Jejak Neoliberal dalam Pembangunan Pariwisata di Mabar

Oleh: VENAN HARYANTO, peneliti di Sunspirit for Justice and Peace, Labuan Bajo

Floresa.co – Gelombang pesat perkembangan pariwisata di Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) dimulai ketika pada tahun 1996, Labuan Bajo, ibukota kabupaten itu ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai salah satu daerah destinasi pariwisata.[1] Antara tahun 1995-1997, tercatat terdapat kira-kira 26.000 turis asing yang mengunjungi Manggarai, di mana sebagian besar di antaranya berkunjung ke Pulau Komodo di ujung barat Mabar untuk menyaksikan pesona wisata kadal raksana, Varanus Komodoensis.

Sejak tahun 1996 hingga sekarang, perkembangan pariwisata di Mabar terhitung sangat pesat. Hal ini dipicu bukan saja karena keberadaan Komodo sebagai ikon utama , tetapi juga berkat objek wisata lain  yang tidak kalah menarik, seperti pesona ratusan pulau yang indah, yang dihuni sejumlah margasatwa liar yang masih sangat alami, serta berbagai tawaran pariwisata laut seperti snorkeling dan diving. Sejumlah obyek yang populer adalah Puncak Waringin, Pulau Bidadari, Gua Batu Cermin, Batu susun Verhoven, Tanjung Rangko, Toro Sitangga, Pulau Ular, Pulau Burung, Kelumpang, Pantai Menjerite, Puncak Pramuka, Komodo Warloka, Pasir Putih, Tanjung Boleng, Watu Wangkung, Pontianak, Golo Mori dan M. Tanggar.

Di Kota Labuan Bajo sudah terdapat puluhan hotel, lima di antarnya merupakan hotel berbintang.[2] Resort-resort eksklusif terus bertambah banyak, berbagai kapal pesiar baik milik pribumi maupun warga asing memenuhi pelabuhan Labuan Bajo. Perkembangan ini terhitung sangat cepat, mengingat Mabar baru terbentuk pada tahun 2004.[3]

Di balik geliat  ini, pertanyaan yang muncul adalah sejauh mana pembangunan pariwisata di daerah tersebut berkontribusi bagi peningkatan ekonomi masyarakat lokal? Mengikuti sebagian besar argumen pengkaji pembangunan pariwisata, di antaranya Tosun dan Timothy yang menekankan pentingnya partisipasi komunitas lokal dalam pembangunan pariwisata, sejumlah kajian terkait pembangunan pariwisata di Mabar belakangan ini rata-rata menemukan fenomena keterpinggiran masyarakat lokal.[4]

Artikel singkat ini dibangun di atas sebuah tesis utama bahwa peminggiran masyarakat lokal dalam pembangunan pariwisata di Mabar dipicu oleh terselenggaranya pembangunan pariwisata dalam pandu prinsip neoliberal.

Mengadopsi sebagian besar pemikiran para pengkaji neoliberal, jejak-jejak kebijakan neoliberal dalam pembangunan pariwisata di Mabar setidaknya terlacak dalam tiga poin utama, yaitu keadaan mengalir bebasnya barang, orang dan modal sebagai prasyarat utama kemajuan ekonomi; redistribusi otoritas antara pemerintah dan non-pemerintah dalam mengurus pembangunan; dan penekanan pada inovasi-inovasi sosial yang memperkuat kebebasan individu dan tanggung jawab.[5]

Everything is about Money

Kajian Cypri Paju Dale (2016) menemukan faktar terpinggirnya masyarakat lokal dalam kompetisi pariwisata, di mana ia menggunakan ungkapan “dolar bertemu dolar” untuk menggambarkan keadaan mengalir bebasnya barang, orang dan modal dalam pariwisata di Labuan Bajo.[6] Hal ini pada satu sisi membuat minimnya jumlah masyarakat lokal yang mengambil bagian dalam bisnis pariwisata, dan pada sisi yang lain dominasi asing yang begitu kuat pada titik tertentu membuat pariwisata di Labuan Bajo lebih tepat disebut sebagai “bisnisnya orang bule”. Tercatat bahwa sekarang ini di Labuan hanya terdapat 5 dari 41 hotel dan penginapan yang dimiliki oleh warga lokal. Restaurant dan cafe yang bertumbuh subur di Labuan Bajo pun sebagian besar milik warga negara asing dengan menyajikan menu-menu ala internasional.

Dominasi asing dalam pembangunan pariwisata di Labuan Bajo juga ditemukan oleh Klimmek (2013: 27-30) dalam penelitiannya terkait dengan partisipasi lokal dalam industri pariwisata dive (selam) di Labuan Bajo.[7] Klimmek menemukan bahwa mayoritas pemilik dive centre di Labuan Bajo adalah warga negara asing. Masyarakat lokal kalah bersaing dalam merebut posisi strategis seperti dive master atau instruktor. Mereka rata-rata berebut posisi sebagai kapten atau awak kapal. Lebih jauh, Klimmek menemukan tidak berjalan optimalnya economic linkages antara pariwisata dive dengan usaha-usaha masyarakat lokal, yang dipicu karena banyaknya jasa perusahaan Live-Abroad yang justru berada di luar Labuan Bajo. Karena itu, turis biasanya langsung dari Bandara menuju kapal, lalu menghabiskan beberapa hari atau minggu di dalam kapal, tanpa secara intens berinteraksi dengan masyarakat lokal.

Minimnya paritipasi masyarakat lokal juga dibuktikan oleh Hodgwin dalam penelitiannya terkait partisipasi masyarakat lokal dalam pengembangan pariwisata di Taman Nasional Komodo.[8] Penelitian ini menunjukkan adanya kontribusi yang minim terhadap masyarakat lokal dari besarnya pengeluaran turis dalam perjalanan menuju ke Taman Nasional Komodo. Paket perjalanan menuju Taman Nasional rata-rata menghabiskan waktu yang begitu sedikit, tetapi dengan pelayanan yang sangat mewah. Hanya sekitar 17.5% dari pendapatan tersebut diperuntukan bagi komunitas lokal.

Bermain bebasnya modal, barang dan orang dalam industri pariwisata di Labuan Bajo  memicu terjadinya konflik agraria yang berkepanjangan. Penelitian yang dilakukan oleh lembaga Sunspirit for Justice and Peace menemukan fenomena komodifikasi tanah yang makin marak.[9] Penjualan tanah ini terutama terjadi dari pihak masyarakat lokal kepada para investor dan korporasi-korporasi besar dari luar negeri. Fenomena  ini, dalam arti tertentu merupakan gambaran keterpinggiran masyarakat lokal dalam kontestasi pasar yang sangat bias kapitalis. Alih-alih mengambil keuntungan dari industri pariwisata, warga lokal malah terjebak dalam cara pikir yang justeru kian mengasingkan mereka dari tanah tumpah darah mereka sendiri.

Distribusi Otoritas: Perburuk Keadaan

Menyinggung tentang peran negara dalam wacana neoliberal, sejauh ini berkembang dua aliran pemikiran. Pertama, aliran ekonomi-politik klasik yang melihat garis pembatas antara peran pasar dan negara dalam mengurus ekonomi. Bahwasannya dalam kebijakan neoliberal, peran negara mengalami penyusutan ketika pasar diberi ruang yang begitu luas dalam mengurus pembangunan. Kedua, sedikit bergeser dari cara pandang pertama, cara pandang lain yang kuat terinspirasi oleh pandangan Foucauldian justeru melihat tergovernmentalisasinya negara dalam cara kerja neoliberal. Cara pandang seperti ini diantaranya dikembangkan oleh Wendy Brown, di mana alih-alih menganggap peran negara yang terbatas, negara justeru semakin memiliki ruang gerak yang lebih luas dengan jalan mengadopsi sepenuh-penuhnya prinsip kerja neoliberal. [10]

Pembangunan pariwisata di Labuan Bajo sedikit banyak menjelaskan transformasi peran negara sebagai aktor utama dalam pembangunan berwatak neoliberal. Terkait poin pertama, menyusutnya peran negara dalam pembangunan pariwisata di Labuan Bajo salah satunya terlacak melalui perubahan tata kelola pembangunan Taman Nasional Komodo sejak tahun 2005 yang sepenuhnya diserahkan kepada pihak swasta.[11] Sejak ditangani oleh pihak swasta, Taman Nasional Komodo sedikit bergeser fungsinya dari sekadar konservasi menjadi privatisasi. Perubahan fungsi ini lantas memicu klaim kepemilikan pribadi atas kawasan Taman Nasional Komodo oleh beberapa pihak. [12]

Di tengah peliknya problem pembangunan pariwisata di Manggarai Barat, pemerintah seakan tidak berhenti memperagakan akrobatik untuk dalam sekejap menyulap kegemerlapan pembangunan pariwisata di Labuan Bajo melalui pembentukan Badan Otoritas Pariwisata (BOP). BOP konon merupakan lembaga non-kementerian yang berada langsung di bawah presiden dan berlandaskan pada Keputusan Presiden (Kepres). BOP dibentuk untuk meningkatkan pertumbuhan industri pariwisata, dengan jalan bermitra dengan pihak swasta.

Kehadiran BOP bisa diterangkan melalui kiritik terhadap pendekatan neo-institusionalis yang dalam studi-studi pembangunan diklaim kuat sebagai senjata ideologi neoliberal dalam meluaskan pengaruhnya di negara-negara Selatan. Bahwasannya perspektif neo-institusionalis menekankan pentingnya desain insitusi sebagai motor pembangunan. Persis pada titik ini, sebagaimana dikatakan oleh Vedi Hadiz, neo-institusionalis terjerat dalam relasi yang ambigu dengan demokrasi, dengan jalan menekankan aspek-aspek non-politis yang justeru mengabaikan hal-hal yang bersifat politik. Perspektif neo-insitusionalis berlaku layaknya sebagai mesin anti-politik dalam pembangunan.[13]

Masyarakat yang Self-Help sebagai Panacea?

Jejak neoliberal dalam pembangunan pariwisata di Labuan Bajo juga terlihat dalam konstruksi pembangunan yang mendorong inovasi-inovasi sosial dari masyarakat dalam mengatasi problem yang sebenarnya disebabkan oleh pembangunan pariwisata itu sendiri. Persis pada titik ini, apa yang disebutkan oleh para penstudi post-development dengan istilah depolitisasi, terasa tepat untuk menjelaskan cara pembangunan mengkonstruksi problem dalam pembangunan pariwisata.

Terkait hal ini menarik untuk melihat bagaimana tendensi depolitisasi sejak awal terlacak dalam cara dokumen-dokumen pembangunan pariwisata merumuskan apa yang menjadi tantangan pariwisata di Manggarai Barat. Ambil misal, dokumen RPJMD Mabar 2016 menghadirkan analisis SWOT yang sejak awal menempatkan masyarakat lokal sebagai tantangan dalam pembangunan pariwisata.

Tabel. 4-12 Analisis SWOT Sarana dan Prasarana Pariwisata [14]

Kekuatan (Strength) Peluang (Opportunity)
  1. Memiliki kawasan Komodo atau sering disebut Varanus Komodoensis yang menjadi salah satu keajaiban dunia.
  2. Memiliki panorama alam dan bahari yang tidak kalah dengan Pulau Bali yang tersohor.
  3. Memiliki kekayaan cagar budaya yang unik, menjadi daya tarik yang kuat bagi wisatawan domestik maupun mancanegara.
  4. Telah memiliki hotel kelas berbintang maupun kelas melati.
  1. Meningkatkan kedatangan turis manca negara sebagai tujuan alternative selain Bali, Lombok, dan Tanah Toraja.
  2. Berkembangnya obyek-obyek baru wisata bahari dan budaya.
  3. Meningkatkan jasa-jasa yang berkaitan dengan wisata.
Kelemahan (Weakness) Ancaman (Treath)
  1. Kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan alam masih rendah.
  2. Kebiasaan masyarakat dalam membuang sampah unorganik tidak pada tempatnya
  3. Belum optimalnya pengelolaan agrowisata.
  1. Budaya luar bersifat negatif mempengaruhi budaya lokal masayarakat.
  2. Kenyamanan wisatawan akan mempengaruhinya untuk kembali, bahkan dapat memberi informasi negatif tentang pengelolaan wisata di wilayah Manggarai Barat.

 

Dari data di atas, jelas terlihat bahwa konstruksi pembangunan neoliberal menempatkan rendahnya kesadaran, mentalitas serta inovasi pengembangan pariwisata sebagai kelemahan dalam mengembangkan pariwisata di Manggarai Barat. Persis pada titik ini, depolitisasi terjadi ketika agensi masyarakat dikunci habis untuk tidak lagi mempertanyakan aspek struktural sebagai biang dari mentoknya pembangunan pariwisata di Manggarai Barat.

Di tengah membanjirnya kritik dari berbagai kalangan terhadap pembangunan pariwisata, belakangan ini di Manggarai Barat muncul inisiatif untuk mengembangkan konsep komunitas berbasis turisme di beberapa desa. Komunitas ini mengembangkan konsep ekowisata yang konon menjadi alternatif yang tepat di tengah desain pariwisata mainstream.

Keyakinan yang tinggi akan prospek ekonomi lokal dari pengembangan ekowisata akhirnya mendorong terselenggarannya program Inovasi Pengembangan Ekowisata Flores untuk Perdagangan Berkelanjutan (INFEST) pada tahun 2013 yang lalu di sejumlah desa  (Wae Sano, Liang Ndara, Tado, Wae Rebo, Bena) dan kota (Labuan Bajo dan Bajawa) di Flores.[15] Kegiatan ini sepenuhnya didukung oleh non-state actors yang berasal dari Amerika dan sejumlah negara di Uni Eropa. Tujuan dari kegiatan ini antara lain peningkatan kapasitas jasa pemanduan ekowisata; pengembangan produk ekowisata berkualitas di desa terpilih; pengembangan strategi harga dan pemasaran bersama; pengembangan lembaga pariwisata lokal dan sistem administrasi pendukungnya di desa terpilih; pengembangan rencana wisata desa yang bertujuan untuk mendukung implementasi berbagai program CSR dan program nasional pengembangan ekonomi pengentasan kemiskinan.”

Tanpa bermaksud mengabaikan sisi positif dari inisiatif ini dan mengacu kepada berbagai kajian kritis terkait terartikulasinya terminologi-terminologi kiri dalam proyek-proyek pembangunan neoliberal seperti empowerment, partisipasi, civil societycommunity development, gebrakan ekowisata di Flores, secara khusus di Labuan Bajo bertendensi terjebak dalam proyek depolitisasi.

Dua poin berikut paling kurang bisa menjelaskan tendensi depolitisasi di balik kebijakan pengembangan ekowisata di Manggarai Barat.

Pertama, melalui program ekowisata, ada semacam penanaman ideologi ke dalam diri masyarakat bahwa perkara kesejahteraan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pribadi (self-responsible). Karena itu di tengah monster kompetisi pariwisata yang mematikan, masyarakat selayaknya harus antisipatif dengan jalan melakukan inovasi-inovasi sosial, salah satunya melalui ekowisata. Persis pada titik ini terjadi depolitisasi.

Kedua, dalam kasus Mabar dan secara umum di Flores, pengembangan ekowisata yang sepenuhnya diinisiasi oleh NGO sudah jelas memperlihatkan gejala depolitisasi. Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa NGO yang banyak bersandar pada negara-negara Utara merupakan mesin anti-politik (meminjam bahasa James Fergusson) bagi negara-negara di dunia Selatan. Jejak depolitisasi terjadi ketika masyarakat dibiarkan dengan inovasinya sendiri bertarung dalam persaingan pasar. Lambat laun, proyek ekowisata yang diinisiasi oleh NGO pelan-pelan terkooptasi kembali oleh logika persaingan bebas.

Engaging the State: Kerja Politis

Pembangunan pariwisata di Mabar khususnya dan NTT secara umum perlu sebuah kerja politis. Karena itu state economy yang hingga saat ini masih menjadi andalan utama sebagian besar daerah di NTT harus menjadi garapan utama.[16] Kerja politis dalam rangka mengoptimalkan peran negara dalam rangka pembangunan pariwisata dapat dieksekusi melalui dua agenda utama.

Pertama, jika pemerintah menjadikan pariwisata sebagai leading sector pembangunan, maka grand design pembangunan pun diusahakan mendukung sepenuhnya pembangunan pariwisata. Selama ini, promosi pariwisata di NTT, terlalu menitikberatkan pada paket promosi wisata alam yang kemudian mengabaikan pengembangan pariwisata lain terutama membangun pariwisata di atas konsep living culture. Jika ini yang menjadi titik berangkat pembangunan, maka niscaya setiap SKPD tidak berjalan sendiri-sendiri dan terkunci pada ego sektoral, tetapi ada semacam target bersama yang menjadi muara dari setiap pembangunan.

Kedua, pembangunan pariwisata yang baik perlu mengandalkan peran DPR sebagai lembaga representatif yang melahirkan produk legislasi yang mendukung sepenuhnya pembangunan wisata yang inklusif. Optimalnya peran DPR terjadi jika masyarakat terkantong dalam politik yang berbasis asosiasi, sehingga agenda mengandalkan pemerintah sebagai motor penggerak pembangunan pariwisata  dapat terjadi. Stop berjalan sendiri-sendiri.

Catatan:

[1] Erb. M. (1998). “Tourism Space In Manggarai, Western Flores, Indonesia: The House As A Contested Place”, Singapore Journal of Tropical Geography, 19 (2) 1998, 177-192, p. 177.

[2] Dale, Cypri. (2013). Kuasa, Pembangunan, dan Pemiskinan Sistemik. Labuan Bajo: Sunspirit for Justice and Peace, p. 132.

[3] Data ini diperoleh dari dokumen RTRW KabupatenManggarai Barat tahun 2012.

[4] Tosun, C. & Timothy,  D. (2003). “Arguments for Community Participation in Tourism Development”, The Journal of Tourism Studies 14 (2), 2–11, p. 3

[5] Cerny, P., Mens, G., dan Soederberg, S. (2005). “Different roads to globalization: Neoliberalism, the competition state, and politics in a more open world”, dalam S. Soederberg, G. Mens dan P. Cerny, eds. Internalizing Globalization. The Rise of Neoliberalism and the Decline of National Varietis of Capitalism. New York: Palgrave, pp. 1-32.

[6] Dale, Cypri, Op.Cit.

[7] Klimmek, Helen (2013). An Examination of The Barriers to Local Community Participation in the Dive Tourism Industry in Flores, Indonesia. Thesis MA King’s College London,  p. 27-30

[8] Goodwin, Harold. (2002). “Local Community Involvement in Tourism around National Parks: Opportunities and Constraints”. Current Issues in Tourism, 5 (3&4), 338-360, p. 345.

[9] Ketika Tanah jadi Komoditas, Buletin Lintas Timur edisi I 2015, Sunspirit for Justice and Peace, Labuan Bajo.

[10] Brown, Wendy. (2005). Critical Essays on Knowledge and Politics. UK: Princenton University Press

[11] Pengelolahan TNK diambi alih oleh PT. Putri Naga Komodo (PNK) pada 2005 untuk kontrak selama 30 tahun. Pemegang saham PNK adalah PT. Jaytasha Putrindo Utama (PT. JPU) dan lembaga Swasta Bisnis Konservasi dari Amerika Serikat, the Nature Conservacy (TNC). Untuk TNC sendiri, sebenarnya sudah terlibat sejak tahun 1980 dalam upaya managemen konservasi. Tahun 1995, TNC sudah terlibat aktif dalam pengelolahan TNK bersama pemerintah. Managemen kolaborasi kemudian diinisiasikan karena pertimbangan kekurangan dana konservasi, keterbatasan sumber daya managemen konservasi, dan upaya kontribusi kepada komunitas lokal. Untuk komunitas lokal, TNC berjanji memberikan pelatihan tourist guidedive guide, dan pelatihan pembuatan patung dan souvenir. Bdk. https://indoprogress.com/2016/11/konservasi-kepentingan-melalui-bop/.

[12] Pada 2015 yang lalu misalnya pihak Gereja lokal Keuskupan Ruteng menolak tegas privatisasi tanah di Pulau Mawan yang berada di Kawasan Konservasi Taman Nasional Komodo (TNK), Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Privatisasi ini dinilai akan merusak keseimbangan lingkungan hidup terutama populasi Komodo. Bdk. http://13.214.73.255/2015/05/12/uskup-ruteng-tolak-privatisasi-tanah-di-pulau-mawan/. Menurut Gregorius peneliti Sunpirit for Justice and Peace yang bermarkas di Labuan Bajo, ada empat fakta sebagai contoh kasus yang menjadikan TNK sarat dengan praktik privatisasi. Keempat fakta itu yakni pengklaiman kepemilikan pulau dalam kawasan TNK sebagai milik pribadi, jual beli pulau di kawasan TNK dan Kawasan Taman Nasional di mana ada komodo justru diprivatisasi pengelolaannya oleh perusahaan swasta dengan mengabaikan prioritas konservasi dan mengancam keberadaan komodo. Selain itu, penyewaan pulau untuk jangka panjang juga menimbulkan soal karena muncul pengklaiman terhadap akses dan manfaat pulau, mengusir masyarakat nelayan untuk mencari makan di sekitarnya. Bdk. https://www.merdeka.com/peristiwa/peneliti-pulau-komodo-rawan-privatisasi.html

[13] Hadiz, Vedi (2004). “Decentralization and Democracy in Indonesia: A Critique of Neo-Institutionalist Perspectives”, Development and Change 35(4): 697–718, p. 698

[14] Bdk. Dokumen RPJMD Kabupaten Manggarai Barat tahun 2015

[15] Bdk.http://www.indecon.or.id/project/inovasi-pengembangan-ekowisata-flores-untuk-perdagangan-berkelanjutan-infest-2/

[16] Yang saya maksudkan dengan state economy adalah, peran negara yang vital bagi pembangunan di NTT. Hal ini yang membedakan NTT dengan pembangunan di pulau Jawa yang nota bene sumber-sumber pembangunan di luar negara seperti sektor swasta sudah berkembang dengan sangat baik.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini