Dera Kemiskinan di Nangalanang

Floresa.co – Kondisi warga Dusun Nangalanang, Desa Lidi, Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai  Timur (Matim) sangat memprihatinkan. Sebagian besar rumah warga sudah rusak parah, dan delapan rumah di antaranya dalam kondisi mengerikan.

Rumah-rumah non permanen yang dibangun sejak program transmigrasi lokal Pemkab Manggarai tahun 1971 itu, ketika Matim belum dimekarkan, masih dihuni warga meskipun atap sink dan dindingnya yang terbuat dari anyaman bambu dan papan sudah banyak yang terlepas dan lapuk. Kayu-kayu balok tiang dan penyanggah pun sudah keropos dan lapuk.

Alam yang keras membuat mereka hidup dalam kemiskinan. Padahal, mereka memiliki lahan dengan luas berkisar antara 1/4 hektar hingga 1 hektar per kepala keluarga. Namun, lahan yang disediakan pemerintah melalui program transmigrasi lokal (translok) tahun 1971 lalu hanya berupa lahan kering.

Suhu yang sangat panas dan ketiadaan air membuat lahan yang mereka miliki hanya bisa ditanami tanaman umur pendek seperti jagung dan ubi-ubian. Itu pun tak memberikan hasil panen yang memuaskan.

Hingga saat ini, tidak ada saluran irigasi, meskipun sungai Wae Musur yang mengalirkan air sepanjang tahun hanya berjarak kurang lebih satu kilometer dari dusun tersebut.

“Jangankan irigasi (untuk sawah atau mengairi tanaman hortikultura), untuk minum saja, tidak ada air,” ujar Ignatius Datus, tokoh masyarakat Nangalanang yang menjadi salah satu anggota Badan Permusyawaratan Desa.

Ia mengatakan, bantuan pemerintah masuk Dusun Nangalanang melalui Dana Desa tahun 2016. Dana sebesar Rp 218 juta itu digunakan untuk pembangunan sarana air bersih.

“Tapi sejak selesai dibangun tahun 2016, tidak pernah mengalirkan air. Hanya pipa dan kran saja yang terpasang. Proyeknya mubasir. Kami masih pergi timba air di sumbernya. Jauh sekali,” tuturnya.

Warga Nangalanang mestinya bisa hidup dengan menjadi nelayan. Dusun tersebut terletak persis di tepi pantai selatan Pulau Flores. Namun, mereka enggan bertaruh nyawa karena ganasnya ombak di Laut Sawu.

Beberapa warga yang sempat melaut pun akhirnya merugi. Perahu yang mereka beli dengan susah payah, harus hancur dihantam gelombang saat cuaca buruk karena pemerintah tak menyediakan pengaman berupa tambatan perahu.

Kerasnya hidup, membuat separuh dari transmigran yang awalnya berjumlah 171 kepala keluarga memilih pergi dari dusun tersebut. Hingga generasi kedua dan ketiga, penghuni Nangalanang hanya berjumlah 84 Kepala Keluarga dengan jumlah penduduk sebanyak 300-an jiwa.

Mayoritas penduduk pernah merantau ke Kalimantan dan menjadi TKI di Malaysia. Namun tak ada satu pun kisah sukses yang membuat hidup mereka berubah.

Menjadi Ibu Sekaligus Ayah

Apa yang dialami Monika Edil (47) adalah contoh nyata. Kini, ia harus hidup sebagai ibu sekaligus ayah bagi anak-anaknya.

Monika membiarkan suaminya, Fransiskus Jerabu (49) pergi merantau ke Kalimantan tahun 2009 lalu, dengan harapan agar sang suami bisa mendapatkan uang banyak untuk menghidupi keluarga.

Namun, yang kemudian terjadi, jauh dari harapan itu. “Sudah sembilan tahun, suami saya tidak pernah kirim kabar, apalagi uang,” tutur Monika.

Ia terpaksa hidup sengsara dalam kemiskinan sambil berjuang keras untuk menafkahi dan menyekolahkan keempat anaknya. Apalagi rumah yang mereka huni sudah rusak parah sejak tahun 2000 yang lalu.

Rumah yang mereka tempati sejak menikah dengan Fransiskus sebenarnya rumah milik keluarga suaminya. Kebetulan keluarga suaminya itu sudah tinggal di luar Nangalanang, merekalah yang menjaga sekaligus menghuni rumah itu.

Kondisi rumah Monika sangat memprihatinkan. Atap sink dan dindingnya yang terbuat dari anyaman bambu dan papan kayu sudah banyak yang terlepas. Hujan dan angin sudah biasa menerpa isi rumah, termasuk Monika dan keempat anaknya.

“Kalau hujan, kami tidur di rumah tetangga. Tapi kalau hujan (terjadi) tiba-tiba tengah malam, kami bertahan saja di sini,” katanya.

Ia tak mampu lagi untuk memperbaiki rumah tersebut. Jangankan untuk perbaiki rumah, untuk ganti baju di badan dan untuk makan bersama anak-anak saja, mereka harus bersusah payah.

“Saya tanam jagung dan ubi di ladang untuk bisa makan. Untuk biaya sekolah anak-anak, saya kerja di kebunnya orang dengan upah Rp 30.000 per hari,” katanya.

Kondisi Monika sama prihatinnya dengan sejumlah warga yang lain. Emilia Awul (41) misalnya. Ia harus mengizinkan suaminya, Adrianus Jehadul untuk menjadi TKI di Malaysia tahun 2011 lalu.

“Saat dia ke Malaysia, anak bungsu kami baru berusia dua hari. Berat sekali rasanya. Tapi kami ikhlaskan dia merantau supaya bisa cari uang di Malaysia,” tutur Emilia.

Saat itu, warga Dusun Nangalanang terbuai dengan cerita-cerita tentang mudahnya mendapatkan uang dengan menjadi TKI di Malaysia. Namun cerita-cerita sukses tersebut ternyata tidak akan dialami keluarga Emilia. Selama lima tahun dua bulan berada di Malaysia, suaminya jatuh sakit.

“Dia sakit dan tak pernah kirim uang. Kemudian, suami saya pulang. Hanya satu bulan hidup dengan kami, kemudian dia mati,” tutur Emilia.

Emilia harus menjanda. Kini ia hidup sebagai ibu sekaligus ayah bagi ketiga anaknya yang masih kecil. Sama seperti Monika, ia menghidupi keluarganya dengan menanam jagung dan ubi di ladang serta menjadi buruh tani dengan upah Rp 30.000 per hari.

Kegagalan mayoritas warga yang pernah merantau ke Kalimantan dan Malaysia inilah yang membuat beberapa keluarga lainnya berpikir panjang untuk ikut merantau.

Keluarga Romanus Halut (44) dan istrinya Bernadeta Umat (39), mengaku berkali-kali diajak untuk merantau ke Malaysia. “Beberapa kali saya diajak oleh tetangga (dan) oleh perekrut tenaga kerja. Tapi, saya tidak berani,” ujar Romanus.

Romanus dikaruniai empat orang anak. Yang sulung masih kelas III Sekolah Dasar. Sedangkan yang bungsu belum sekolah dan masih berusia empat tahun.

“Anak saya masih kecil. Mereka masih butuh perhatian dan kasih sayang saya. Saya tidak bisa tinggalkan anak-anak,” ujarnya.

Kondisi keluarga ini juga sama prihatinnya dengan keluarga lainnya. Rumah yang mereka tempati sudah sangat reyot. Saat hujan, seluruh isi rumah pun basah karena tak ada lagi atap sink yang utuh. Semuanya sudah berlubang, bahkan separuhnya sudah copot dari balok penyangga yang sudah lapuk.

Dinding yang terbuat dari anyaman bambu dan papan sudah banyak yang terlepas. Bagian-bagian tertentu hanya ditutup dengan kain.

“Mau perbaiki rumah, tidak ada uang. Untuk makan saja susah,” kata Elisabet.

EYS/ARL/Floresa

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.