“Wanita di Jantung Belantara,” Puisi Lian Kurniawan

Pekat malam itu
begitu rapat menyelimut
segenap cerita.
Ia datang menjemput sang kekasih tercinta
yang terdampar di jantung belantara,
dengan obor di tangan.
Kobar obornya terombang-ambing
seturut alunan manja angin malam
nafasnya tersengal-sengal mengibas jarak.
“Seberapa jauh kau sanggup membawa daku pergi,
sedang kau tahu badai sewaktu-waktu menyergap?’’
Lelaki itu tetap tak bergidik.
Jantungnya masih berdetak diluar kendali.
Cahaya obornya menari-manari.
“Apa yang kau harapkan selain nyawa kita tercabik-cabik binatang buas penghuni hutan?”
Sang kekasih terus mengomel lantang,
meski kian lelah sebab telah lama menanti:
bukan sang lelaki, bukan pula sosok Ilahi dalam doa,
melainkan ajal yang telah pasti menjemput.
“Lihat, kau bahkan telah menelanjangi semua kebencianku  di tengah belantara ini.
Menelanjangi semua cerita sejarah yang telah lama terkubur malam.
Obormu bahkan hanya menuntun kita menuju perang maut.’’
Sejenak lelaki itu berhenti. Menarik tangan sang kekasih,
“Belantaramu ini punya hukumnya sendiri. Mari kita selami semua derita,
Mungkin juga untuk mengukir cerita, bahwa hati kita sungguh memiliki hukumnya sendiri.’’
“Tapi binatang buas, tak pernah mempersoalkan kebenaran!”
Ia lalu tunduk, oleh sebuah kepasrahan cinta.
“Saat itulah kita harus mampu bertahan, berjuang, hingga titik darah penghabisan,
Demi kebenaran kita. Bukan kebuasan binatang-binatang yang kau sangkakan itu!”

Lian Kurniawan adalah alumniusSMK St. Fransiskus Xaverius Ruteng. Ia pernah kuliah sastra Inggris di Universitas Sanatha Darma Jogja, tetapi harus berhenti karena masalah ekonimi. Sekarang ia berkerja sebagai ‘tukang kebun’ dan English Speaking Tour Guide di Labuan Bajo, Manggarai Barat. 

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini