Mengapa Tuhan Membiarkan Penderitaan?

Refleksi misionaris asal Labuan Bajo yang kini bermisi di Congo, Afrika

Oleh: FR RICHARD NOT CICM

Beberapa hari lalu seorang sahabat di dunia maya bertanya kepada saya, “Frater, sudah nonton video pemboman Gereja di Mesir?” Saya pun menjawab datar, “Belum.” Kebetulan setelah ngobrol dengan teman tersebut, saya melihat beberapa pesan WA yang belum terbaca. Ternyata sebuah pesan menautkan video yang dimaksud. Saya pun menulis pesan kepada sahabat saya tadi, “Halo, saya barusan nonton videonya. Sedih sekali ya, apalagi pemboman itu terjadi di saat mereka sedang beribadat. Jangan lupa berdoa untuk para korban.” Pesan saya pun dibalasnya cepat, “Frater, Tuhan itu di mana ya saat teroris meletakkan bom?”

Saya merenung dalam, namun tidak kunjung mendapat jawaban yang tepat dari penalaran teologis saya. Saya pun mengalihkan perbincangan kami, namun hati saya tidak tenang dengan pertanyaan itu.

Malam sebelum beranjak tidur, saya kembali merenungi pertanyaan tersebut. Saya memulai permenungan dengan mem”paraphrase”kan pertanyaan tadi (merumuskan ulang tanpa menghilangkan makna asli). Setelah diubah kira-kira bunyinya seperti ini, “Frater, mengapa Tuhan membiarkan pemboman itu terjadi?”

Sejujurnya bukan untuk pertama kalinya saya ditanya seperti ini. Beberapa sahabat pernah bertanya demikian, namun saya selalu gagal memberi jawaban yang memuaskan keingintahuan mereka. Semua orang yang sedang atau pernah mengalami penderitaan pasti tergoda untuk bertanya demikian. Tidak terkecuali saya.

Dua tahun lalu, saat saya mau berangkat ke medan misi di Congo, Afrika, ibu saya meninggal setelah bertahun-tahun melawan penyakit diabetes yang dideritanya. Saya bahkan memangkunya di saat beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir. Saat itu saya begitu terpukul, semangat saya untuk berangkat ke Congo, Afrika menjadi pudar. Di tengah kedukaan tersebut, saya sering bertanya dalam hati, “Tuhan, mengapa Engkau biarkan ini terjadi?”

Medan yang berat menjadi salah satu tantangan bermisi di Congo. Jalan antarkota provinsi ini kami lalui sebulan lalu. Ban mobil kami terbenam dan baru bisa lolos dari lumpur pasir setelah kami, dibantu masyarakat setempat, bekerja selama 6 jam. (Foto: Fr Richard Not CICM)
Medan yang berat menjadi salah satu tantangan bermisi di Congo. Jalan antarkota provinsi ini kami lalui sebulan lalu. Ban mobil kami terbenam dan baru bisa lolos dari lumpur pasir setelah kami dibantu masyarakat setempat. Kami butuh enam jam untuk bisa lolos dari situasi ini. (Foto: Fr Richard Not CICM)

Bagi saya, ini adalah pertanyaan yang sifatnya abadi (It’s a perennial question), muncul di setiap jaman. Setiap generasi dari peradaban manusia hampir selalu menanyakan hal yang sama, bahwa jika Tuhan itu baik, mengapa ada penderitaan, penyakit dan kematian di dunia ini. Pertanyaan ini akan muncul di sepanjang hidup kita, karena penderitaan adalah bagian dari hidup itu sendiri. 

Dalam sebuah Kitab Hikmat Perjanjian Lama, yakni Kitab Ayub, kita menemukan pertanyaan-pertanyaan yang bersentuhan dengan penderitaan yang dialami Ayub, sang tokoh utama. Ayub digambarkan sebagai orang yang benar. Namun tiba-tiba dia ditimpa kemalangan. Penderitaannya begitu besar. Bahkan istrinya meminta Ayub untuk mengutuki Tuhan supaya ia mati dan akhirnya terlepas dari penderitaan. Pertanyaan utama yang berkaitan dengan penderitaan ini adalah “Mengapa orang benar menderita?”

Singkat cerita, kita pun kemudian tahu bahwa Allah sedang memberi pelajaran kepada Ayub. Isi dari pelajaran tersebut adalah harapan. Allah ingin agar Ayub menyadari kepada siapakah pengharapannya berlabuh di tengah penderitaan tersebut. Allah pun kemudian memulihkan berkatNya kepada Ayub.

Penderitaan dan Harapan dalam Paskah

Paskah pada hakekatnya berarti “Yesus yang bangkit, Yesus yang hidup”, bukan semata-mata “Yesus yang menderita”, bukan pula “Yesus yang mati di kayu Salib.” Tanpa kebangkitan, kematian Yesus di kayu salib menjadi sia-sia, tidak ada bedanya dengan kematian seorang penjahat atau pelaku makar di jaman Romawi. Tanpa kebangkitan, Iman Kristiani kita sia-sia. Paskah Tuhan berarti kesengsaraan, kematian dan kebangkitan-Nya.

Namun, banyak dari kita orang Katolik yang masih melihat paskah lebih sebagai drama penyiksaan dan kesengsaraan Yesus. Tidak heran jika film “The Passion of Christ” laku ditonton jutaan orang. Hal ini dipengaruhi oleh kecenderungan kita yang selalu melihat hidup secara negatif, penuh dengan penderitaan dan kesulitan.

Paskah Tuhan memberi pemahaman bahwa penderitaan membawa kita kepada harapan, membawa kita kepada iman. Kebangkitan Tuhan adalah cahaya yang menghidupkan kembali kelipan iman yang hampir pudar. Melalui kebangkitanNya, Tuhan mengisyaratkan bahwa kemuliaan dan kebahagiaan dicapai melalui cara yang tidak gampang, cara yang sulit, dan penuh penderitaan.

Tuhan sendiri dalam kodratnya sebagai manusia merasakan perihnya dicambuk, beratnya kayu salib yang dipikulnya, bahkan merasa ditinggalkan oleh Allah. Semua itu Ia lalui untuk memberi kesaksian final tentang harapan di tengah penderitaan.

Perspektif Baru Melihat Penderitaan: Saved in Hope

Sudah hampir dua tahun saya berkarya dan bermisi di benua Afrika, tepatnya di Congo. Di mata dunia, Afrika selalu dilihat sebagai benua yang masih terbelakang dan miskin, benua yang dilanda perang saudara dan konflik kekuasaan yang tidak berkesudahan. Beberapa negara di Afrika utara (Aljazair, Maroko, Tunisia, Mesir, etc.), Nigeria dan Kenya tergolong negara-negara berkembang. Selain itu patut disebut salah satu negara yang cukup maju seperti Afrika Selatan. Negara misi saya tergolong sebagai salah satu negara yang miskin dan rawan perang. Tidak ayal jika penderitaan menjadi realita yang tidak terpisahkan dari hidup sehari-hari.

Banyak dari para misionaris CICM Indonesia yang menyisihkan sebagian dari uang sakunya untuk membiayai pendidikan dari beberapa anak miskin. Jika kita melihat perkembangan negara kita, Indonesia, kita mungkin bisa memprediksi masa depannya dalam beberapa tahun mendatang. Tidak demikian dengan Congo.

Penderitaan dan konflik yang berkepanjangan membuat banyak orang kehilangan harapan. Beberapa kali saya harus melewati daerah konflik, tempat di mana perang antara tentara pemerintah dan milisi terjadi. Di tempat-tempat tersebut seluruh penduduk mengungsi ke hutan, tanpa adanya jaminan makanan, kesehatan dan perlindungan. Anak-anak pun tidak lagi ke sekolah.

Situasi seperti ini berlangsung lama, selama enam bulan hingga setahun. Seringkali saya berpapasan dengan para mustronger (orang-orang yang mendorong sepeda bermuatan jagung, ubi, singkong atau minyak dari desa ke kota, sejauh ratusan kilometer demi mendapatkan untung yang tidak seberapa). Saya mendengar bahwa banyak dari mereka yang meninggal di jalan karena kekurangan makanan, sakit atau pun kehausan. Jutaan keluarga di Congo atau pun Afrika umumnya tidak mampu memberi makanan yang layak kepada anak-anak mereka.

Seorang mustronger sedang mendorong sepedanya menuju kota. (Foto: Fr Richard Not CICM)
Seorang mustronger sedang mendorong sepedanya menuju kota. (Foto: Fr Richard Not CICM)

Bahkan, dalam beberapa keluarga, anak-anak mereka makan secara bergilir. Jika si A makan di pagi hari maka di sore hari dia tidak lagi mendapat jatah makanan. Jatah makanannya diberikan kepada si B yang tidak makan di pagi hari tadi.  Saat melihat dan mengalami penderitaan-penderitaan tersebut, saya sering bersyukur dilahirkan dan dibesarkan di Indonesia.

Saya pun sering bertanya, “Sampai kapan saya bertahan di negara ini?” Namun, di saat bertanya seperti itu, saya malu membandingkan semangat saya dengan kegigihan beberapa misionaris Indonesia yang sudah berkarya belasan bahkan puluhan tahun di negara ini. Kesulitan dan penderitaan seakan menempa mereka menjadi misionaris-misionaris yang tangguh.

Saya yakin bahwa mereka adalah segelintir orang yang mampu memelihara harapan, harapan akan munculnya masa depan yang lebih baik untuk Congo, untuk Afrika. Harapan itu nyata melalui karya dan proyek-proyek misionaris mereka. Seorang konfrater Indonesia, Pater Josep Bura Bataona, CICM, bahkan pernah diliput oleh radio Vatikan atas kerja kerasnya menanam ratusan ribu pohon. Saya yakin, di luar sana masih banyak orang yang melabuhkan harapan mereka kepada Tuhan di tengah penderitaan. 

Sebagai manusia kita tidak bisa menghindar dari penderitaan. Oleh karenanya kita butuh orang lain untuk menemani kita melewati saat-saat seperti itu. Bandingkan dengan jalan salib Yesus, “Apakah dia sendiri di jalan salibnya?” Tidak. Ada banyak orang yang menemaninya. Bahkan Simon dari Kirene membantu untuk memikul salibnya. Jika Tuhan ditemani, dibantu dalam menjalani penderitaan-Nya sebagai manusia, apalagi kita. Kita tidak mampu menghindar dari penderitaan, namun kita mampu membatasi penderitaan kita, meringankan penderitaan kita dengan dukungan orang-orang di sekitar yang peduli.

Anak-anak sedang makan, merayakan kegembiraan bersama Pastor Josep Bura Bataona CICM yang merayakan 25 tahun hidup membiaranya tahun lalu. (Foto: Fr Richard Not CICM)
Anak-anak sedang makan, merayakan kegembiraan bersama Pastor Josep Bura Bataona CICM yang merayakan 25 tahun hidup membiaranya tahun lalu. (Foto: Fr Richard Not CICM)

Saya kemudian paham mengapa di Rumah Sakit mana pun di dunia, selalu ada jam besuk. Hal ini dimaksudkan agar pasien memperoleh kekuatan untuk menerima dan melalui penderitaannya.

Maria, yang menyaksikan kematian puteranya di salib, memberi perspektif dan motivasi kepada kita untuk melihat kesulitan, kekecewaan, penderitaan dan segala hal negatif yang mempengaruhi hidup sebagai sarana untuk memperdalam pemahaman kita tentang hidup, juga sebagai kesempatan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan sesama.

Dalam ensikliknya mengenai harapan (Spe Salvi atau Saved in Hope), Paus Emeritus Benediktus XVI mengatakan, “Manusia hanya bisa berusaha meringankan penderitaan, namun tidak mungkin bisa menghilangkannya. Kita disembuhkan bukan dengan berusaha menghindari penderitaan melainkan dengan menerimanya sebagai kenyataan hidup, kemudian menjadi dewasa melalui penderitaan tersebut dan menemukan arti penderitaannya melalui persatuan dengan Kristus yang menderita karena cintaNya yang utuh.” (Spe Salvi, 37).

Di tengah penderitaan, mereka tidak pernah lupa merayakan hidup. Ini adalah foto terbaik yang pernah saya ambil sejauh ini. (Foto: Richard Not CICM)
Di tengah penderitaan, mereka tidak pernah lupa merayakan hidup. Ini adalah foto terbaik yang pernah saya ambil sejauh ini. (Foto: Richard Not CICM)

Pada akhirnya, mungkin hanya beberapa orang yang mampu memuji dan memuliakan Tuhan dalam penderitaan. Mereka adalah orang-orang yang berani berharap, merawatnya, dan melabuhkannya pada Tuhan. Salam damai Paskah dari Congo, Afrika.

Fr Richard Not OFM merupakan misionaris CICM yang kini sedang mengabdi di Congo, Afrika sejak tahun 2015. Ia berasal dari Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat – Flores. Alumnus Seminari Pius XII Kisol, Manggarai Timur ini menamatkan pendidikan filsafat dan teologi di STF Driyarkara Jakarta dan di Maryhill School of Theology, Filipina.

spot_img

Artikel Terkini