Empat Desa di Elar-Matim Terisolasi, Warga Minta Perhatian Pemkab

Elar, Floresa.co – Empat desa di Kecamatan Elar, Kabupaten Manggarai Timur (Matim), Nusa Tenggara Timur (NTT), hingga kini masih terisolasi.

Keterisolasian Desa Lengko Namut, Sisir, Compang Soba, dan Desa Rana Kulan di Kecamatan Elar itu disebabkan karena kondisi jalan kabupaten yang menghubungkan keempat desa tersebut, rusak parah.

Pantauan Floresa.co pada Sabtu, 13 Oktober 2018, mulai dari Mombok, Desa Lengko Namut, hingga Lampang, Desa Rana Kulan, kondisi jalan yang hanya berupa lapisan batu (telford) itu sangat memprihatinkan. Banyak batu-batu yang sudah terlepas dari badan jalan akibat erosi saat hujan dan gesekan roda kendaraan. Kondisi tersebut menyulitkan kendaraan untuk melintas.

“Jalan ini ditelford sejak 2005 lalu menggunakan dana PPK (Program Pengembangan Kecamatan),” kenang Gregorius Sole (42), warga Golo Bong, Desa Sisir, saat dijumpai Floresa.co, Sabtu sore.

Sejak saat itu, kata dia, belum ada perhatian dan sentuhan pemerintah kabupaten selaku penanggung jawab jalan tersebut. Padahal,  mereka rindukan perbaikan kondisi jalan itu sejak wilayah itu masih menjadi bagian dari Kabupaten Manggarai, maupun ketika terbentuknya Matim.

Kerinduan warga hanya dibalas dengan janji-janji kampanye para calon bupati dan calon legislatif. Namun selama 10 tahun Yosep Tote dan Agas Andreas memimpin daerah itu, janji-janji kampanye tersebut tak pernah terpenuhi.

Menurutnya, buruknya kondisi jalan kabupaten jalur Mombok-Lampang itu berdampak pada mahalnya harga sembako di wilayah tersebut.

“Harga sembako di sini mahal. Beras, Rp 15.000 per kilogam,” katanya.

Kondisi topografi yang berbukitan memang menyulitkan petani untuk membuka areal persawahan di wilayah tersebut. Tampak hanya beberapa sawah tadah hujan dengan ukuran kecil dan terpisah-pisah, menempel di lereng-lereng bukit. Sehingga hasil padi sawah tak cukup untuk kebutuhan setahun. Untuk memenuhinya, warga harus membeli beras di pasar.

BACA JUGA: 

Kondisi alam di wilayah tersebut cukup subur sehingga tanaman komoditi seperti kopi, kemiri, kakao, dan cengkih bertumbuh dan menghasilkan panenan yang cukup.

Namun buruknya kondisi jalan itu menyulitkan petani untuk memasarkan hasil pertanian ke kota atau pasar. Ongkos angkutan sangat mahal sehingga berdampak pada harga jual hasil komoditi warga di wilayah itu.

“Kalau di Ruteng (ibu kota Manggarai) harga kemiri Rp 25.000, maka tengkulak beli di sini dengan harga Rp 20.000,” ujarnya.

Ia juga menceritakan soal mahalnya biaya transportasi jika hendak ke Borong Ibu kota Matim. “Kalau ke Borong, kami harus membayar ojek. Pergi dan pulang itu biayanya Rp 600.000,” katanya.

Senada dengan Gregorius, David Dadu (55) juga mengeluhkan hal yang sama.

Menurutnya, angkutan umum yaitu oto colt, sebutan populer warga Manggarai untuk bis kayu, tidak setiap hari melintasi wilayah tersebut.

“Kalau musim hujan, oto tidak bisa masuk (ke wilayah Sisir dan tiga desa lainnya) karena kondisi jalan yang licin dan becek di beberarapa titik,” katanya.

“Kami harus berjalan kaki berkilo-kilo (meter) menuju jalan aspal di Mombok, jika ada urusan di Borong, Ruteng atau tempat-tempat lain di luar kampung. Sampai di sana baru kami bisa numpang oto,” lanjutnya.

Selain itu, lanjutnya, selama ini, ada beberapa pasien bersalin yang bayinya tidak selamat karena kesulitan menjangkau pertolongan rumah sakit di Ruteng, Manggarai.

“Ada juga orang sakit yang tidak bisa tertolong lagi sampai di rumah sakit karena perjalanan menghabiskan waktu yang lama dan benturan di dalam oto akibat kondisi jalan yang rusak parah ini,” katanya.

Ia berharap agar Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur bisa memperhatikan ruas jalan kabupaten tersebut.

“(Karena) jalan ini belum tersentuh APBD (II), baik saat Kabupaten Manggarai maupun Manggarai Timur. Dan  hanya satu kali mendapat perhatian pemerintah pusat melalui PPK,” tutupnya.

Sementara itu, Kepala Desa Compang Soba, Gregorus Jaka, mengatakan, Bupati terpilih Andreas agas telah berjanji untuk megalihkan status ruas jalan kabupaten jalur Mombok-Lampang itu menjadi jalan desa.

“Semoga Pa Bupati bisa secepatnya mengalihkan status jalan ini. Sehingga, kami sebagai pemerintah desa bisa secepatnya mengaspal jalan ini dengan menggunakan dana desa,” ujarnya.

“Kalau pemkab belum juga alihkan statusnya, maka kami di desa tidak bisa berbuat banyak. Karena aturan dana desa ini kan hanya bisa bangun infrastruktur (jalan) yang merupakan kewenangan desa,” tutupnya.

Rosis Adir/NJM/Floresa

spot_img

Artikel Terkini