Polemik Pede: Bukan Hanya Soal Legalitas

Floresa.co – Polemik Pantai Pede di Labuan Bajo, Manggarai Barat masih tetap memanas. Perdebatan masih terus terjadi, terutama di media massa dan media sosial. Banyak cara yang dipakai untuh meruntuhkan argumen dan menciutkan nyali lawan. Mulai dari adu pendapat, analogi, bahkan ketika nalar tak berfungsi, kata-kata tak pantas dan somasi pun dilayangkan.

Ya, gejolak ini tentu tidak akan berakhir sepanjang kepentingannya berbeda: pro dan kontra-privatisasi Pantai Pede.

Sebulan terakhir, polemik ini mengerucut ke soal status kepemilikan dan prosedur penyerahan aset. Perdebatan tentang aspek legalitas ini sesungguhnya akan mengaburkan substansi persoalan: kebutuhan dasar warga akan ruang publik. Sebab masalah paling mendasar adalah potensi terhalangnya akses publik ke Pede.

Pede adalah satu-satunya wilayah pesisir di Kota Labuan Bajo dan sekitarnya yang tersisa bagi warga untuk menikmati pantai dan laut. Semua wilayah lain sudah menjadi milik pribadi atau investor.

Bertolak dari substansi tersebut, langkah Gubernur Frans Lebu Rata menyerahkan pengelolaan Pede ke investor sesungguhnya merupakan upaya marginalisasi hak warga negara.

Ini menjadi persoalan serius dan menggugat inti terdalam peran pemerintah sebagai pengayom hidup dan pelayan warga negara. Apakah pemkab dan pemprov masih layak disebut pelayan publik?

Karena itu, polemik Pede jauh dari sekadar persoalan status kepemilikan dan prosedur penyerahan aset.

Memang satu persoalan utama pasca pemekaran adalah status kepemilikan dan prosedur penyerahan aset dari daerah induk kepada daerah otonomi baru. Misalnya, Kabupaten Kupang dan Kota Kupang berkonflik soal status PDAM, Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya berseteru soal sejumlah aset, Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan soal pasar pradisional, dsb.

Yang berkonflik adalah pemerintah daerah induk dan daerah pemekaran. Sementara uniknya dalam kasus Pede, yang berkonflik bukan antarpemerintah tetapi justru koalisi pemprov dan pemkab serta investor berhadap-hadapan dengan warganya sendiri. Miris! Pada titik ini, pemda bak vampir yang menghisap darah rakyatnya sendiri.

Selain itu, gejolak berkepanjangan ini sebetulnya mengugat kapasitas tata kelola (governance) kepala daerah, baik Bupati Mabar Agustinus Ch Dula maupun Gubernur Lebu Raya.

Apakah kepala daerah memiliki kapasitas dalam menerapkan prinsip-prinsip good governance atau sebaliknya, mempraktikkan bad governance?

Prinsip-prinsip good governance yang selalu disebut, antara lain, partisipasi masyarakat, supremasi hukum, transparansi, peduli pada stakeholder, berorientasi pada konsensus, kesetaraan dan akuntabilitas.

Seandainya, sejak dalam tahap perencanaan, pemda di bawah komando kepala daerah, menerapkan prinsip-prinsip ini secara benar, tak sekadar formalitas, polemik ini tidak akan pernah terjadi.

Karena itu, polemik ini menjadi pelajaran berharga bagi warga Mabar dan NTT. Pilihlah kepala daerah berkapasitas dan berintegritas. (Redaksi)

spot_img

Artikel Terkini