Sesat Pikir Para Penentang Perppu No.2 Tahun 2017

Floresa.co – Ignasius Iryanto, tokoh asal Nusa Tenggara Timur (NTT) mendukung penerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 2 tahun 2017.

Perppu ini antara lain dibuat untuk mencegah berkembangnya ormas yang bertentangan dengan pancasila dan berafiliasi secara ideologi dengan kelompok radikal.

Ada sejumlah kalangan yang menentang diterbitkannya Perppu tersebut dengan sejumlah argumentasi. Sayangnya, sejumlah argumentasi yang berkembang itu cenderung menyesatkan.

Ignasius Iryanto, mengidentifikasi beberapa sesat pikir dari kelompok yang kontra dengan diterbitkannya Perpuu No.2 tahun 2017 itu.

Pertama, Perppu itu dianggap memusuhi umat Islam. “Ini salah total,”ujar Ignas, Selasa 18 Juli 2018.

Menurut pria dengan nama lengkap Ignasius Iryanto Djou ini, Perppu ini keluar setelah berbagai perkembangan termasuk pernyataan tegas dari 14 ormas Islam yang menghendaki pemerintah bersikap tegas terhadap organsisai radikal penolak pancasila.

“Jika ada organsasi non muslim yang menolak pancasila, mereka juga harus dibubarkan,”ujar pria kelahiran Ende, Flores 28 Februari 1962 ini.

Sesat pikir kedua dari kelompok penentang Perppu ini, menurut Ignas adalah menganggap Perppu ini mencederai kebebasan berpendapat dan berorganisasi.

Menurut Ignas, mereka yang berpikir seperti ini memahami kebebasan sebagai sesuatu yang tanpa batas. Padalah, setiap kebebasan selalu dibatasi dengan tanggung jawab.

“Dalam negara ini setiap kebebasan dalam bentuk apa pun dibatasi oleh komitmen kebangsaan yang telah menjadi konsensus nasional.  Adalah tanggung jawab seluruh warga untuk menjaga dan merawat konsensus tersebut.  Setiap penggunaan kebebasan yang jelas bertentangan dengan konsensus tersebut tidak boleh dibiarkan dan harus ditentang,”ujar bakal calon gubernur/wakil gubernur NTT pada pilkada NTT tahun 2018 ini.

Di negara maju seperti Jerman, kata Ignas selain menjamin kebebasan berorganisasi , dalam konstitusinya juga melarang dengan tegas organisasi yang dalam dokumen organisasinya dan dalam praktik organisasinya bertentangan dengan prinsip demokrasi serta menghambat terjadi interaksi atau komunikasi sosial.

“Yang berhak menjatuhkan keputusan larangan adalah Mahkamah Konstitusi untuk larangan bagi partai politik dan Kemendagri untuk organisasi non partai.  Hanya ada tiga lembaga yang berhak mengusulkan pembubaran yaitu pemerintah federal (bundes regierung), DPR (bundestag) dan DPD (bundesrat),”ujar pria yang pernah mengenyam pendidikan doktoral di Berlin, Jerman ini.

Jika organisasi menolak pembubaran, lanjut Ignas, dia bisa menggugat ke Mahkamah Konstitusi untuk Partai Politik dan ke PTUN untuk organisasi non partai.  “Sudah banyak organsasi yang terlarang di Jerman karena bertentangan dengan prinsip demokrasi dan menghambat terjadinya komunikasi sosial.  Dua hal itu sudah merupakan bahaya bagi kelangsungsungan negara Jerman yang berpijak pada prinsip demokrasi, hukum dan sosial,”ujarnya.

Sesat pikir ketiga, menurut Ignas  adalah generalisasi bahwa umat muslim menolak Perppu ini. Padahal faktanya,Nahdlatul Ulama (NU), ormas Islam terbesar di Indonesia, dengan seluruh onderbow-nya mendukung Perppu ini.

“Bahkan jika bicara tentang HTI, hampir seluruh  negara muslim dunia menolak kehadirannya di negara ini.Radikalisme agama yang selalu berjalan dengan prinsip diskriminatif ditolak oleh dunia yang beradab,”ujar sarjana Fisika Nuklir Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini.

Sesat pikir lainnya dari kelompok kontra Perppu No 2 tahun 2017, menurut Ignas adalah opini yang menyamakan ide khilafah dengan Vatikan.

“Ketaatan umat Katolik ke Vatikan bukan ketaatan politis. Lain dengan HTI yang jelas-jelas di berbagai tempat melarang orang-orangnya  menghormati bendera, menolak Pancasila bahkan menolak sistem demokrasi dengan seluruh perangkatnya,”ujar Ignas.

Ignas mengatakan  gerakan khilafah yang mengancam eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia itu nyata ada. Bukti terdekat ada di Marawi, Filipina.

Menurut Ignas boleh saja melakukan penolakan terhadap Perppu. Asalkan penolakan itu dilakukan dengan mekanisme hukum bukan dengan pegerahan massa dan cenderung anarkis.

“Ada mekanisme hukum, silahkan gugat ke PTUN jika Perppu ini dianggap salah. Jangan sedikit-sedikit mainkan massa. Apalagi jika gerakan itu hanya gorengan atau tipuan massa menuji ke Pilpres 2019,”ujar bakal calon gubernur/wakil gubernur NTT ini. (PTD/Floresa)

 

 

spot_img

Artikel Terkini