebih baik. Pengakuan atas demokrasi juga ditunjukkan dalam tersedianya informasi yang membentuk nalar demokratik masyarakat.

Untuk itu, informasi yang butuhkan adalah informasi yang benar, bukan sebuah propaganda. Setiap jurnalis berpegang pada kebenaran, setiap media berlandas pada prinsip independensi. Bingkai kode etik jurnalistik selalu melekat pada setiap jurnalis. Inilah yang membuat “good news is a good news”, “bad news is a bad news”. Apa pun itu, berita menjadi penting untuk dibaca dan dinikmati sebagai sebuah berita.

Lantas apa yang membuat orang berang terhadap jurnalis? Orang itu seperti “ibu muda” yang tidak ingin mendengar apa yang terjadi dan tidak ingin itu membuat dirinya menderita. Orang itu adalah aparatus pemerintah yang tidak ingin tindakan koruptifnya diketahui oleh masyarakat. Orang itu takut berhadapan dengan hukum. orang itu tidak mau bertanggung jawab atas apa yang telah ia lakukan.

Aparatus negara hanya ingin membaca berita-berita narsistik tentang dirinya. Lembar-lembar koran akan diguntingnya dan disimpan di benaknya, jika itu berkaitan dengan sesuatu yang baik tentang diri dan perbuatannya.

Tetapi, ia akan memburu para jurnalis yang menulis berita tentang keburukan kinerja atau kebijakannya. Kebenaran akan menjadi momok bagi setiap aparatus negara jika itu berkaitan dengan keburukan sebuah produk kebijakan. Artinya, masyakat tidak perlu tahu, dan cukup untuk menikmati “business as usual”.

Itulah yang terjadi dengan Ketua DPRD Manggarai Timur (Matim), Yohanes Nahas pada Januari lalu, yang tidak ingin masyarakat tahu tentang praktik kolusi dan manipulasi lembaga eksekutif dan legislatif. Karena itu, Nahas mengancam jurnalis yang meliput bau tidak sedap di pemerintahan Matim terkait kasus korupsi. Tidak berhenti di situ saja, tindakan teror dan intimidasi kepada jurnalis dilakukan oleh pemerintah lokal Matim dengan mengaktifkan kembali premanisme.

Di kabupaten Manggarai, jurnalis juga diancam. Awal Juni ini, pengawal Gregorius Gaguk, anggota DPR terpidana kasus politik uang pada Pileg 9 April lalu mengancam dan melakukan kekerasan fisik (premanisme) kepada Martinus Don, jurnalis NTT Online lantaran sang jurnalis memotret Gaguk yang hendak digotong ke Lapas Labe. Berita penahanan politisi Gregorius Gaguk sebenarnya merupakan berita gembira bagi rakyat sebab politisi busuk merupakan musuh dalam daging demokrasi lokal.

Kabar tentang intimidasi terhadap para jurnalis adalah sebuah wajah buruk demokrasi lokal. Demokrasi ternyata hanya melahirkan politik lokal yang elitis, nyaris menjadi dinasti. Penguasa lokal memelihara orang-orangnya sendiri, berikut preman, untuk menguatkan dinasti. Mereka menjadi the part of local power  yang mengabdi demi sebuah stabilitas.

Filsuf Jean-Claude Milner menyebutnya sebagai “stabilising class”. Cara kerjanya adalah mengontrol dan mengawasi setiap perilaku yang dianggap membahayakan kelas penguasa. Definisi “membahayakan” tentu merupakan defenisi yang berasal dari penguasa lokal. Dalam pemerintahan seperti ini tidak akan ada janji perubahan.

Padahal, pemerintahan yang demokratis mengandaikan adanya sebuah perubahan dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Perubahan yang lebih baik mensyaratkan akses terhadap kesetaraan dan keadilan. Di situ, pemerintah menjamin setiap kebebasan berpendapat dan berekspresi. Setiap orang memiliki hak yang sama di hadapan hukum dan hak politik yang sama. Dengan hak tersebut, setiap orang mempunyai akses yang sama terhadap keadilan.

Penguasa politik dikontrol oleh rakyat demi sebuah keadilan. Atas nama demokrasi, penguasa harus mendengar setiap aspirasi, sebab kekuasaan itu berasal dari rakyat. Di sini, media masa dan para jurnalisnya bekerja dalam kapasitasnya sebagai “penyambung lindah rakyat”.

Pada konteks politik, media massa ada demi terciptanya komunikasi yang dialogis antara yang memimpin dan dipimpin, penguasa dan rakyat yang dikuasai. Media massa bukan alat penguasa, melainkan “medium” kebenaran politik. Sebab, melalui media massa setiap kebijakan pemerintah diapresiasi atau dikoreksi (dikritik), tentu demi kebaikan bersama.

Oleh karena itu, setiap tindakan diskriminatif, intimidatif dan represif terhadap media massa dan jurnalis, berarti penghinaan terhadap hak rakyat dan peniadaan kebenaran. Tindakan penghinaan ini harus dilawan.

 

 

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini