Benahi Birokrasi di NTT, Ini Sejumlah Ide Konstruktif

Jakarta, Floresa.co – Sejumlah riset yang dilakukan Ombudsman Republik Indonesia terkait kualitas pelayanan publik di Nusa Tenggara Timur selama dua tahun terakhir masih menempatkan provinsi itu di zona merah dan kuning.

Dalam riset tahun 2015 itu, NTT berada di posisi ke-28 dari 33 provinsi. Dari skor yang diperoleh, yakni 20,58, capaian NTT masih masuk di zona merah.

Tahun 2016, posisinya membaik, bertengger di papan tengah atau zona kuning dengan predikat sedang. Peringkatnya pun di posisi15, dengan perolehan nilai 79,59.

NTT tercatat belum mampu memposisikan diri di zona hijau, yang berarti standar kepatuhan pada level tinggi.

Pengurutan setiap provinsi dalam tiga zona itu didasarkan pada kualitas pelayanan birokrasi yang digariskan dalam Pasal 54 UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Pengabaian terhadap standar pelayanan publik potensial mengakibatkan memburuknya kualitas pelayanan serta terjadinya maladministrasi dan praktek korupsi.

Lantas apa yang bisa dilakukan untuk menggenjot kualitas birokrasi di NTT, sehingga pelayanan publik bisa berada pada level memuaskan?

Menurut Ignatius Iryanto, salah satu bakal calon gubernur NTT periode 2018-2023, hal itu harus dimulai dari pemahaman yang utuh soal birokrasi.

Menurutnya, ada dua soal penting, yakni, pertama, sistem dan orang yang ada di dalamnya, dalam hal ini terkait integritas. Kedua, kata dia, soal skill dan kompetensi.

“Sistemnya bicara soal peran orang-orang tersebut dalam fungsi yang berbeda-beda. Bahwa birokrasi itu banyak yang tidak profesional dan lamban, itu terjadi di banyak tempat, termasuk NTT,” jelasnya kepada Floresa.co, Selasa, 25 Juli 2017.

Menurutnya, banyak cara untuk menciptakan birokrasi yang efektif dan efisien.

Misalnya, kata dia, dengan motong generasi dimana yang terlalu lama dipercepat masa pensiunnya. Namun, memang kebijakan yang demikian cukup beresiko. “Itu bisa menimbulkan ketegangan,” ucapnya.

Selain cara tersebut, yang juga perlu diterapkan adalah memperkuat skill dan integritas para birokrat.

Lalu, dalam perekrutan, setiap biokrat harus didata, lalu didefenisikan dengan baik kompetensi masing-masing.

“Birokrasi di NTT, pada saat sekarang ini butuh kompetensi-kompetensi yang memang diperlukan untuk menggenjot pembangunan,” jelasnya.

Untuk itu, Ignas menawarkan agar ada upaya pembenahan yang terencana dan terstruktur.

Harapannya, kata dia, lembaga pendidikan dan pelatihan (Diklat) dioptimalkan sehingga dapat menunjang kerja birokrasi.

Menurut alumnus Universitas Gajah Madah Yogyakarta itu, hingga hari ini lembaga diklat di NTT tidak berjalan efektif karena hanya menggelar penataran-panataran dengan pola-pola lama yang tidak menunjang kerja birokrasi modern, yakni soal penerapan prinsip transparansi, efektivitas dan humanis.

Lantas, kata dia, harapan terciptanya birokrasi yang profesional dan kompeten, terasa cukup sulit.

Pria kelahiran Ende ini mengimpikan lembaga diklat dimanfaatkan maksimal.

Selama proses penguatan dengan memanfaatkan lembaga itu, kata dia, harus dilakukan identifikasi.

“Jika ditemukan birokrat yang profesional, harus didorong untuk menjadi pemimpin,” jelasnya.

Salah satu yang disinggung Ignatius adalah soal peran kepala daerah, seperti bupati dalam mengoptimalkan kepala-kepala dinas.

Jika bupati cerdas dan kreatif, kata dia, setiap kepala dinas, sesuai dengan tugasnya masing-masing, dipercayakan untuk mengembangkan desa-desa.

“Misalnya, bupati punya 14 sampai 15 SKPD. Satu SKPD diberi tugas untuk menaikkan level kemakmuran 2 desa. Artinya, kalau dia punya 15 dinas, dia sudah bisa membangun 30 desa, selain mengerjakan tugas-tugas rutin lain.”

Memang, hal tesebut belum terlihat di NTT karena fokus birokrasi terlalu banyak di ibukota kabupaten.

“Padahal tugasnya di desa,” kata Ignas.

“Nah, ini sebenarnya proyek assignment. Tentu saja, saripatinya di level kabupaten, tanggung jawab kepada-kepala dinas. Lalu di level propinsi formulasinya berbeda,” tambahnya.

Alumnus Berlin-Jerman itu mencoba membagikan resep perusahaannya dalam mengembangkan dan meningkatkan kinerja staf.

Setiap staf yang dipercaya, jelas Ignas, dilatih dan dibimbing secara intensif.

Selain itu, biasanya, beberapa staf yang sudah disiapkan, dipercayakan untuk mengerjakan proyek yang levelnya berada di atas kemampuan staf tersebut.

Cara tersebut, menurut Ignas, secara tidak langsug dapat mengukur kemampuan seorang staf. Dan, saat staf tersebut mengejakan proyek yang dipercayakan kepadanya, kemampuannya akan naik.

“Jadi pada saat itu, dia sudah siap menerima tanggung jawab yang lebih besar lagi,” jelasnya.

“Itu satu model yang bisa dipakai. Tentu saja, pikiran ini datang karena pengalaman saya di korporasi,” ujarnya.

Persoalan Akut

Alumnus SMA Suryadikara itu juga melihat masalah besar dan akut yang terjadi di NTT.
Seringkali, proses politik selalu berimplikasi pada sturuktur birokrasi. Kewenangan prerogatif kepala daerah dalam menentukan pos jabatan kerap dikaitkan dengan sebuah proses politik.

Setiap profesional yang semasa kampanye tidak mendukug kepala daerah terpilih disisihkan.

“Misalnya dalam kampanye, tim sukses seorang calon kepala daerah, begitu dia jadi (bupati/gubernur), semua tim sukses ini jadi kepala dinas, walaupun tidak mampu,” keluhnya.

Menurutnya, proses tersebut tidak sehat dan tidak mencirikan prinsip negara demokrasi serta asas-asas pemerintahan yang baik.

“Proses tersebut sangat berimplikasi pada kinerja, sehingga, tidak heran, harapan tercapainya birokrasi yang secara maksimal bekerja untuk masyarakat sulit dicapai,” katanya. (Ario Jempau/ARL/Floresa)

spot_img

Artikel Terkini