Ada Apa di Balik Kemelut di Keuskupan Ruteng?

Floresa.coAksi para imam di Keuskupan Ruteng pada Senin, 12 Juni 2017 yang menyatakan protes pada Mgr Hubertus Leteng melahirkan beragam tanggapan.

Tidak sedikit kecaman untuk para imam itu, terutama karena mereka menyerahkan surat pengunduran diri dari jabatan.

Selain para pastor paroki, sejumlah imam yang menduduki posisi kunci juga ikut mundur, bahkan berada di garis depan untuk menyuarakan protes.

Beberapa di antaranya adalah Ketua Pusat Pastoral, Romo Marthen Chen Pr; Ketua Tribunal, Romo John Boylon Pr; Vikep Borong, Romo Simon Nama Pr; Vikep Reo, Romo Herman Ando Pr;  Ketua Unio Projo Keuskupan Ruteng, Romo Ferdinandus Mayus Pr;  Sekertaris Uskup, Romo Manfred Habur Pr; Vikep Labuan Bajo, Romo Robert Pelita Pr dan Praeses Seminari Labuan Bajo, Romo Laurens Sopang Pr.

Kecaman terhadap para imam itu, sebagaimana terbaca di media sosial, dipicu oleh persepsi bahwa mereka tidak memiliki alasan kuat memprotes uskup, apalagi hingga menanggalkan jabatan. Mereka pun diminta agar sebaiknya menyelesaikan masalah itu melalui mekanisme internal.

Floresa.co, media yang pertama kali mengangkat soal aksi para imam ini juga mendapat banyak protes, karena dianggap hanya membuat gaduh, sementara tidak menjelaskan secara rinci dalam sejumlah berita terkait duduk persoalan yang melatari aksi para imam.

Tudingan demikian, tentu beralasan. Namun, sebagaimana biasanya, membicarakan secara terbuka persoalan di balik pintu institusi Gereja, bukanlah perkara mudah.

Romo Marthen Chen Pr, yang menjadi juru bicara para imam itu, juga tidak menjelaskan secara eksplisit dalam konferensi pers di Ruteng, Senin siang soal duduk persoalan.

Saat itu, ia hanya mengatakan mereka menginginkan adanya pembaharuan di keuskupan.

“Pembaharuan itu menyangkut karya pastoral kita, pembaharuan menyangkut manajemen pastoral kita, manajemen keuangan kita,” katanya. Pembaharuan itu, lanjut dia, juga untuk diri mereka sendiri sebagai gembala agar bisa menjadi gembala (seperti) Yesus Kristus.

Floresa.co sudah berupaya meminta penjelasan lebih lanjut dari Romo Marthen terkait masalah yang memicu adanya desakan pembaruan itu. Namun, meski mengakui bahwa pernyataannya dalam konferensi pers itu memang ‘amat diplomatis,’ ia mengatakan, “tidak enak untuk membicarakan semuanya.”

“Yang pasti, sebelum aksi ini, sudah lima kali kami membicarakan masalah-masalah ini dengan bapa uskup,” katanya.

Meski demikian, Floresa.co tetap berupaya mencari tahu soal itu dan berhasil mendapati informasi yang cukup detail perihal masalah yang melatari aksi para imam.

Informasi-informasi itu didapat lewat wawancara dengan sejumlah imam yang ikut dalam aksi. Namun, semua sumber itu meminta agar namanya tidak dipublikasi, dengan alasan: “yang namanya bisa diekspos di media, hanya Romo Marthen Chen dan Romo John Boylon.”

Dari penuturan sumber-sumber itu, yang buktinya ada pada Floresa.co, didapati informasi bahwa setidaknya ada tiga persoalan utama, yakni, dugaan penyelewengan uang, pelanggaran janji selibat dan penyalahgunaan wewenang.

Seorang imam yang masuk anggota dewan imam mengatakan kepada Floresa.co, mereka sebetulnya tidak melakukan aksi ini jika ada solusi terhadap upaya-upaya sebelumnya.

Persoalan ini, kata dia, mulai mencuat setelah tahun lalu, Mgr Hubert didapati mengambil uang milik keuskupan yang disimpan di Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) senilai Rp 1,25 miliar.

Mereka baru tahu soal dana itu, kata dia, setelah mendapat laporan dari KWI dan keuskupan dimintai pertanggungjawaban.

Karena itu, jelasnya, mereka pun menemui uskup dan meminta klarifikasi.

Dalam rapat dengan uskup menyusul terungkapnya masalah keuangan itu, ketika ditanya terkait pemanfaatannya, uskup menyebut “untuk membiayai seorang anak, ata lengge (orang miskin – red) yang sedang kuliah pilot di Amerika Serikat.”

“Nama anak itu, menurut dia adalah Boy. Kami kaget karena ketika ditanya detail soal anak itu, ia mengatakan, ‘itu urusan saya,’” jelas imam itu.

Karena tidak menemukan titik terang saat membahas masalah itu, para imam, kata dia, melapor hal ini ke Duta Vatikan di Jakarta.

Setelah itu, jelasnya, mereka kembali dikagetkan dengan kabar bahwa uskup meminjam uang Rp 400 juta rupiah dari kas keuskupan tanpa sepengetahuan mereka.

“Kami klarifikasi lagi, karena ia sebenarnya hanya dibolehkan mengambil uang tanpa sepengetahuan dewan keuangan kalau angkanya di bawah Rp 100 juta,” kata imam itu.

“Dan, ia bilang, uang itu dipakai untuk beli sepatunya si Boy, karena sekarang ia sudah mulai latihan menerbangkan pesawat dan sepatunya yang dipakai  selama proses itu mahal,” katanya.

Lagi-lagi, kata dia, uskup menolak menjelaskan soal siapa sebenarnya di Boy itu.

Karena kesal dengan itu, katanya, lebih dari 100 imam menandatangani surat mosi tidak percaya kepada uskup. “Kami perihatin pada tindakannya yang tidak transparan,” kata imam itu yang mengaku ikut menandatangi surat mosi tidak percaya itu.

Kepada Floresa.co, imam itu menyatakan, ia dan rekan-rekannya menduga uang itu tidak dipakai untuk anak yang kuliah pilot itu.

“Itu hanya rekayasa saja soal si Boy itu,” katanya.

Ia menjelaskan, ada dugaan kuat, uang itu dipakai untuk dikirimkan kepada seorang perempuan yang pernah dikabarkan menjalin relasi dengan uskup.

Perihal relasi, yang berujung pada pelanggaran selibat itu, sebenarnya bukan cerita baru.

Informasinya mulai merebak pada tahun 2014, setelah seorang imam Keuskupan Ruteng, yang kemudian memilih untuk menanggalkan jubah mengungkapnya ke publik.

Terungkapnya masalah itu berlangsung beberapa waktu setelah munculnya sebuah petisi di situs Change.org yang meminta agar Mgr Hubert diberhentikan.

Masalah itu, kata imam lain narasumber Floresa.co menjadi kian ramai,  setelah imam yang membongkar soal skandal itu bersama keluarganya melakukan protes ke keuskupan. Video yang merekam aksi itu kemudian beredar, termasuk di kalangan awam.

“Dalam video itu, uskup tampak tidak memberi respon pada tudingan terhadapnya,” katanya.

Pada saat itu, pihak keuskupan membantah informasi tersebut lewat sebuah klarifikasi resmi dan menyebut bahwa uskup telah difitnah. Klarifikasi itu juga dimuat di situs milik Komisi Komunikasi Sosial KWI, mirifica.net.

Namun, seorang imam lain mengatakan, pihak KWI sudah melakukan investigasi kasus ini dan laporannya sudah disampaikan ke Vatikan. “Hasilnya, tudingan terhadap dia terkonfirmasi.”

Ia menjelaskan, aksi mereka pada Senin bertujuan agar Vatikan membuka mata.

“Banyak umat yang terus bertanya terkait masalah ini. Kami pun terganggu dalam menjalakan tugas,” katanya.

Ketika informasi dari para narasumber Floresa.co itu dikonfirmasi kepada Romo Marthen Chen, ia mengatakan, tidak bersedia berkomentar lebih jauh. Namun, menurutnya, informasi-informasi itu “pada dasarnya valid.”

Masalah ini, menurut imam lain lagi, menjadi kian pelik, setelah Mgr Huber memilih menggeser jabatan sejumlah imam.

Romo Alfons Segar Pr, Vikjen yang terlibat aktif dalam upaya mengusut dugaan skandal Mgr Huber, misalnya diberhentikan pada 2 Juni lalu.

Sekertaris Uskup, Romo Manfred Habur Pr, juga dilaporkan terancam digeser, meski ia baru setahun menduduki posisi itu.

“Menurut kami, ia menempati orang-orang tertentu yang sejalan dengannya. Ia memakai alasan bahwa itu adalah hak prerogatifnya,” katanya.

Dialog yang Buntu

Sejumlah masalah ini, menurut para imam yang berbicara kepada Floresa.co dibahas dengan uskup dalam pertemuan pada Senin.

Seorang imam mengatakan, dalam pertemuan itu, mereka memaksa uskup menandatangani pernyataan untuk mengembalikan uang Rp 1,65 miliar, total dari yang diambil dari KWI dan keuskupan.

Setelah dialog, dalam wawancara dengan wartawan, Mgr Hubert tidak menyinggung spesifik poin yang dibicarakan dengan para imam.

Ia hanya mengatakan, “Hal yang menjadi kekurangan harus menjadi pelajaran, yang memang merupakan kemajuan ditingkatkan saja.”

Ia menambahkan, “Kita harus mencintai Gereja. Gereja itu menjadi komitmen. Persatuan Gereja, komunio, itu menjadi komitmen. Kita sama sekali tidak menghendaki ada yang meninggalkan tugasnya, tidak membantu umat,” ujarnya merespon soal imam yang mengundurkan diri dari jabatam.

Ia pun mengatakan, tidak ingin terjadi kegaduhan lagi. “Kalau kamu mencintai gereja, kamu harus menciptakan kesejukan bagi umat,” ucapnya.

Mgr Hubert menolak menanggapi tudingan lain, termasuk soal penyalahgunaan keuangan, dugaan pelanggaran selibat dan penyalahgunaan wewenang.

Sementara, dalam pernyataan bersama usai pertemuan itu, para imam mengatakan, Mgr Hubert “tidak menyampaikan jawaban dan klarifikasi yang memuaskan untuk pembaharuan Gereja yang mutlak dimulai dari pembaharuan gembala umat.”

“Justru dinamika pernyataan tarik diri dari cukup banyak imam bertolak dari kondisi tak adanya kesediaan Bapa Uskup untuk memimpin para imam dalam menggembalakan umat dengan prinsip injili kejujuran, kebenaran, kesejahteraan umum dan pertobatan,” demikian pernyataan mereka.

Mereka menambahkan, “perjuangan para imam ini bersumber pada semangat cinta dan pelayanan terhadap Gereja agar Gereja Keuskupan Ruteng sungguh semakin menjadi Gereja yang bersedia dibangun, dibaharui, ditobatkan dan dituntun dalam bimbingan Roh Kudus.”

Karena jalan buntu itu, kasus ini dilaporkan oleh para imam ke Duta Vatikan di Jakarta.

Pada Jumat 16 Juni, dua perwakilannya akan menemui Nuncio, yakni Romo Alfons Segar Pr dan Romo John Boylon Pr.

Floresa.co sudah kembali berupaya meminta klarifikasi dari Mgr Hubert terkait tudingan yang dilayangkan kepadanya, sebelum memutuskan mempublikasi laporan ini. Namun, hingga Kamis, 15 Juni malam, ia belum merespon permintaan Floresa.co.

Robohnya Otoritas Moral dan Spiritual

Respon atas kasus ini beragam. Di media sosial Facebook, pantauan Floresa.co, pembahasan soal masalah ini ramai di lini masa para pengguna Facebook.

Pastor Peter C Aman OFM, dosen teologi moral di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara yang dihubungi Floresa.co mengatakan, jika tudingan terkait tindakan uskup itu benar, maka  yang hilang adalah otoritas moral dan spiritual yang mesti selalu mengalir dari pimpinan hirarki.

“Saya melihat ini soal amat serius, bukan hanya menyangkut bobot kesalahan, tetapi hilangnya rasa salah dan tanggung jawab, fairness dan sense of crisis lenyap, habis,” katanya.

Padahal, menurut dia, itulah fundasi etis moral dari jabatan apapun, apalagi pimpinan institusi agama.

Pada tahun ini, kata dia, KWI baru saja mempublikasi Nota Pastoral terkait korupsi.

“Tapi, apa yang terjadi di Ruteng? Padahal, uang yang dimiliki Gereja adalah uang umat yang kecil dan hidup susah di kampung-kampung,” katanya.

Ia menegaskan, “di sini nurani pun sudah tumpul, berlaku seolah-olah semuanya biasa.”

“Kepentingan umat dan Gereja lokal hilang dari komitmen dan hati sang pemimpin. Tapi,  entahlah, kita kehabisan kata untuk memaparkannya,” lanjut imam kelahiran Manggarai ini.

Rikard Rahmat, salah satu umat awam mengatakan, tidak mudah menyampaikan seruan pertobatan secara terbuka seperti yang dilakukan para imam di Ruteng, apalagi terhadap pimpinan mereka sendiri.

“Tampaknya, memang ada masalah moral-etis yang sangat serius,” katanya.

Kalau pemecahan internal menemui jalan buntu, kata dia, perlu bantuan pihak luar, seperti KWI dan Dubes Vatikan.

“Semoga solusi pihak luar itu akan benar-benar menjawab keinginan terdalam umat Keuskupan Ruteng, yaitu para gembalanya menjadi contoh nyata hidup sesuai dengan semangat Injil,” katanya.

Untuk umat awam, kata dia, krisis moral-etis apa pun yang menghinggapi para gembala, kalau terbukti ada, jangan sampai dianggap merusak Gereja secara keseluruhan.

“Mari kita rawat dan besarkan Gereja bersama-sama. Gereja adalah kita semua,” katanya.

Oleh karena itu, jelasnya, sikapi masalah ini dengan bijak, sampaikan kritik dan keprihatinan dengan baik.

“Dan, beri dukungan doa agar masalah ini dapat diselesaikan secara memuaskan sesuai mekanisme yang berlaku di dalam Gereja Katolik,” jelasnya.

Seorang imam, yang lagi-lagi meminta namanya tidak dipublikasi mengatakan kepada Floresa.co, memang ada dilema ketika harus mengungkap masalah ini ke publik.

“Namun, saya berpikir, mengapa kita mau mendiamkan hal yang busuk?”

Sesungguhnya, kata dia, dengan mau membongkar kebusukan dalam Gereja, yang sedang ditunjukkan adalah sikap untuk selalu berpihak pada kebenaran, meski jalan untuk itu, bisa jadi membuat malu dan merasa terhina.

“Saya lebih memilih untuk menanggung rasa malu itu daripada menjadi gembala sambil terus dihantui rasa bersalah karena mendiamkan apa yang terjadi,” katanya. (ARL/ARJ/FRD/RNLD/Floresa)

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini