Mengapa Saya Masih Menjadi Katolik?

Oleh: FIAN ROGER

Dugaan penyelewengan selibat, keuangan dan wewenang oleh petinggi di Keuskupan Ruteng mengguncang kawanan umat, meski kasus ini yang mencuat sejak pertengahan Juni lalu hanya bagian kecil dari banyak kasus lain yang mendera Gereja Katolik, termasuk di belahan dunia lain.

Guncangan itu dipicu oleh keyakinan yang tertanam kuat dalam diri umat bahwa elite hirarki dan jajarannya merupakan garda moral sosio religi yang berkarakter bersih, bertanggung jawab, kudus, berwibawa dan murni.

Pengakuan terhadap posisi mereka yang dianggap luhur juga tampak dalam penyebutan “Tuang Pastor,” istilah yang merujuk pada adanya rasa hormat yang tinggi.

Tuang pastor tidak hanya dihormati di altar melainkan juga di pasar, tidak hanya dicari di ruang pengakuan melainkan juga di wilayah pengembangan masyarakat.

Aura dan kewibawaan para klerus mewakili harapan masyarakat manakala institusi-institusi politik menampakkan wajah penuh tipuan, kekerasan dan korup.

Ini tidaklah berlebihan. Sebab, kaum klerus sudah ditempa, dibentuk, diseleksi dan dipilih dari mereka yang dianggap terbaik untuk memanggul tugas memimpin perayaan sakramen, mewartakan ajaran iman dan memimpin jemaat di mana mereka ditugaskan.

Terbelah

Karena itu, ketika kasus di Keuskupan Ruteng menjadi konsumsi publik, di mana puluhan imam mengungkap dugaan penyelewengan yang dilakukan Mg Hubertus Leteng,  segera muncul beragam reaksi. Banyak yang terkejut dan merasa sulit untuk percaya. Apalagi, yang diduga menyeleweng adalah seorang uskup.

Menarik bahwa berhadapan dengan kasus ini, imam dan awam terbelah menjadi banyak kelompok.

Di kalangan klerus, ada kelompok yang menginginkan perubahan dengan mendukung dituntaskannya kasus ini melalui tata cara internal.

Kelompok lain memilih taat pada pimpinan hirarki sebagai tanggung jawab panggilan yang berasas ketaatan dan memilih untuk berdiri bersama uskup. Sebagian pihak menuding kelompok ini sekadar mengamankan jabatannya masing-masing.

Kawanan umat pun terbelah. Kelompok diam yang berjumlah mayoritas memilih menyerahkan kasus itu pada “kuasa” Vatikan. Ada pula kelompok yang menyerukan penyelesaian jalan tengah: dialog, koreksi dan pertobatan dalam persaudaraan.

Muncul juga gerakan awam yang ingin agar Uskup Leteng mundur atau dimundurkan. Ini layaknya bupati atau walikota yang dianggap melakukan pelanggaran keras terhadap konstitusi dan undang-undang. Sebagian orang menyindir, gerakan awam itu sedang mempolitisasi kasus ini.

Sementara, bagi sebagian generasi muda, kasus ini ditanggapi sebagai tragedi, juga “komedi.” Tragedi, sebab, bagaimana harapan Gereja masa depan di tangan mereka jika berkaca pada kemelut hari ini?

Komedi, karena viral di media-media sosial penyebutan “si boy,” “si cinta,” “si pilot” dan lain-lain.

Status Iman

Menyimak gejala itu, penting untuk mempertanyakan kembali status iman masing-masing pribadi yang mengaku memeluk iman Katolik (serani sa’i, kontas bokak). 

Mengapa anda dan saya masih menjadi Katolik di tengah kerapuhan Gereja kita? Apakah saya akan keluar dari Gereja manakala ia makin rapuh? Mengapa saya masih memeluk iman ini, kalau keadaannya seperti ini?

Untuk sampai pada jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, baiklah kita merujuk pada hasil studi yang dilakukan Daniel Cox dkk., bertajuk “Exodus: Why Americans are Leaving Religion and Why They’re Unlikely to Come Back.

Studi itu menunjukkan bahwa terjadi peningkatan generasi yang tidak lagi memeluk agama di Amerika Serikat. Public Religion Research Institute (PRRI, 2016) merinci, 39 persen orang muda atau generasi milenial Amerika Serikat, yang berumur 18-29 meninggalkan agama. Dan, 15 persen  di antaranya adalah orang-orang Katolik.

Di kalangan Katolik, tanggapan negatif Gereja Katolik terhadap kelompok lesbian dan homosekual menempati alasan teratas mengapa orang meninggalkan agama (38 persen), disusul tanggapan negatif umat terhadap skandal seksual dan penyimpangan kaum klerus (32 persen) dan sisanya karena Gereja dianggap terlalu masuk dalam praktik politik.

Sebanyak 66 persen responden survei itu berpendapat agama tidak membuat moral masyarakat membaik, malah sebaliknya membuat perilaku masyarakat tambah buruk.

Survei ini seolah-olah mendukung pendapat Slavoj Zizek, filsuf psikoanalisis, kritikus budaya dan juga Hegelian Marxis.

Dalam “God in Pain, Inversions of Apocalypse,” Zizek menyebut, para ideolog-religius selalu mengklaim bahwa agama membuat orang berperilaku buruk menjadi baik.  Namun, nyatanya, kata dia, tanpa agama orang baik akan tetap menjadi baik dan orang jahat akan berbuat jahat.

“Hanya agama yang membuat orang baik melakukan hal buruk,” sindir Zizek. (Zizek & Gunjević: 2012, p. 45).

Dalam konteks ini, ia mengeritik Gereja Katolik yang malah melindungi praktek pedofilia,  perilaku yang seolah-olah menegaskan gagasan bahwa jika Tuhan ada, maka semua hal diizinkan, karena Tuhan itu Cinta –kata Aurelius Agustinus– bahwa apapun boleh dilakukan manusia karena Tuhan akan sudah selalu mengampuninya (prohibitive love).

Seolah-olah, kata Zizek, dengan mencintai Tuhan, apapun yang dilakukan akan menjamin terpenuhinya standar-standar etika tertinggi. “Jika kamu tinggal dalam cinta ilahi, kamu kemudian tidak butuh larangan, kamu bisa melakukan apapun yang diinginkan, jika kamu sungguh tinggal dalam cinta Tuhan, kemudian, tentu saja, kamu tidak akan pernah ingin melakukan kejahatan,” katanya. (bdk.p. 47).

Dan acapkali untuk menghindar dari pengadilan publik, para ideolog-religius selalu memakai pribahasa-pribahasa biblis.  Ini tampak dalam gagasan, siapa yang membuka aib dilihat sebagai penyebar fitnah, sebab “ukuran yang dipakai untuk mengukur orang lain, akan juga diukurkan kepada si pengukur sendiri.”

Studi di atas dan kritikan Zizek itu, setidaknya memberi gambaran tentang bagaimana posisi Gereja Katolik, yang selalu berada pada tegangan antara ketegasaan komitmennya untuk mewujudkan ajaran-ajaran Sang Guru Agung, tetapi di sisi lain, muncul begitu banyak kerapuhan.

Kritik Zizek mempertanyakan kesahian klaim bahwa, orang-orang agama, termasuk orang Katolik, selalu menghadirkan kebaikan, bukan keburukan.

Upaya Pembaruan

Dalam konteks kasus di Ruteng, di satu pihak, tentu disadari bahwa, hirarki, yang menjadi sumber persoalan saat ini, adalah kelompok, yang karena status mereka, diandaikan memiliki komitmen lebih tinggi pada nilai-nilai moral. Sederhananya, tidaklah mungkin hirarki melakukan penyelewengan sebagaimana yang dituduhkan.

Namun, serentak dengan itu, penting disadari bahwa mereka itu juga manusia dan agama pada padarnya adalah sebuah pranata sosial, sebuah organisasi, yang isinya adalah manusia-manusia.

Di sini, keretakan dan kerapuhan institusi Gereja memberi gambaran soal keretakan, yang selalu mungkin terjadi. Siapapun akan jatuh dalam kerapuhan yang kemudian membuatnya terjebak dalam rasa bersalah, pengadilan sosial dan penolakan publik.

Di sisi lain, berhadapan dengan kasus ini, isu pemakzulan jangan sampai hanya isu jangka pendek tanpa ada komitmen untuk mereevaluasi secara menyeluruh selibat dan pola manajemen dalam Gereka, termasuk dalam hal keuangan.

Bukankah kasus ini menjadi titik mulai untuk mereevaluasi dan merefleksikan panggilan kepemimpinan rohani zaman ini, khususnya dalam Gereja?  Kasus ini bisa menjadi titik mulai untuk merancang bersama perubahan-perubahan yang bisa dilakukan. Peran umat tentu penting untuk mengawal para gembalanya.

Dalam konteks spirit untuk berbedah dan membarui diri dan Gereja itu, kata-kata John D Caputo, pemikir Amerika yang berfokus pada studi filsafat agama kontinental penting dimaknai.

Ia menyatakan, beragama sederhananya dipahami dalam semangat “cinta akan Tuhan.” (Caputo; “On Religon”: 2001).

Bagi Caputo, tanpa sikap batin dan praktik hidup “Cinta kepada Tuhan,” manusia menjumpai kehampaan dalam pengagungan cinta diri dan pemuliaan diri di padang gurun dunia sekular.”

“Agama ditujukan bagi siapa saja yang penuh hasrat yang melampaui keuntungan pribadi, bagi siapa saja yang percaya pada sesuatu, yang berharap pada sesuatu, yang mencintai sesuatu yang tentu saja melampaui pemahaman (baca: Tuhan), ” tulisnya.

Agama, baginya, adalah cara bagaimana manusia melihat, membangun dan mengetahui dunia yang dihayatinya.  “Agama yang benar,” lanjutnya, lahir dari kebajikan dasariah yakni Cinta akan Tuhan.

Jadi, agama tidak sama dengan “birokrasi agama”, melainkan melampaui sifat manusiawi organisasi agama.

Akhirnya, berbagai perbincangan, debat, beda pendapat, tudingan dan dukungan yang tampak dalam sikap-sikap kawanan maupun kalangan gembala terhadap polemik di Keuskupan Ruteng tidak serta merta segera dianggap sebagai upaya menjatuhkan martabat Gereja.

Hal itu, yang tentu saja memicu kegoncangan di sana-sini niscaya lahir dari cinta yang besar terhadap Ibunda Gereja, agar kita, orang-orang Katolik senantiasa berupaya mendekatkan diri pada Sang Guru Agung dan selalu bersedia mengamalkan apa yang sudah Ia wariskan.

Penulis adalah Umat Paroki St. Nikolaus, Golo Dukal, Ruteng-Manggarai.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini