Hibah Tanah Untuk PT Pertamina, Keliru!

(Bagian Pertama)

Oleh: Bonifasius Gunung, advokat asal Manggarai berdomisili di Jakarta dan Direktur Eksekutif Institut Transformasi Hukum Indonesia (ILTRA)

Pengantar

Polemik terkait hibah barang milik daerah Manggarai berupa tanah seluas 24,640 m2, yang terletak di Reo, Desa Wangkung, Kecamatan Reok, selanjutnya disebut “tanah objek hibah” kepada PT Pertamina (Persero), akhirnya berpuncak pada peristiwa penandatanganan dan penyerahan “Naskah Hibah” oleh Bupati Manggarai Kamelus Deno di Aula Alor Ball Room, sebuah hotel yang terbilang mewah di Labuan Bajo, Manggarai Barat-NTT (Floresa.co, 11/1/2019).

Reaksi bernada protes bahkan penolakan dari berbagai pihak yang menaruh perhatian terhadap pemanfaatan barang milik daerah untuk kepentingan rakyat terhadap kemauan keras Pemda Manggarai untuk memberikan secara cuma-cuma (hibah) tanah tersebut kepada PT Pertamina sepertinya sama sekali tidak dipertimbangkan. Peribahasa “anjing menggonggong kafilah berlalu” terasa pas menggambarkan situasi itu.

Tulisan pendek ini berfokus pada upaya untuk menjawab dua pertanyaan pokok dari aspek hukum, yaitu (1) apakah Kamelus Deno selaku kepala daerah yang diberi hak dan wewenang untuk mengelola dan memanfaatkan barang milik daerah, selanjutnya disebut BMD mempunyai hak dan wewenang hukum untuk menghibahkan BMD berupa tanah kepada PT Pertamina?; dan (2) apakah PT Pertamina, yang oleh peraturan perundang-undangan di bidang minyak dan gas bumi telah diposisikan sebagai entitas bisnis murni, berhak menerima hibah tanah itu?

Dasar Hukum

Isu hukum hibah dalam ruang lingkup peraturan perundang-undangan ditempatkan dalam atau merupakan bagian dari isu hukum utama tentang pengelolaan dan pemanfaatan BMD. Terkait itu, adalah penting untuk ditegaskan di awal bahwa keputusan hibah BMD oleh kepala daerah sangat erat kaitannya dengan kewajiban hukum pemerintah daerah untuk mengelola dan memanfaatkan segala sumber daya yang dimiliki daerah untuk kesejahteraan rakyat.     

Pengelolaan dan pemanfaatan BMD diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; PeraturanPemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah; dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah.

Dalam peraturan perundang-undangan tersebut, barang milik daerah didefinisikan sebagai “semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban anggaran pendapatan dan belanja daerah atau berasal dari perolehan lainnya yang sah”. 

BMD yang berasal dari perolehan lainnya yang sah adalah (1) barang yang diperoleh dari hibah/ sumbangan; (2) barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/ kontrak; (3) barang yang diperoleh berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; (4) barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap; atau (5) barang yang diperoleh kembali dari hasil divestasi atas penyertaan modal pemerintah daerah.

Peralihan hak atas BMD berupa tanah dengan cara “hibah” sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan tersebut di atas diadopsi dari hukum perdata, yang jauh sebelumnya telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata warisan Belanda untuk Indonesia (Burgerlijk Wetboek voor Indonesia), selanjutnya disebut “KUHPerd.” 

Hibah menurut hukum keperdataan diatur dalam pasal 1666 sampai pasal 1669 KUHPerd. Untuk tulisan ini, cukup mengutip pasal yang paling relevan. Pasal 1666 KUHPerd. menyebutkan bahwa hibah adalah “suatu persetujuan dengan mana si penghibah dimasa hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan suatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu”.

Dari isi ketentuan pasal 1666 KUHPerdata tersebut, dapat diambil beberapa kesimpulan: Pertama, hibah merupakan suatu persetujuan antara pemberi hibah dengan penerima hibah. Artinya, bahwa hibah tidak pernah akan terwujud jika kehendak pemberi hibah untuk menyerahkan suatu benda tidak secara tegas diterima oleh penerima hibah; kedua, hibah tidak dapat ditarik kembali. Artinya, bahwa hak atas suatu yang menjadi obyek hibah sepenuhnya menjadi milik penerima hibah; dan ketiga, hibah bertujuan untuk memenuhi keperluan atau kepentingan penerima hibah.

Dalam konteks hibah BMD oleh kepala daerah, ketentuan pasal 1666 KUHPerdata merupakan landasan hukum yang bersifat umum atau prinsip umum untuk dijadikan rujukan, khususnya mengenai konsekuensi hukum atas penyerahan BMD dengan cara hibah kepada lembaga atau subyek hukum penerima hibah.

Dalam ketentuan pasal 1 ayat 20 Peraturan Pemerintah nomor 27 tahun 2014, selanjutnya disebut “PP 27/2014” menentukan bahwa “hibah adalah pengalihan kepemilikan barang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, dari pemerintah daerah kepada pemerintah pusat, antar pemerintah daerah, atau dari pemerintah pusat/ pemerintah daerah kepada pihak lain tanpa memperoleh penggantian”. 

Definisi hukum tentang hibah BMD dalam pasal 1 ayat 20 PP 27/2014 persis sama dengan ketentuan pasal 1 angka 24 Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 19 tahun 2016, selanjutnya disebut “Permendagri 19/2016”. 

Hibah BMD bertujuan untuk memberikan pelayanan yang maksimal terhadap kepentingan rakyat di bidang sosial, budaya, keagamaan, kemanusiaan, pendidikan yang bersifat non komersial dan penyelenggaraan pemerintahan pusat/ daerah. Hal itu secara tegas diatur dalam ketentuan pasal 396 ayat (1) Permendari 19/2016.

Dari ketentuan pasal 396 ayat (1) itu, dapat diambil kesimpulan bahwa institusi yang bersifat komersial tidak berhak menerima hibah. Artinya, bahwa hibah BMD oleh kepala daerah merupakan tindakan kemanusiaan yang bersifat sosial, menopang kepentingan budaya dan turut serta memajukan lembaga pendidikan yang didirikan bukan untuk mencari keuntungan (non komersial). 

Itulah sebabnya undang-undang terkait pengelolaan dan pemanfaatan BMD secara tegas mengatur bahwa tidak semua lembaga atau institusi berhak menerima hibah.

Benar bahwa lembaga yang berhak menerima hibah BMD dari pemerintah daerah menurut ketentuan pasal 298 ayat (5) UU No. 23 Tahun 2014, adalah termasuk BUMN/ BUMD selain: (1) pemerintah pusat; (2) pemerintah daerah lain; dan (3) badan, lembaga, dan ormas yang berbadan hukum Indonesia. 

Namun, karena dalam peraturan pelaksanaannya, baik dalam PP 27/2014 maupun Permendagri 19/ 2016, hibah BMD berupa tanah kepada BUMN atau BUMD tidak diatur secara tegas, maka dapat disimpulkan bahwa pemerintah sendiri sebagai inisiator pembentukan PP 27/2014 dan lembaga eksekutif sebagai pembentuk Permendagri 19/2016 memang bermaksud tidak memprioritaskan BUMN atau BUMD sebagai lembaga penerima hibah.

Artinya, dalam melaksanakan kewenangan untuk mengelola dan memanfaatkan BMD, bupati Manggarai selaku kepala daerah tidak diwajibkan untuk memberikan hibah BMD (baca: tanah) kepada PT Pertamina (Persero) selaku BUMN Persero.   

Dalam konteks itu, dapatlah dipahami mengapa dalam pasal 399 ayat (1) Permendagri 19/2016 tidak menyebutkan BUMN atau BUMD sebagai subyek penerima hibah. 

Dalam pasal tersebut, telah diatur secara limitatif bahwa subjek atau pihak yang berhak menerima hibah, adalah (a) lembaga sosial, lembaga budaya, lembaga keagamaan, lembaga kemanusiaan, atau lembaga pendidikan yang bersifat non komersial; (b)pemerintah pusat; (c) pemerintah daerah; (d) pemerintah desa; (e) perorangan atau masyarakat yang terkena bencana alam yang berpenghasilan rendah; atau (f) pihak lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selain mengatur syarat subyektif lembaga penerima hibah, Permendagri 19/2016 juga telah menentukan syarat obyektif atas barang yang dihibahkan. BMD yang dihibahkan haruslah (a) bukan merupakan barang rahasia negara; (b) bukan merupakan barang yang menguasai hajat hidup orang banyak; atau (c) tidak digunakan lagi dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal ini diatur dalam ketentuan pasal 397 ayat (1).

Hal yang juga penting adalah tentang kriteria pemberian hibah. Hibah hanya boleh dilakukan terhadap BMD yang (1) peruntukannya secara spesifik telah ditetapkan;(2) bersifat tidak wajib, tidak mengikat/ tidak secara terus menerus setiap tahun anggaran sesuai dengan kemampuan keuangan daerah kecuali ditentukan lain oleh perundang-undangan; (3) memberikan nilai manfaat bagi Pemda dalam mendukung terselenggaranya fungsi pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan; dan (4) memenuhi persyaratan penerima hibah.

Analisis Yuridis

Bahwa kepala daerah (gubernur, bupati atau wali kota) adalah pihak yang memegang kekuasaan untuk mengelola BMD, termasuk dengan cara pengalihan atau pemindahtanganan BMD. Syarat utama yang harus dipenuhi adalah bahwa BMD yang dialihkan itu tidak diperlukan lagi bagi penyelenggaraan tugas pemerintahan daerah. 

Dalam hal pemindahtanganan BMD, pasal 329 Permendagri 19/2016 memberikan 4 (empat) instrumen hukum kepada kepala daerah yang bersangkutan, yaitu (a) penjualan;(b) tukar menukar; (c) hibah; atau (d) penyertaan modal pemerintah daerah. 

Berpijak pada ketentuan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa selaku kepala daerah, bupati Manggarai berwenang secara hukum untuk melaksanakan perbuatan hukum berupa “pengalihan” BMD kepada pihak lain yang telah memenuhi syarat (subyektif dan obyektif) menurut hukum dan peraturan perundang-undangan.  

Pertanyaannya adalah: apakah kewenangan itu telah digunakan sesuai ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku? Apakah sejalan dengan rasa keadilan masyarakat?

Untuk menjawab pertanyaan itu, maka soal ini perlu dilihat dari dua aspek sekaligus, yakni dari (1) aspek obyektif BMD yang dihibahkan; dan (2) aspek subyektif lembaga penerima, dalam hal ini PT Pertamina (Persero).

Aspek pertama, Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Lalu, ayat (3) pasal ini berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat”.

Berdasarkan ketentuan pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 45 dimaksud, maka dapat disimpulkan,bahwa (1) tanah merupakan cabang produksi yang sangat penting bagi negara; karena (2) tanah menguasai hajat hidup orang banyak. Hal ini tertutup untuk diperdebatkan karena kita semua tahu bahwa segala mahluk hidup termasuk manusia mustahil hidup tanpa ketersediaan tanah; begitu pentingnya tanah bagi hidup manusia, maka (3) ia harus dikuasai oleh negara sebagai institusi tertinggiyang memiliki hak secara konstitusional untuk mengatur penggunaan, pemanfaatan, kepemilikan dan distribusi tanah bagi rakyat; dengan tujuan (4) untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Untuk mengimplementasikan ketentuan pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 45 tersebut, baik dalam PP 27/2014 maupun Permendagri 19/2016, telah menentukan secara limitatif syarat obyektif dan kriteria BMD yang boleh dihibahkan.

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa syarat obyektif utama yang harus dipenuhi BMD yang dihibahkan menurut ketentuan pasal 397 ayat (1) Permendagri 19/2016 adalah: (1) bukan merupakan barang yang menguasai hajat hidup orang banyak; atau (2) tidak digunakan lagi dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Selain tidak memenuhi syarat obyektif pemberian hibah, keputusan kepala daerah (bupati) Manggarai itu juga terindikasi bertentangan dengan kriteria sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

PP 27/2014 dan Permendgari 19/2016 secara tegas telah menentukan beberapa kriteria pokok pemberian hibah BMD, yakni: (1) peruntukannya secara spesifik telah ditetapkan;(2) memberikan nilai manfaat bagi pemda dalam mendukung terselenggaranya fungsi pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan; dan (3) memenuhi persyaratan penerima hibah. 

Alasan bupati Manggarai bahwa tanah obyek hibah sejak awal memang dibeli untuk kepentingan PT Pertamina (Persero) patut diduga tidak koheren dengan fakta hukum yang sebenarnya dan kenyataan historis sebagaimana tercermin dalam kebijakan yang diambil oleh para bupati Manggarai sebelumnya. 

Jika benar tanah obyek hibah dibeli untuk kepentingan PT Pertamina, mengapa kemudian tanah itu berstatus BMD Manggarai berdasarkan Sertifikat Hak Pakai Nomor 3 Tahun 1987?; mengapa PT Pertamina (Persero) mesti membayar sewa atas penggunaan tanah tersebut selama bertahun-tahun lamanya?; mengapa Bupati Frans Dula Burhan (alm.) yang secara langsung diperintahkan oleh Mendagri melalui surat tertanggal 13 Agustus 1979 agar meng-hibah-kan tanah itu kepada PT Pertamina, tidak menjalankan (baca: menolak) untuk melaksanakan isi surat tersebut? Mengapa para bupati berikutnya, termasuk Cristian Rotok yang menjabat bupati selama dua periode tetap mengambil sikap yang sama dengan para pendahulunya?   

Fakta bahwa sebidang tanah yang merupakan BMD Manggarai sebagaimana dibuktikan dengan Sertifikat Hak Pakai Nomor 3 Tahun 1987 merupakan barang yang menguasai hajat hidup orang banyak dan digunakan dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi penyelenggaraan Pemerintahan daerah Manggarai dengan cara “disewakan kepada PT Pertamina selama puluhan tahun”, maka terbuktilah bahwa keputusan kepala daerah (bupati) Manggarai bertentangan dengan pasal 33 ayat (2) dan (3) serta PP 27/2014 dan Permendagri 19/2016.

Oleh karena itu, Penulis menilai bahwa kritik, protes bahkan penolakan dari berbagai pihak terhadap keputusan bupati Manggarai terkait hibah BMD (tanah) tersebut kepada PT Pertamina (Persero) sangatlah beralasan, baik secara moral maupun secara hukum.

***

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini