Semana Santa, Tradisi Paskah Warisan Portugis di Larantuka

Floresa.co – Sudah lebih dari 500 tahun, tradisi rohani Semana Santa di Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) lestari, hingga kini. Penyelenggaraan tradisi ini pun menjadi salah satu ikon wisata rohani di NTT.

Beberapa tahun terakhir, sudah menjadi gejala rutin, peziarah membludak, hingga ribuan orang. Hal ini sebagai dampak dari promosi yang kian giat. Beberapa perusahan tur sudah membuka paket wisata ke Larantuka pada Pekan Suci setiap tahun.

Biasanya, jauh sebelum Pekan Suci dimulai, hotel dan wisma-wisma sudah di-booking. Lantas, biara-biara dan rumah-rumah umat pun menjadi bagian dari alternatif tempat menginap.

Sejarah

Perihal awal munculnya tradisi Semana Santa, ada beragam cerita yang beredar. Namun, dari sekian sumber, satu yang pasti, bahwa tradisi ini mulai hidup  saat Patung Tuan Ma ditemukan di Pantai Larantuka pada sekitar tahun 1510. Patung itu diduga terdam­par saat kapal Portugis karam di perairan Larantuka.

Kala itu, Kepala Kampung Lewonama, Larantuka yang tidak diketahui namanya, memerintahkan agar patung itu disimpan di rumah pemujaan (korké) mereka.

Karena tidak mengenal patung apa sebenarnya itu, maka warga setempat menghormatinya sebagai benda kramat, di mana mereka memberi sesaji pada peristiwa tertentu, misalnya saat perayaan panen.

Beberapa waktu kemudian, di mana misionaris Dominikan datang ke Flores, seorang imam ordo itu yang tak diketahui namanya, melihat patung itu. Imam inilah yang kemudian memperkenalkan kepada masyarakat, bahwa itu adalah Patung Bunda Maria.

Warga Larantuka – yang dipimpin seorang raja – kemudian diperkenalkan dengan iman Katolik. Raja Larantuka kala itu, Ola Adobala pun dibantis, dan mendapat gelar Don Fransisko Ola Adobala DVG (Dias Viera de Godinho).

Dari catatan sejarah diketahui bahwa beberapa tahun kemudian, seorang saudagar Portugis bernama Joao Soares membabtis 200 orang di Lewonama, kampung yang  tidak terlalu jauh dari Larantuka.

Seiring dengan bertambahnya penganut Katolik, mulai saat itu, Patung Tuan Ma mulai dihormati dan diakui sebagai Bunda Maria, di mana mereka kemudian mengadakan devosi.

Pemeliharaan devosi ini, juga berkembang karena peranan Konfreria Reinha Rosari Larantuka, sebuah serikat awam tertua di Indonesia yang berdiri pada 1564. Konfreria (Latin: confraternitas: persaudaraan) juga berperan besar menyebarkan iman Katolik di Larantuka.

Tradisi ini, yang kemudian dikenal dengan Semana Santa bertahan dan dijalankan terus hingga kini, hingga menginjak usia lima abad pada 2010 lalu.

Perjalanan sejarah tradisi Semana Santa, tidak bisa dilepaspisahkan juga dari peran Kerajaan Larantuka. Lantas, hingga kini, tradisi ini, selain dipelihara oleh Gereja Katolik, juga di dalamnya, ada peran besar pihak kerajaan, yang mendapat tempat istimewa dalam sejumlah rangkaian acara Semana Santa.

Rangkaian Acara

Dalam prakteknya saat ini, rangkaian acara Semana Santa biasa dimulai pada Rabu Abu, dimana digelar doa sepanjang Masa Prapaskah. Setiap Jumat dan Sabtu hingga Pekan Suci, umat berdoa  bersama – yang mereka sebut sebagai “mengaji semana” – di Kapela Tuan Ma.

Saat memasuki Pekan Suci, kegiatan khusus dimulai, yakni pada hari Rabu, yang disebut Rabu Trewa, untuk mengenang Yesus kala dikhianati Yudas Iskariot dan dibelenggu tentara Romawi.

Pada Rabu malam, umat membunyikan berbagai peralatan, seperti memukul kaleng-kaleng bekas untuk menggambarkan kegaduhan saat Yesus diarak.

Esok paginya, pada Kamis Putih, suasana mulai hening. Umat mulai memancang kayu dan bambu di pinggir jalan di kota Larantuka. Kegiatan ini disebut “tikam turo”. Di kayu dan bambu itu nanti akan ditempatkan lilin selama prosesi pada Jumat Agung malam.

Kesibukan terus berlangsung dengan pembuatan armida dalam bentuk tenda kecil berlapis kain hitam. Ada sebutan untuk masing-masing armida, yakni Misericordia (merenungkan janji Tuhan yang mengutus putra-Nya ke dunia), Tuan Meninu (merenungkan Kanak-kanak Yesus), Santo Philipus (merenungkan masa hidup dan karya Yesus selama di dunia), Tuan Trewa (merenungkan Yesus yang ditangkap dan diadili), Mater Dolorosa (bersatu dengan Maria mengikuti Jalan Salib Yesus), Benteng Daud (merenungkan saat Yesus dijatuhi hukuman mati), Kuce (merenungkan Yesus yang telah wafat di kayu salib) dan Tuan Ana (merenungkan Yesus yang sudah diturunkan dari salib).

Sedangkan di Kapela Tuan Ma, ada yang menyiapkan patung itu, karena setelahnya umat datang berdoa.

Keturunan Raja Larantuka diberi kesempatan pertama membuka pintu kapela dan mencium Tuan Ma, diikuti para kepala suku, mardomu (para pendoa) dan para peziarah.

Hal yang sama juga dilakukan di Kapela Tuan Ana (Yesus anak Maria) dan Kapela Tuan Meninu, dimana ada arca Patung Kanak-kanak Yesus.

Ketiga kapela itu dibuka terus dan hanya ditutup pada sore hari saat Misa Kamis Putih berlangsung. Usai Misa, ribuan umat kembali datang berdoa, hingga pagi hari.

Mereka secara bergilir datang mencium Patung Tuan Ma, Patung Tuan Ana dan arca Kana-kanak Yesus di Kapela Tuan Meninu.

Pada keesokan harinya, Jumat, biasa dianggap sebagai puncak Semana Santa. Setelah jalan salib pada pagi hari, Jumat siang, umat berkumpul di Kapela Tuan Meninu. Arca Kanak-kanak Yesus akan diantar ke Pantai Kuce, dengan waktu tempuh sekitar setengah jam lewat jalur laut.

Bagian dari prosesi Jumat Agung dalam acara Semana Santa, di mana arca Tuan Meninu atau Patung Kanak-kanak Yesus sedang diantar ke perahu, yang kemudian diarak dalam lewat laut. (Foto: Ist)
Bagian dari prosesi Jumat Agung dalam acara Semana Santa, di mana arca Tuan Meninu atau Patung Kanak-kanak Yesus sedang diantar ke perahu, yang kemudian diarak dalam lewat laut. (Foto: Ist)

Dalam peristiwa yang dikenal “prosesi laut” ini, tujuh kedang atau kapal pemburu ikan paus dari Pulau Lamalera, Kabupaten Lembata juga ikut serta. Iring-iringan kapal yang mengantar arca itu menjadi salah satu peristiwa unik tradisi ini.

Setibanya di Pantai Kuce, arca Kanak-kanak Yesus diantar ke armida.

Setelahnya, acara dilanjutkan dengan mengarak Patung Tuan Ma, ke Kapela Tuan Ana. Ini simbol Bunda Maria menjemput anaknya, Yesus. Kedua patung ini lalu diarak bersama-sama menuju Katedral Larantuka.

Menjelang sore, Ibadat Jumat Agung digelar. Usai acara cium salib, umat langsung berziarah ke kuburan. Kompleks pemakaman pun diterangi lilin.

Tepat pukul 20.00, kegiatan prosesi baru dimulai. Berarak sambil membawa lilin bernyala, umat berjalan teratur mengitari kota, sambil berdoa dan menyanyikan lagu-lagu. Selain itu, ribuan lilin pun dipasang di sepanjang rute prosesi. Kota Larantuka pun seakan menjadi kota perkabungan suci.

Makna religi prosesi ini menempatkan Yesus (Tuan Ana) sebagai pusat ritual, serta Bunda Maria (Tuan Ma) sebagai ibu yang berkabung (Mater Dolorosa) menyaksikan penderitaan anaknya.

Karena itu, dalam prosesi ini, Tuan Ana ditempatkan di depan, dan Tuan Ma di belakang peserta perarakan.

Di depan Tuan Ana, berjalan beberapa perempuan yang ditutup dengan kain hitam panjang. Mereka berperan sebagai Eus atau perempuan-perempuan Yerusalem yang meratapi kematian Yesus.

Iringan berikutnya, kelompok peziarah yang membawa lilin menyala.

Benda-benda seperti paku, pemukul, tombak, dan karangan bunga dibawa sebagai lambang Yesus yang mengalami penderitaan.

Selama prosesi ini yang berakhir sekitar pukul 03.00, umat berhenti di setiap arminda untuk berdoa. (Katoliknews/Majalah Rohani/ARL)

Sumber: Semana Santa: Sejarah dan Rangkaian Acara

spot_img

Artikel Terkini