Pede dalam Dongeng Pondik

Oleh: TARSY ASMAT

Di atas kepala bukit, matahari meloi, matanya merah membakar bumi, laut dan “Pede”.

Ombak-ombak laut sopan dan tanpa brisik membasuh hamparan pasir putih. Nafas-nafas samudra dan buih-buihnya menyambut kaki kami.

Suara para ibu tidak kami hiraukan. Meskipun terik membakar kulit-kulit, juga kami tidak perduli.

“Ini surga kami, ini tanah kami, kami melupakan semua kemabukan di sini, di surga bernama Pede.”

Ah, tak ada surga lain seindah surga kami ini.

Tetapi, siapakah yang menghidupkan Pondik kembali? Lelaki dengan jidat panjang dan muka lebar, kepalanya berisi seribu tipu muslihat telah menjadi raja atas surga kami.

Dia menjual tanah leluhurnya.

Katanya, ia adalah raja dan raja harus tunduk pada raja di atasnya.

“Bukankah ia telah kita pilih dan ia menjadi Pondik?”

Komentar para bapak sambil memecak-mecak mulut mereka ke awan-awan.

“Karena kita memilih Pondik, tidakkah kita bisa mengikat kaki dan tangannya, lalu ia kita campakan ke dalam ‘longka’ (lubang)?”

Tetapi, Pondik telah menjadi kuat dan ia memimpin dengan keras kepala.

Para tetua-tua dan mereka yang berjubah sadar, Pondik tidak hanya hikayat. Pondik sungguh hidup dan ia akan menjual surga kita.

“Kalian telah memilih Pondik! Kalian telah memilih si penjual surga”, suara asing itu membangunkan aku dan aku langsung menelpon ibuku, “Apakah surga akan dijual oleh Pondik, bu?”

“Iya nak. Pondik menjualnya dan ia tidak mendengar suara orang tua, anak-anak dan orang-orang berjubah itu. Surga tidak ada lagi di samping rumah kita, nak. Suara laut belakangan ini terus mengaum, meronta-ronta dan makin merisaukan kami di sini. Mungkinkah leluhurmu marah, karena Pondik tidak menghormati ‘tana mbate’ (tanah kelahiran)”

“Ah, sialan kau Pondik!” teriakku.

Darahku berdesir dan tubuhku mengejang-ngejang. Kakekku tidak pernah berbohong, Pondik bukanlah dongeng sebelum tidur.

Biarlah leluhur memakan kepala Pondik yang congkak seperti keyakinan leluhurku dan leluhur Pondik.

spot_img

Artikel Terkini