Merusak Mangrove, Walhi NTT dan JPIC OFM Laporkan PT IDK ke Polda NTT

Malaka, Floresa.co Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) NTT dan JPIC OFM Indonesia, yang tergabung dalam Tim Advokasi Lingkungan, melaporkan PT IDK, perusahaan pengrusak mangrove di Kabupaten Malaka, ke Polda NTT pada Rabu, 27 Maret 2019.

Menurut Tim Advokasi, PT IDK diduga melanggar beberapa peraturan perundang-undangan yakni, UU Nomor 27 Tahun 2007 Tetang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan serta UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Selain JPIC OFM dan Walhi NTT, elemen yang juga turut mengawal kasus tersebut ialah Institute Resource of Governance and Social Change (IRGSC) serta Jaringan Relawan untuk Kemanusiaan Kupang.

Adapun hutan magrove yang mengalami kerusakkan akibat investasi garam PT IDK ialah di Desa Weoe dan Desa Weseben, Kecamatan Wewiku seluas kurang lebih 200 hektar dengan di Desa Montaain seluas 10 hektar, serta di Desa Rebasa Wemaian, Kecamatan Malaka Barat.

Direktur JPIC OFM Indonesia, Pastor Alsis Goa menegaskan bahwa setiap proses pembangunan hendaknya berorientasi pada kesejahteraan masyarakat, tidak mengabaikan kondisi ekologis, budaya, sosial masyarakat serta peraturan perundang-undangan yang ada.

“Namun, aktivitas industri garam PT IDK di Malaka, kuat dugaan mengabaikan semua hal tersebut. Tanpa mengantongi AMDAL PT IDK telah melaksanakan aktivitas industri garam berupa penebangan dan pembabatan hutan mangrove,” katanya.

Lebih lanjut, kata Pastor Alsis, PT IDK diduga telah melakukanb tindakan pidana lingkungan sebagaimana diatur dalam UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

BACA JUGA: Warga Malaka Desak Hentikan Perusakan Mangrove untuk Perusahaan Garam

“Pembabatan hutan mangrove juga telah menghancurkan dimensi sosial ekologis dan ruang kehidupan masyarakat adat, secara khusus masyarakat adat Wewiku. Karena bagi masyarakat adat Wewiku, mangrove bukan hanya tempat perlindungan dan pengembangbiakan biota laut, tetapi menjadi batas kehidupan dunia darat dan laut,” ujarnya.

Direktur WALHI NTT, Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi menegaskan bahwa PT IDK bertanggung jawab serta melakukan pemulihan lingkungan pada wilayah-wilayah yang telah dirusak.

“PT IDK telah mengabaikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.  Pembangunan berkelanjutan pada hakekatnya merupakan pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan pemenuhan hak generasi yang akan datang,” jelas Umbu.

Menurut Umbu pemerintah wajib secara tegas menindak PT IDK karena tidak mengantongi AMDAL sebagai salah satu dokumen vital dalam pembangunan sebagaiman diatur dalam pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Menteri, gubernur, atau bupati atau walikota wajib menolak setiap permohonan Izin lingkungan apabila permohonan izin tidak dilengkapi dengan Amdal,” katanya.

“Tanpa adanya izin lingkungan terancam dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000 dan paling banyak Rp 3.000.000.000 sebagaimana diatur dalam pasal 108 UU No. 32 tahun 2009,” tambahnya.  

Sementara, Perwakilan Aliansi Peduli Kerusakan Mangrove Malaka Ardy Milik dari IRGSC mengaku tidak mengerti dengan janji kesejahteraan ekonomi dan pembukaan lapangan kerja bagi masyarakat oleh PT IDK namun dengan cara merusakkan lingkungan hidup.    

BACA JUGA: Anggap PT IDK Langgar Hukum, Walhi NTT Tolak Ikut Kaji Amdal

“Faktanya, PT IDK telah merusak lingkungan hidup, memutus mata rantai ekosistem di sekitar pantai, anomali cuaca dalam beberapa tahun terakhir, serta menciptakan konflik horizontal,” ujarnya.

ARJ/Floresa

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini