Oleh: LIAN KURNIAWAN

Pagi sekali, perjalanan jauh itu harus dimulai. Entah ada urusan apa, Alo hanya diminta untuk mengantar sang ayah ke kota. Alo sendiri begitu antusias, sebab ini baru pertama kali ia menginjakkan kaki di kota yang selalu disebut-sebut orang kampung itu: Labuan Bajo.

Namun, ia keberatan bila harus berangkat terlalu pagi, saat mimpi-mimpi tidurnya belum sempat usai.

“Sekarang tinggal pilih”, tegas sang ibu, ”Mau makan atau tidur terus!”

Tak semestinya memang sang ibu mengumpatnya demikian keras. Tetapi, saat peluru kesabaran, bujukan halus,  gagal  menakuti kemalasannya,  kekerasan adalah senjata terakhir.

Dan, rupanya sangat manjur. Meski Alo mengangguk dengan setengah hati, ia akhirnya menurut juga.

“Iya, asal mama yang cari makanan kambing!’’ kata Alo menyembunyikan rasa senang dalam dada.

Alo adalah anak semata wayang. Bila ia tidak ada, maka ayah dan ibunyalah yang harus turun tangan mengurus puluhan kambing di kandang belakang rumah mereka.

Sekarang, ia dan sang ayah pergi, maka hanya ada satu pilihan, sang ibulah yang mengurusnya.

***

Suka duka perjalanan berhasil ia lalui. Jalan terjal tak beraspal, juga jalan aspal penuh lubang, bukan menjadi hambatan berharga baginya.

Lagi pula, jalanan yang telah banyak merenggut nyawa seperti itu sudah menjadi seperti takdir yang susah diubah.

Ia pun tak mengerti, siapa yang harus bertanggung jawab.

Truk-truk kayu yang gagal ke kota mengangkut penumpang dan hasil bumi dari kampungnya saat musim penghujan, hingga yang terbalik ke jurang menjadi bahan  gunjingan biasa.

Bisa dibayangkan, mungkin nanti akan menjadi kebanggaan tersendiri bahwa banyak media lokal atau warga memposting nyawa-nyawa terserak bersimbah darah tergilas kendaraan saat terguling.

“Bupati!” jawab sang ayah sekenanya saat Alo bertanya soal siapa yang bertanggung jawab atas perbaikan jalan ke desanya.

Tak peduli benar atau salah, Alo mengangguk puas bak seorang ilmuwan yang berhasil menemukan sesuatu yang unik sambil terus mengatur stir motor Megapro pembelian sang ayah, hasil penjualan empat ekor sapi tahun lalu.

Kalaupun benar, ia merasa enggan untuk melanjutkan percakapan itu. Begitupun kalau salah, ia bisa maklumi lantaran ayahnya hanyalah seorang pedagang hasil bumi paling kaya di kampungnya. Ayahnya  tidak pernah sekolah, tapi sering membanggakan diri ke warga seantero kampung dengan selalu berkoar soal kedekatannya dengan bupati, serta figur-figur ternama lainnya.

***

Dengan cekat ia mengupas jarak.  Saat matahari seperti tersengal-sengal mendaki ke ubun-ubun bumi Labuan Bajo, mereka pun tiba. Tepatnya di sebuah kantor. Di pusat kota.

“Ini kantor bupati,” jelas sang ayah.

Alo terdecak kagum oleh kemegahan kantor itu. Jendela kaca tampak berbinar-binar memantulkan sinar mentari. Halamannya luas. Dihias oleh bunga berwarna-warni dalam struktur yang sempurna.

Ada juga cemara dan pohon palem yang sedang lunglai bergoyang tertiup angin, seolah mengikuti titah gerak bendera merah putih yang berkibar pada tiang menjulang di tengah-tengah halaman.

Begitu hijau. Memanjakan mata. Sejuk, di tengah kobaran sinar matahari yang gerah. Semuanya semakin terlihat indah dalam bingkai pagar tembok dengan ukiran bernilai seni tinggi serta susah dimengerti.

Alo seolah berada dalam mimpi. Ya, alasannya bisa ditebak. Pertama, ia orang kampung yang baru menginjakan kaki di kota. Kedua, meski ia orang kampung, tapi ia seorang lulusan SMA Negeri di kampungnya yang berdiri tiga tahun silam. Mereka angkatan pertama.

Sebagai seorang yang berpendidikan, ia bisa saja bernalar bahwa semua yang disaksikannya amatlah kontras dengan keadaan jalanan ke kampungnya.

Kantor itu memiliki dua gerbang. Gerbang masuk dan keluar.  Keduanya dijaga ketat oleh satpam berbadan kekar, serem dan selalu tampak merendahkan orang yang menemui mereka.

Setiap pengunjung harus meminta izin para pegawai keamanan terdahulu baru boleh masuk. Tidak heran kalau ada pengunjung yang pulang dengan kecewa lantaran tak mendapat izin masuk.

Alo begitu berbangga pada ayahnya karena bisa berurusan di kantor seperti ini. Apalagi ketika melihat ayahnya mendapat izin masuk, bahkan terlibat percakapan yang sangat akrab dengan seorang pegawai satpam di gerbang masuk.

Alo terheran-heran menyaksikannya. Padahal, ayahnya hanyalah seorang kampungan.

Sejumlah dugaan terlintas di benaknya. Dia berusaha menemukan jawaban soal mengapa ayahnya bisa seberuntung ini. Dia memang menyadari bahwa sang ayah adalah seorang yang sangat berpengaruh di kampung kecilnya, bahkan di desannya.

Hal ini mungkin alasan utama sehingga sang ayah pernah terpilih sebagai ketua tim sukses pada Pilkada periode 2010-2015 silam. Paket yang didukungnya menang telak kala itu. Alo menggumam, apakah urusan ayah di kantor semegah ini punya kaitan dengan andilnya pada Pilkada itu?

Tidak! Ini bukan alasan yang tepat! Alo menjawab sendiri. Lantas apa? Entahlah!

Adalah sebuah kebanggaan besar bagi Alo, bila saja sang ayah mengajaknya ikut masuk ke dalam kantor. Sejak kecil ia bercita-cita ingin menjadi seorang politikus rakus, eh maksudnya, seorang elite yang peduli pada kehidupan masyarakat. Karena itu, ia ingin sekali mengetahui apa saja yang harus dilakukannya di balik gedung semegah itu; bila suatu saat nanti mimpinya tercapai.

Cita-citanya ini terutama sekali berangkat dari keprihatinannya atas jalan menuju kampung halamannya yang hingga saat ini belum beraspal, jalan tanah.

Namun karena satu dua alasan, sang ayah menyuruhnya untuk menunggu di depan gerbang saja.

Di situ, Alo menunggu bersama sejumlah tukang ojek; sebagian berumur tua, dan sebagian lainnya terlihat masih muda, bahkan ada yang terlihat masih seusianya. Mereka sedang menunggu para pegawai keluar dari kantor yang mungkin akan membutuhkan jasa mereka.

Mereka terlihat lelah, riuh bergurau dalam nada-nada penuh harap dan cemas, sebab menunggu dalam ketidakpastian. Bisa saja waktu sehari berlalu hanya dengan menunggu, tanpa mendapatkan penumpang. 

Tempat itu tampak seperti pangkalan ojek, meski di sana ada tanda larang untuk parkir di area gerbang yang dipaku pada pohon.

“INI BUKAN PANGKALAN OJEK!!” cukup tegas tertulis pada sebuah papan kecil yang tergantung pada salah satu ranting paling bawah. Ditulis dengan tinta merah!

Mereka melihat Alo, melempar senyum, lalu beralih menatap sepeda motor Alo yang penuh lumpur.

Satu, dua, atau mungkin lebih dari tiga jam Alo menunggu. Ayahnya belum juga keluar dari dalam kantor. Alo mulai diserang putus asa, lantas melemparkan pandangan kesal ke arah kantor; hendak memastikan apakah ayahnya sudah keluar dari kantor atau belum. Berulangkali. Halaman kantor itu terlihat sepi.

Tak ada seorang pun yang terlihat merangkak keluar dari kantor selain beberapa kendaraan dinas mewah yang berbaris keluar dari area parkir.

****

Keadaan ini mungkin membuat harapan setiap tukang ojek yang ada di sana pupus. Mereka pun satu per satu menghidupkan sepeda motor, lalu pergi. Akhirnya tersisa Alo dan seorang bapak tua saja di sana.

“Om tunggu siapa ?”

“Penumpang, to? Tanya lagi!”

“Heehehe maaf om. Saya kira om datang menjemput seseorang,” kata Alo penuh ketakutan, lalu kembali melemparkan pandangan ke arah kantor.

Kali ini, di halaman kantor, Alo melihat seorang perempuan cantik berpakaian dinas sedang berjalan ke arah gerbang dengan helm hitam bermerk INK yang tergantung di tangan kirinya, sambil melotot ke layar HP.

“Ojek, bu?” teriak sang bapak tua berulang-ulang.

Sang pegawai tidak menberikan jawaban.

Pegawai itu semakin dekat. Sekali lagi tukang ojek itu menawarkan jasanya, “Ojek bu ?” sang pegawai akhirnya menggelengkan kepala. Lalu bapak tua itu pun akhirnya pergi.

Sesampainya di gerbang, perempuan cantik itu terlihat melemparkan pandangan ke arah jalan raya. Sepertinya sedang menunggu jemputan. Alo sesekali mencuri pandang ke arahnya.  Kebetulan, sang pegawai juga sedang melihat ke arahnya.

Beberapa saat mereka beradu pandang.

“Ojek?”

Aneh! Perempuan berpakaian dinas itu akhirnya menyahut. Alo tersentak, lalu refleks mengangguk dan melempar senyum padanya.

Ia pun menanyakan kemana ibu itu hendak pergi dengan air muka yang penuh kebingungan.

“Rumah saya di Golo Koe, tapi sebentar singgah di Langkakabe dulu. Saya ada urusan sedikit di sana.”

Golo Koe? Langkakabe? Alo tambah bingung. Ia tidak tahu menahu letak kedua tempat tersebut.

‘’Kemana dulu, bu?” pertanyaan retoris terlontar.

Perempuan itu dengan agak kesal harus mengulangi penjelasannya. Kali ini ia sambil menunjuk ke arah Langkakabe yang ternyata letaknya tak jauh dari kantor itu.

“Pelan-pelan saja, yah.”

“Iya bu, saya juga sedang cari uang. Tidak semudah itu saya membuat ibu kecelakaan.”

“Baguslah!”

Alo pun menarik gas motornya dengan sangat hati-hati. Tanpa perintah sang pegawai pun, Alo memang paling takut untuk berugal-ugalan di jalan.

Beberapa saat perbincangan mereka terputus. Alo ingin memulainya lagi tapi enggan. Selama itu ia digerogoti pertanyaan mengapa sang pegawai cantik itu menolak saat ditawarkan jasa oleh bapak tadi, padahal akhirnya mencari tukang ojek juga. Tetapi dia enggan menanyakannya langsung pada sang pegawai.

“Eh, kamu tukang ojek benaran atau bukan?”

Alo tercengang. Lalu dengan gesit menyusun jawaban yang tepat.

“Memangnya tanta, eh, maksud saya, ibu pernah dengar ada ojek gadungan?”

Sang pegawai menjawabnya dengan tertawa dan menepuk punggung Alo.

Dalam benak, Alo memang memahami keheranan ibu itu. Iblis pun tahu, kalo rata-rata tukang ojek di sini menggunakan motor bebek, begitu orang menyebutnya. Bukan Megapro.

“Tidak, maksud saya………,”

Beberapa saat Alo menunggu, tapi tidak ada kelanjutan; entah karena apa. Ia lalu memberanikan diri untuk bertanya, tapi malah dijawab dengan sebuah tepukan mesra di punggungnya.

Pertanyaan-pertanyaan aneh silih berganti mulai melintasi pikiran Alo. Ada apa dengan ibu ini? Sudah hidup berkeluargakah ibu ini? Kalau iya, kenapa dia bertingkah seperti ini?

Tanggapan Alo atas tingkah sang pegawai cantik itu terungkap lewat beberapa pertanyaan dalam benaknya.

Beberapa saat kemudian, sang pegawai meminta Alo untuk meminggirkan motornya karena sudah sampai di tempat tujuannya di Langkakabe. Suhu Labuan Bajo terasa sangat gerah. Debu tanah bertebaran liar tertiup kendaraan yang lalu lalang. Alo sudah semakin lelah. Lagi-lagi dia diminta untuk menunggu. Kali ini dia harus menunggu di bawah terik matahari. Tapi entah mengapa dia seolah-olah mendapatkan energi besar sehingga bisa bersabar.

Setelah beberapa saat dia menunggu, pegawai itu pun kembali.

“Aduh maaf….” pintanya sambil berlangkah sedikit berlari ke arah Alo.

Kesabaran Alo memang berperang dengan ketakutannya pada sang ayah. Ia takut bila ayahnya pulang dari kantor itu saat dia sedang mengantar pegawai cantik tersebut.

Bila itu terjadi, ia pasti akan mendapat marah, karena sang ayah harus berbalik menunggunya. Padahal, ayahnya berencana agar setelah semua urusannya di kantor itu selesai, langsung kembali ke kampungnya di kecamatan Macang Pacar.

***

Beruntung, jarak dari Langkakabe menuju Golo Koe tidak terlalu jauh. Hanya butuh waktu sekitar sepuluh menit, mereka pun tiba di daerah Golo Koe. Tapi, belum sampai di rumah sang pegawai.

“Sampai di situ” katanya sambil menunjuk sebuah gang kecil. “Terus belok kanan,” lanjutnya.

“Iya, kak, eh maksud saya ibu, heheh.”

“Ah, dasar!”

“Iya bu, maklum tukang ojek”

“Bukan…..!” katanya dengan suara yang terdengar begitu lembut, bercampur semilir angin yang berhembus lembut, membuat Alo merasakan sedikit kesejukan meski harus menahan lelah dan juga rasa lapar yang luar biasa.

Ibu itu melanjutkan, “Maksud saya tadi, saya tidak yakin kalau kamu tukang ojek benaran..”

“Kenapa menduga seperti itu?”

“Kamu kok…, kamu rapi sekali, bersih….wangi, pokoknya, oke deh..”

“Ah ibu, ada-ada saja. Memangnya hanya pegawai yang bisa berpakaian rapih?”

“Hahhahahhaha”

“Stop, stop, stop!” pintanya mendadak sementara Alo mengendarakan motornya menyisiri gang kecil menuju rumahnya dengan sedikit kencang.

Sontak, Alo pun menginjak dan menarik rem. Tanpa sengaja atau mungkin sengaja, sang pegawai itu terseret ke depan dan memeluk Alo.

Pegawai cantik itu pun meminta maaf padanya. Alo merasa hal ini bukan masalah. Sebagai seorang bujangan, Alo menganggap ini semata-mata sebagai sebuah keberuntungan.

“Oh iya, ini rumah kami. Mampir dulu yuk.”

“Serius, bu?” dengan keraguan yang tidak bisa disembunyikan.

Rumah itu megah sekali. Alo menduga, jangan-jangan itu adalah rumah pribadi bupati. Atau rumah seorang kepala bidang atau pebisnis kaya.

Sang pegawai mengangguk dan tersenyum panjang, serta menjelaskan kalo kedua orangtuanya sedang tidak berada di rumah. Mendengar itu, Alo dengan penuh semangat turun dari motornya.

Sesampainya di halaman rumah sang pegawai, HP Alo tiba-tiba berdering dengan sangat keras. Tanpa melihatnya, Alo langsung memastikan bahwa itu pasti telepon dari sang ayah.

Karena takut pada sang ayah, Alo pun terpaksa membatalkan niatnya untuk mampir di rumah sang pegawai dan meminta maaf padanya dengan alasan sedang ditunggu seseorang.

Dengan air muka sedikit kecewa sang pegawai mengiyakan permohonan maaf Alo, serta memandang Alo dengan tatapan berjuta makna. Sepintas saja Alo berbalik menatap, lalu dengan rasa kecewa ia hidupkan motornya, pamit lalu pergi.

“Eh….tunggu!!” agak telat sang pegawai berteriak saat Alo sudah melaju kencang, karena dihantui rasa bersalah dan takut pada sang ayah.

Nana, tunggu………………..!’’ sekali lagi ia berteriak sambil sedikit mengejar bak drama dalam film.

Alo terus menancap gas. Kian jauh ia meninggalkannya. Berulang-ulang HP-nya berdering, Ia tidak menggubrisnya, karena yakin itu pasti telefon dari sang ayah.

Pada deringan ke sekian, Alo mengeluarkan HP dari dalam saku celananya, bermaksud untuk mengangkat telefon tersebut.

Namun ternyata, dering yang berkali-kali itu adalah nada alarm.

Alo pun terbangun dari tidur lelapnya dan tersadar bahwa itu semua hanya mimpi dalam tidur panjangnya.


Lian Kurniawan adalah alumnus SMK St. Fransiskus Xaverius Ruteng. Ia pernah kuliah sastra Inggris di Universitas Sanatha Darma Jogja, tetapi harus berhenti karena masalah ekonomi. Sekarang, ia berkerja sebagai ‘tukang kebun’ dan pemandu wisata di Labuan Bajo, Manggarai Barat. 

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Juga Artikel Lainnya

Bicara Tuntutan Nakes Non-ASN, Bupati Manggarai Singgung Soal Elektabilitas, Klaim Tidak Akan Teken Perpanjangan Kontrak

Herybertus G.L. Nabit bilang “saya lagi mau menaikkan elektabilitas dengan ‘ribut-ribut.’”

Apakah Paus Fransiskus akan Kunjungi Indonesia dan Rayakan Misa di Flores?

Kendati mengakui bahwa ada rencana kunjungan paus ke Indonesia, otoritas Gereja Katolik menyebut sejumlah informasi yang kini menyebar luas tentang kunjungan itu tidak benar

Buruh Bangunan di Manggarai Kaget Tabungan Belasan Juta Raib, Diklaim BRI Cabang Ruteng Dipotong Sejuta Per Bulan untuk Asuransi

Nasabah tersebut mengaku tak menggunakan satu pun produk asuransi, sementara BRI Cabang Ruteng terus-terusan jawab “sedang diurus pusat”

Masyarakat Adat di Nagekeo Laporkan Akun Facebook yang Dinilai Hina Mereka karena Tuntut Ganti Rugi Lahan Pembangunan Waduk Lambo

Akun Facebook Beccy Azi diduga milik seorang ASN yang bekerja di lingkup Pemda Nagekeo

Pelajar SMAS St. Klaus Kuwu Gelar Diskusi terkait Pengaruh Globalisasi terhadap Budaya Manggarai

Para pemateri menyoroti fenomena globalisasi yang kian mengancam eksistensi budaya lokal Manggarai dalam pelbagai aspek