Poin Pembangunan Untuk Gubernur NTT

Oleh: PAULUS HERYO RANDJANG, mahasiswa STFK Ledalero, tinggal di Ritapiret

Geliat memenangi pertarungan politik di NTT, semakin menghangat menjelang pelaksanaan Pilgub Juni mendatang. Terlihat jelas, aksi blusukan pasangan calon ke pelosok desa, pajangan baliho berisi gambar pasangan calon, serta publikasi program, visi-misi, yang memadati arena pertarungan.

Terhadap fenomena ini, masyarakat NTT berharap intensi luhur yang melatari semua aksi kampanye adalah komitmen pasangan calon gubernur untuk menjadi pemimpin, bukan penguasa.

Hasrat untuk berkuasa

Dalam politik, terdapat jenis kekuasaan yang disebut kleptokrasi, yang ditandai dengan merajalelanya korupsi oleh pejabat negara. Korupsi terjadi secara sistematis di kalangan pejabat negara dengan mengandalkan jabatannya untuk “mencuri” uang rakyat.

Kleptokrasi juga terjadi manakala para anggota parlemen yang menduduki rumah rakyat secara sistematis mengambil uang rakyat melalui penyusunan anggaran negara dengan cara berkolusi dengan para pejabat birokrasi di pemerintahan. Kita dapat menyaksikan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme dalam berbagai bentuk pengelolahan APBD, juga aksi konspirasi dengan investor dalam mengeksploitasi sumber daya alam dan budaya (Dale, 2013:3).

Masih ingat, keputusan sepihak (tanpa meminta restu dari bupati) oleh Gubernur Frans Lebu Raya menjelang pemilihan gubernur tahun 2013 yang menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) mangan bagi PT Mahadina Tentragata di wilayah seluas 12.020 hektar di kabupaten Manggarai Barat dan Manggarai Raya. Lalu, menjelang pemilihan gubernur dan Pilkada Sumba Tengah, dua otoritas lokal (gubernur bersama bupati) bersatu hati mengeluarkan ijin konsepsi tambang kepada PT Fathi Resources. Padahal, surat edaran Menteri ESDM No.03.E/31/DBJ/2009/ melarang bupati dan gubernur seluruh Indonesia untuk menerbitkan Ijin Usaha Pertambangan sebelum dikeluarkan peraturan pemerintah sebagai pelaksana UU Minerba (Hasiman, 2014:108-109).

Deretan fakta ini, menyingkapkan fakta kelam dari hasrat seorang penguasa serentak mengafirmasi bahwa mekanisme kekuasan terjadi berdasarkan hasrat untuk berkuasa dan gejolak keinginan pribadi yang tempat afirmasi totalitas diri yang egoistis.

Menemukan Pemimpin NTT

Secara esensial pemilihan pemimpin pada pilgub NTT tidak sekadar memenuhi tuntutan prosedural demokrasi, melainkan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat sebagai substansi demokrasi. Dalam perspektif teori-teori elite klasik dari pemikir politik seperti Robert Michels, Gaetano Mosca dan Vilfredo Pareto, urusan kesejahteraan ini terletak pada peran elite politik (baca:pemimpin).

Kepentingan dan aspirasi masyarakat dalam makna negatif diambilalih, dokooptasi, dihegemoni, dan didominasi oleh seorang pemimipin. Maka seturut konteks NTT, aspirasi itu menyata dalam kerinduan mendapatkan sosok pemimipin yang memiliki visi yang jelas, apa yang mau dicapai dan memiliki arah yang menjadi tujuan. Ia mesti memiliki kepekaan terhadap apa yang terjadi sekarang, sanggup membawa NTT keluar dari keputusasaan karena kegagalan pembangunan kesejahteraan.

Untuk itu, pemimpin NTT mendatang, setidaknya menaruk porsi perhatian lebih bagi beberapa persoalan substansial, antara lain: Pertama, NTT mesti fokus pada upaya mereduksi kemiskinan beserta anak haramnya (kelaparan, busung lapar, gizi buruk, dan buta huruf). Data pusat statistik NTT menunjukan persentase penduduk miskin NTT sebesar 22,85 persen hingga September 2016 atau meningkat dibandingkan Maret 2016, sebesar 21,85 persen. Total penduduk miskin adalah 1.150.080 dari 5,2 juta penduduk NTT (Pos Kupang,4/1/18).

Kedua, pemerintah mesti menyediakan akses pasar berupa infrastruktur (transportasi, fasilitas pendidikan, dan kesehatan). Mengingat, produk pertanian masyarakat tidak memiliki daya saing di pasar karena rapuhnya pembangunan infarstruktur. Ditambah, Indeks Pembangunan Kesehatan masyarakat NTT terhitung buruk 65,36 persen lebih rendah dari angka nasional 70,59 persen dan tingkat buta huruf NTT termasuk diantara 6 orang yang paling buruk, yaitu 11,41 jauh di atas angka nasional 7,09 (Dale, 2013: 67-68).

Ketiga, NTT mesti mengoptimalkan pembangunan pariwisata lokal. Sebagai contoh, taman nasional komodo dapat dikelola oleh pemerintah daerah bukan para investor asing-lokal. Pantai –pantai yang indah dapat dibuka bagi kepentingan masyarakat umum bukan malah sepihak dikapling oleh para investor. Perlu juga dioptimalkan usaha mikro-kecil dan keterampilan rakyat diberdayakan karena unsur pentingnya adalah heritage, seni budaya serta kreatifitas.

Keempat, NTT perlu memperhatikan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Dalam hal ini pemerintah provinsi perlu mengubah state centries, bahwa bukan hanya pemerintah yang betanggung jawab terhadap bonum commune tetapi masyarakat juga. Sebagai contoh, ada sektor-sektor yang hemat penulis lebih tepat diserahkan kepada masyarakat seperti lingkungan karena mustahil bagi pemerintah untuk mengawasinya karena tidak ada biaya yang cukup untuk membiayai perawatan lingkungan.

Kelima, pemimpin NTT harus berkomitmen mengatasi persolan korupsi. Data yang diperlihatkan Indonesia Corruption Watch, pada tahun 2016 uang rakyat sebesar Rp. 26,9 miliar milik NTT, dihabiskan para koruptor NTT. Korupsi menjadi lahan subur untuk mengembalikan modal yang telah digelontorkan demi sebuah kursi jabatan lima tahun.

Terlibat dalam satu kontestasi politik dan demokrasi dalam pilgub mendatang, hemat penulis bukan sekadar memenuhi hasrat untuk berkuasa. Tetapi, keterlibatan itu, mesti dilatari oleh satu intensi fundamental dari politik yakni mengabdi kepada bonum commune. Mengingat hal ini, penulis mengajak publik NTT untuk jeli menilai unsur kerja, prestasi kinerja, prestasi kepemimpinan ataupun sisi emotional para pasangan calon gubernur.

Sebab, pilgub mendatang menentukan progres perjalanan pemerintahan, pembangunan dan kesejahteraan daerah NTT.

spot_img

Artikel Terkini