Warga NTT di Yogyakarta Kecam Perusakan Mangrove di Malaka

Floresa.coWarga asal Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang ada di Yogyakarta mengecam perusakan mangrove di pesisir selatan Kabupaten Malaka untuk pengembangan industri garam, di mana mereka juga meminta pemerintah untuk taat hukum dan tidak berpihak pada korporasi.

Menyebut mangrove sebagai “berkah,” Yakobus Fahik, Koordinator Umum Solidaritas Keluarga dan Mahasiswa NTT di Yogyakarta mengatakan,“tidak pantas berkah ini kita hancurkan hanya untuk kepentingan sesat sesaat begitu banyak pemangku kepentingan.”

Yakobus menyampaikan hal itu dalam aksi kultural di Joglo Aquinas, PMKRI Yogyakarta, Kamis, 28 Maret 2019, sebagai bentuk keprihatinan atas perusakan lebih dari 200 hektar mangrove di Malaka oleh perusahan swasta PT Inti Daya Kencana (IDK).

Yakobus mengatakan, pembangunan haruslah menempatkan manusia sebagai subjek.

“Ketika alam dirusak dengan semena-mena, di mana lagi kemanusiaan dan orientasi menjadikan manusia sebagai subjek?” katanya dalam pernyataan tertulis kepada Floresa.co, Sabtu, 30 Maret 2019.

Ia menambahkan, pembangunan juga mesti berorientasi pada keberlanjutan ekologi.

Yakobus mempertanyakan kecenderungan Pemerintah Provinsi NTT yang malah menambah runyam sobekan kohesivitas sosial akibat pengrusakan mangrove ini, dengan hanya berpihak pada kepentingan korporasi dan strategi Pemerintah Kabupaten Malaka yang menurutnya tidak sensitif terhadap kajian-kajian lingkungan, sosial dan kebijakan yang ada. 

Hal ini merujuk pada sikap permisif Gubernur NTT Victor Laiskodat beberapa waktu belakangan yang justeru melegalkan aktivitas PT IDK meskipun perusahan itu belum memenuhi kewajiban menurut undang-undang, termasuk terkait dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).

Niko Loin, dosen Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta menandaskan, pembangunan haruslah juga mempertimbangkan natural capital stock  (NCP) atau cadangan sumber daya alam, seperti ikan, kepiting, dan udang yang tersisa sebelum dan sesudah pembabatan mangrove.

Gap (kesenjangan) antara yang diambil dan cadangan alam tidak terlalu diperhitungkan dalam sebuah pembangunan, padahal pembangunan yang ideal harus mempertimbangkan NCP,” katanya.

Aksi kultural ini mengusung tema “Hanimak no lo’o ba Rai Moris Fatin” (Mengakrabi dan Memuliakan kembali Alam Semesta).

Peserta mementaskan tarian bidu, aktus-aktus kultural dengan ciri khas Malaka, puisi dan pantun dalam bahasa daerah, diskusi dan bincang-bincang mengenai situasi terkini di Malaka, hingga komitmen bersama untuk terus memperjuangkan kelangsungan ekologi di NTT.

Mereka juga menyampaikan sikap bersama, yang meruncing pada tuntutan agar PT IDK segera menghentikan pengrusakan mangrove, mengingat pentingnya fungsi mangrove bagi kehidupan orang Malaka.

Acara ini dihadiri oleh para tokoh senior NTT, kelompok dosen asal NTT, perwakilan mahasiswa, hingga simpatisan dan kelompok peduli lingkungan. (Foto: Ist)

Selain memiliki fungsi ekologis, kata mereka, mangrove juga merupakan  obat untuk menyembuhkan luka gigitan Naibei (Buaya) dan untuk menyembuhkan patah tulang. 

“Mangrove bagi masyarakat Malaka adalah (juga) rumah bagi para leluhur yaitu Beinai (buaya).  Oleh karena itu, jangan sekali-kali menghancurkan rumah leluhur tersebut,” kata mereka.

Hendro Pedro, mahasiswa NTT yang sedang studi program doktor di Universitas Gajah Mada menceritakan bahwa pasca tsunami di Maumere, Kabupaten Sikka pada talun 1992, ada seseorang yang dipanggil Baba Ahong menanam lagi mangrove. 

Berkat penanaman ulang itu, katanya, kini masyarakat sekitar pantai boleh menikmati kelimpahan ikan, kepiting, dan udang. 

“Inilah berkah dari mangrove. Oleh sebab itu, hari ini harus muncul lagi Baba Ahong yang lain di tempat lain di NTT, sebab mangrove sungguh bermanfaat bagi keberlanjutan ekologi itu sendiri,” katanya.

Acara ini dihadiri oleh para tokoh senior NTT, kelompok dosen asal NTT, perwakilan mahasiswa, hingga simpatisan dan kelompok peduli lingkungan, seperti Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Yogyakarta, Komunitas Indonesia Hijau (KIH) Yogyakarta, Forum Batu Tulis Nusantara (FBTN) Yogyakarta dan Forum Peduli Mangrove Malaka (FPMM). 

Inisiasi menggelar kegiatan ini bermula dari keprihatinan Ikatan Keluarga Malaka Yogyakarta (Ikamayo), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) St. Thomas Aquinas Yogyakarta, INTAN, Ikatan Keluarga Mahasiwa Adonara Yogyakarta (KAMAY) Kelompok Mahasiswa Pasca Sarjana UGM Asal NTT, GAFARTA, IKTTU (Ikatan Keluarga TTU), Ikatan Keluarga Belu (IKB), GEMBEL Yogyakarta, dan Janabadra. 

Astra, Ketua PMKRI St. Thomas Aquinas Yogyakarta mengajak semua organ mahasiswa yang hadir dalam aksi kultural tersebut untuk membangun kolektivitas gerakan.

“Hari ini teman-teman di Malaka, Pulau Timor yang mengalami (masala), esok mungkin pulau-pulau yang lain yang ada di NTT yang mengalaminya. Karena itu, kita harus bersama-sama mengawasi agar pembangunan itu harus memperhatikan aspek ekologis, budaya, dan sosial kemasyarakatan,” katanya. 

Dituding Langgar Undang-undang

PT IDK telah beraktivitas sejak 2017, meski tanpa mengantongi izin lokasi dan dokumen Amdal.

Perusahan itu mengklaim bahwa mereka sedang mengurus dokumen perizinan, termasuk Amdal. Namun, menurut para aktivis, area mangrove yang sudah digusur tidak masuk dalam wilayah cakupan izin yang sedang diproses itu.

Walhi NTT pada 25 Maret menerbitkan surat penolakan terhadap undangan Komisi Penilaian Amdal untuk ikut dalam rapat penilaian Amdal PT IDK, karena mengganggap perusahan itu sudan melakukan tindakan pidana perusakan mangrove.

Kasus perusakan mangrove ini telah dilaporkan ke Polda NTT di Kupang pada Rabu, 27 Maret oleh koalisi sejumlah lembaga, termasuk Walhi NTT dan lembaga Gereja Katolik, Komisi Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC) Fransiskan.

Sebelumnya, kasus ini mendapat respons dari Komisi VII DPR RI yang menggelar rapat khusus pada 6 Maret lalu, yang melibatkan KLHK dan serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Pertemuan lainnya juga digelar di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman pada 13 Maret. Dalam rapat ini, pewakilan dari PT IDK dan Pemda Malaka hadir, kecuali Bupati Malaka yang absen, meski diundang secara khusus.

Polemik ini telah menyeret sejumlah aktivis, antara lain Emanuel Bria, Roy Tei Seran dan Mali Benyamin Michael dilaporkan ke Polres Belu pada 18 Maret oleh Bupati Malak, Stef Bria Seran dengan tudingan pencemaran nama baik.

Pemicunya adalah karena mereka menyebut Bupati Malaka berbohong ketika mengklaim bahwa “pengrusakan mangrove dan biota laut dalam investasi garam oleh PT IDK adalah informasi yang tidak benar”.

Langkah bupati itu mendapat kecaman, termasuk dari Komisi JPIC-OFM, yang bersama Walhi NTT dan elemen lain ikut mengadvokasi kasus ini.

Pastor Alsis Goa Wonga, direktur JPIC-OFM menyebut laporan Pemda Malaka itu adalah “bagian dari pembungkaman hak kritis masyarakat.”

Di tengah menguatnya suara protes, pada 26 Maret Gubernur Laiskodat mengunjungi lokasi perusahan bersama dengan Bupati Malaka.

Dalam kesempatan itu, ia menyebut garam merupakan “emas putih” bagi NTT.

Ia juga mengklaim, pro kontra terhadap usaha industri ini, pasti ada. “Kalau ada yang demo atau kontra itu wajar saja. Seorang pemimpin harus berpikir out of the box, untuk mencari jalan keluar atau solusinya,” katanya, seperti dikutip Voxntt.com

Seorang pemimpin, kata dia, tidak hanya bekerja atau berjalan sesuai aturan tetapi harus mampu berjalan jauh di depan aturan dan harus punya solusi alternatif terhadap berbagai kendala yang dihadapi.

Dalam foto ini, tampak mangrove di Kabupaten Malaka telah digusur oleh perusahan garam PT Inti Daya Kencana. (Foto: dok. JPIC-OFM)

“Yang paling utama, kepentingan masyarakatlah yang didahulukan. Saya mengimpikan untuk mengembangkan potensi yang ada di NTT untuk kepentingan masyarakat NTT. Mari kita kerja. Papua punya emas tetapi suatu saat akan habis, tapi NTT punya laut yang tidak akan habis sampai akhir jaman. Mari kita songsong Malaka baru, tidak hanya dari revolusi pertanian tapi juga kita kembangkan emas putih yaitu garam,” tandasnya.

Pastor Yohanes Yohanes Kristoforus OFM, koordinator JPIC-OFM wilayah Timor mengatakan, pada prinsipnya mereka mendukung investasi untuk mendongkrak peningkatan ekonomi rakyat.

“Tetapi investasi ini tidak berjalan di ruang kosong. Ada hak masyarakat adat atas ranah, ada Undang-undang Kehutanan, Undang-undangLingkungan Hidup, Undang-undang Perlindungan Pulau Kecil dan Kawasan Pesisir dan lain-lain. Tidak bisa atas nama investasi, lantas mengabaiakan hal-hal itu,” tegasnya.

ARL/Floresa

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini