Melucu-lucu: Narasi 40 Hari Rufinus Lahur

Oleh: GERARD N BIBANG

 Narasi ini dibacakan waktu misa 40 hari Rufinus Lahur di Aula Vinentius Putra, Kramat, Jakarta, Sabtu, 3 Februari 2018.

Melucu-lucu. Itulah sisi lain seorang Rufinus Lahur. Selama 79 tahun hidupnya di bumi, melucu-lucu adalah humus yang menyuburkan cinta bagi istri dan anak-anaknya serta bagi saudara dan saudari yang dijumpainya, melalui senyum  dan daler (=gelak tawa), melalui tutur kata serta bahasa tubuhnya.

Saya menemukan tiga aspek yang saling terpadu mengapa dan untuk apa Rufinus melucu-lucu. Yang pertama, Aula Gedoeng Joeang, Menteng, beberapa tahun lalu, waktu diskusi peluncuran buku Gereja Itu Politis, karya Rikard Rahmat. Sebuah buku bersarikan berbagai penglihatan dan penghayatan iman putra putri Manggarai sebgai kado istimewa kelahiran satu abadi gereja katolik Manggarai.

Entah konteksnya apa, saya lupa. Tapi Rufinus waktu itu berbicara sebagai pembahas, tiba-tiba berkata: kalau kau tanya siapa orang Manggarai, jangan jauh-jauih. Orang manggarai adalah apa yang ia makan. Sambil mengarah ke arah saya, dia berkata: Gerard, bu bist was du isst, kau adalah apa yang kau makan!

Kebetulan di atas meja saya ada sepiring singkong rebus dan segelas kopi hitam. Saya mengambil sepotong singkong, mengangatkan ke atas lalu masukan ke dalam mulut.  Dia daler sejadi-jadinya.  Sambil mendekatkan mikforon ke mulutnya dengan tangan kiri, dia berkata menghadap audiens sementara dengan tangan kangan menunjuk ke arah saya: “ Lihat semua e, Gerard adalah singkong rebus!”

Waktu makan siang, saya lihat Rufinus ambil tempe dan sayur. Saya mendekat, sambil menunjuk tempe,  saya bilang: engkau adalah apa yang kau makan.
“Kau Bibang, puka ra’a betul kau!” jawab Rufinus.

Jujur,  itulah sekali-kalinya ia panggil saya dengan nama Bibang. Itulah sekali-kalinya juga kata ‘puka ra’a’ yang saya dengar ia ucapkan. Tante Ryn terheran-heran  melihat saya: “ apa artinya nana. “

“Puka ra’a itu kata seru, tante”, jawab saya.

Dalam beberapa kali pertemuan sesudahnya dalam acara lain, ia mengubah tesis kesukaannya ini. Terakhir ia katakan: “ bukan, kau adalah yang apa kau makan tapi kau adalah apa yang kau omong dan apa yang kau tulis. Yang ia parafrasekan dari teks aslinya dalam ungkapan Jerman: du bist was du sagst dan du bist was du schreibst.

Dari manakah oasenya sehingga Rufinus mampu melucu-lucu dan konsisten melucu-lucu? Dari mana kalau bukan dari iman katoliknya. Imannya adalah dasar ilmu pengetahuannya yang membuat ia selalu mencari dan menembus cakrawala nan luas.

Dalam imannya ia bermotto: “ saya beriman agar bisa lebih memahami banyak, saya belajar banyak agar bisa lebih teguh beriman. Credo ut intelligam. Intelligo ut credam.  Ungkapan Latin ini berasal dari ucapan terkenal Santo Anselmus dari Canterbury (1035-1109 )dan yang telah lama menjadi panduan bagi pencari ilmu: Fides quaerens intellectum (Latin)  yaitu iman yang mencari pengertian. Bahwa orang harus percaya terlebih dahulu, baru dalam bingkai kepercayaan itu, ia mencari pengertian

Dalam imannya itu, Rufinus meyakini bahwa Mori Kreang Ema Pu’n Kuasa telah memberikan segala sesuatu kepadanya, telah memberikan perangkat mulia untuk menjadi makhluk bermartabat.  Perangkat mulia itu ialah akal budi dan pikiran. Maka, jika segala sesuatu sudah diberikan Allah, apa lagi yang manusia risaukan? Tidak ada. Oleh karena itu, hidup di dunia ini sejatinya adalah sebuah sendagurau dan kegembiraan, yang tiap hari hendaknya dirayakan. Istri diberikan, anak diberikan, pekerjaan diberikan, nafas diberikan, yah, mau apa lagi.

Maka melucu-lucu bagi Rufinus adalah ruang di mana ia mengolah cita-cita hidup sesuai impian, keinginan dan selera pilihan dirinya. Melucu-lucu adalah tempat ia menjawab pertanyaan tentang hidup yang baik atau the question of good life, termasuk cinta, selera makan, kebaikan, cara berpakaian, cara berbicara, estetika dan apresiasi kesenian, baik seni kata-kata, suara maupun tarian.

Sederhana

Atas dasar ini, melucu-lucu bagi Rufinus adalah filsafat hidupnya yaitu kesederhaan. Tujuh-puluh sembilan tahun hidupnya telah menjadi kesaksian tentang menjadi sederhana. Jenis dan standar kebahagiaannya sangat biasa-biasa. Karena itu tadi,  tak satupun di dunia ini yang harus meloncat-loncat untuk mengejarnya. Atau harus mengacungkan gelu dan tangan untuk membuat orang lain terkagum dan terpana.

Bahwa menjadi sederhana adalah hidup tahu diri. Bahwa ia adalah lelaki dari kampung Tenda. Maka ia selalu kepala merunduk seperti dititahkan leluhurnya agar kekuatannya tak menyentuh siapa-siapa karena ia tertarik pada kemenangan atas manusia

Bahwa menjadi sederhana ialah jika ada orang beramai-ramai menjunjungnya dan mengangkat-angkatnya dengan puja dan puji tetapi volume kepalanya tidak membesar dan hatinya tetap bisa mengantuk. Karena kebesaran, kegagahan, nama besar, popularitas amat sangat ia remehkan dan tak akan pernah ia kenakan sebagai jubah kebesaran

Semester Kedua

Atas dasar kesederhanaan ini pula, melucu-lucu bagi Rufinus adalah penghayatannya yang paling telak terhadap kesementaraan hidup. Manusia diciptakan oleh Allah dan kepada-NYA lah semua ciptaan akan berpulang.

Inilah aksioma hidupnya yang tidak dapat ditawar-tawar. Maka, beberapa kali ia menganalogikan hidup manusia dengan semester sekolah. Bahwa hidup di bumi adalah semester pertama dan hidup sesudah di dunia ini adalah semester kedua. Ada pun ujian, tulis skripsi serta tesis, tawa dan tangis, kawin cerai dan kawin lagi dan semuanya di semester pertama hanyalah mosaik-mosaik dari sendagurau dan lucu-lucu.

Kraeng Rufinus, doakan kami yang sedang kutak-katik, kesemptrat-keserimpet di semester pertama yang semakin keruh dan kumuh  di duna ini.

Mohon sampaikan salam kami semua ke orang2 hebat Manggarai yang telah lebih dulu pindah ke semester kedua: Bupati Hamboer, Bupati Lega, Bupati Burhan, Bupati Gaspar Ehok dan Gubernur Ben Mboi, yang ke mana-mana selama semester pertama dulu di sini, selalu menyetir Chairil Anwar. “Sekali berarti, sesudah itu mati”.

Kami di semseter pertama di sini semakin tidak berarti, padahal senja makin meremang, Malaikat Maut berkeliaran keluar masuk semak-semak dan gang-gang sempit dan Pendekar Bayangan serta Poti Wolo mengendap-endap di antara tidur dan jaga. Amin.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini