Paradoks NTT dan Usaha Demokratisasi

 

OLEH: Yones Hambur


Beberapa tahun terakhir, predikat untuk NTT kian memburuk. NTT telah dikenal sebagai salah satu daerah terbelakang di Indonesia.  Predikat buruk tersebut dikenakan tentu tidak tanpa alasan. Ada banyak hal yang cukup mengafirmasi predikat buruk tersebut seperti praktik korupsi yang semakin massif yang berdampak pada kualitas pembangunan daerah, masalah perdagangan manusia (human trafficking) dengan angka paling tinggi di Indonesia, belum lagi soal tingginya persentase kemiskinan yang tak pernah teratasi. Hal lain yang cukup menambah deretan persoalan tersebut adalah soal ancaman terhadap kehancuran ekologi akibat adanya izin usaha tambang serta masalah pencaplokan berbagai macam aset publik seperti privatisasi beberapa pantai publik.

Beberapa deretan persoalan tersebut di atas hanyalah sebagian kecil dari kompleksitas masalah sosial di NTT. Kalau kita menilik soal identitas NTT tersebut, berbagai persoalan tersebut di atas tentu sangat paradoks dengan kenyataan bahwa NTT adalah salah satu daerah dengan kekayaan alam yang luar biasa, aset-aset wisata yang sangat banyak seperti keindahan alam serta varian kultural yang sangat unik dan eksotis. Dengan modal tersebut, NTT menjadi semakin dikenal di seluruh Indonesia bahkan dalam dunia internasional. Namun, kembali kepada persoalan utama bahwa meskipun demikian, NTT tetap saja ketinggalan dari berbagai segi kehidupan dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya. NTT tetap menjadi sebuah daerah yang memiliki kualitas pembangunan paling buruk di Indonesia.

Tentu sampai di titik ini, kita pasti bertanya, apa sebabnya yang menjadi faktor utama keterbelakangan daerah NTT di tengah melimpahnya berbagai modal alam serta kultural di dalamnya. Bagi penulis, alasan utama munculnya paradoks tersebut adalah terletak pada politisi-politisi di NTT yang tidak mampu mengolah dan menata kehidupan daerah NTT dengan baik. Banyak politisi di NTT secara khusus eksekutif –pemerintah daerah – tidak memiliki keahlian dalam menata dan mengolah kehidupan bersama secara visioner dan revolusioner. Oleh karena itu, sangat penting beberapa hal berikut untuk dijadikan bahan refleksi bagi para politisi di NTT saat ini.

Perlu Saintifikasi Politik

Politisi-politisi di NTT secara khusus pihak eksekutif – pemerintah – tidak punya visi dan missi yang jelas terkait dengan kehidupan daerah ini. Mereka tidak memiliki orientasi yang jelas akan arah kehidupan daerahnya. Banyak politisi di NTT yang mengalami penyakit ‘miopia waktu’, dalam arti tidak mampu memandang  masa depan akan kehidupan daerah NTT. Mereka hanya sibuk mengurusi kepentingan-kepentingan politik sesaat. Para politisi di NTT cendrung memaknai politik secara reduksionis, meminjam ungkapan Machiavelli hanya sekedar ‘soal pertarungan kekuasaan’. Kebanyakan politisi di NTT telah membabakbelurkan makna politik sesungguhnya sebagai sebuah seni untuk menata dan mengolah kehidupan bersama untuk mencapai cita-cita kehidupan bersama –bonum commune. Reduksifikasi makna politik itu memungkinkan terjadinya ‘kedangkalan’ terhadap praktik-praktik politik yang sebenarnya menuntut saintifikasi politik yang mengendepankan rasionalitas, keilmiahan, serta kedalaman, dan hal itu jelas tidak pernah ditunjukkan oleh para aktor politik di NTT.  Masalah besar tersebut tentu merupakan salah satu bentuk neurosis yang mengindikasikan terhambatnya demokratisasi di NTT.

Bagi penulis, penyebab utama munculnya praktik reduksifikasi politik di NTT ini pertama-tama soal kurangnya wawasan visioner dan revolusioner dari para politisi yang menyebabkan mereka terperangkap dalam mental pragmatistik. Hal itu dipengaruhi oleh latarbelakang pendidikan para politisi tersebut yang ‘kurang layak’ ditambah minimnya interaksi antara para politikus dengan para ahli dalam membaca dan menganalisis persoalan yang ada di NTT. Banyak politisi di NTT yang tidak mempunyai pengetahuan yang baik serta tidak memiliki kemauan untuk belajar dan meminta pendapat dari para ahli terkait dengan berbagai persoalan yang terjadi di NTT.

Berbagai persolan di NTT s’at ini ada dan tak terpecahkan, itu karena para politisi di NTT tidak memiliki kemampuan untuk membaca masalah dan kebutuhan masyarakat serta tidak memiliki pengetahuan untuk memecahkan berbagai masalah tersebut. Pada akhirnya, NTT tidak pernah berkembang dan kelihatan tidak memiliki ‘gairah’ menuju kemajuan apalagi bersaing dengan berbagai provinsi lainnya di seluruh Indonesia.

Para politisi sudah seharusnya berinteraksi dan belajar untuk mendengarkan suara para ahli dalam tindakan mengambil keputusan. Hal ini akan membantu dan memudahkan mereka untuk dapat mengetahuai persoalan daerahnya sehingga kemudian memiliki langkah strategis yang tepat dan baik dalam mengambil kebijakan untuk membangun kehidupan daerah NTT menuju kepada kemajuan.

Kuatnya Defensifitas Dunia Politik

Saintifikasi politik tersebut tentu tidak dapat tidak tanpa terlebih dahulu adanya keterbukaan dunia politik terhadap suara-suara kritis dari ruang publik. Masalah besar di NTT adalah dunia politik dalam hal ini secara khusus pemerintah daerah masih memiliki sikap tertutup terhadap berbagai suara kritis dari ruang publik. Pemerintah daerah sepertinya sengaja membentengi diri terhadap berbagai aspirasi kritis dari ruang publik serta bersikap acuh tak acuh terhadap suara-suara tersebut.

Hal ini kemudian berimplikasi pada segala kebijakan yang dikeluarkannya yang tidak mendapat legitimasi dari masyarakat bahkan sangat menentang atau kontra dengan kesejahteraan masyarakat itu. Contoh dari persoalan ini adalah kasus privatisasi pantai Pede di Labuan Bajo, Manggarai Barat. Persoalan privatisasi Pantai Pede ini masih merupakan hal kontroversial sebab pemerintah daerah NTT –Frans Lebu Raya – mengambil keputusan sepihak terhadap kebijakan pengelolahan pantai tersebut. Hal ini tentu pertama-tama merupakan sebuah skandal terhadap nilai demokrasi yang seharusnya melibatkan masyarakat dengan berdeliberasi dalam setiap tindakan pengambilan keputusan bersama.

Banyak aksi protes yang telah dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat sebagai bentuk perlawan terhadap kebijakan parsial dan sewenang-wenang dari pemerintah daerah NTT soal privatisasi Pantai Pede, namun mereka tetap bersikap keras terhadap keputusannya untuk mengolah pantai ini secara privat. Hal ini berarti bahwa pemerintah NTT telah bersikap acuh tak acuh bahkan bersifat diktatoris terhadap suara-suara masyarakat yang sebenarnya merupakan subjek dari demokrasi itu.

Pemerintah daerah tidak boleh menutup bahkan membentengi diri terhadap suara-suara kritis dari luar dan mesti melibatkan masyarakat dalam setiap tindakan pengabilan keputusan bersama, sehingga kebijakan yang dihasilkan itu betul-betul demokratis dan inklusif terhadap berbagai kepentingan masyarakat. Itulah esensi dari demokrasi!

Memaksimalkan Peran Ruang Publik

Masalah utama sebagai salah satu faktor penghambat demokratisasi di NTT adalah kurangnya kondusifitas ruang publik, dalam arti bahwa peran ruang publik belum terlalu maksimal dalam usaha demokratisasi. Hal ini disebabkan oleh status independesi ruang publik itu masih belum kuat. Banyak manifestasi dari ruang publik seperti media massa masih berparasit pada kepentingan golongan tertentu. Ruang publik sepertinya tidak berjalan seperti dalam gambaran ideal Jurgen Habermas –seorang pemikir kritis dari Mazhab Frankfurt – yang bebas dari intervensi apapun. Media-media massa di NTT saat ini kebanyakan dipolitisasi dan didikte oleh kepentingan kelompok tertentu untuk tujuan-tujuan kelompoknya. Sebagai akibatnya, peran mereka tidak berjalan maksimal dalam mengritisi, mengontrol, serta mengarahkan kehidupan bersama demi terwujudnya kebaikan dan keadilan sosial.

Selain itu, ruang publik belum sepenuhnya terwujud untuk menjamin setiap orang  agar dapat beraspirasi secara argumentatif di dalamnya. Banyak kasus di NTT yang menampilkan ketidakmauan pemerintah terhadap terbangunnya ruang publik bagi masyarakat. Masyarakat sering tidak dibiarkan untuk beraspirasi dan mengritisi pemerintah bahkan mereka ketika hendak beraspirasi sering mendapat berbagai macam ancaman intimidatif dari aparatur negara.

Demokratisasi mengimplikasikan peran seluruh lapisan masyarakat dalam setiap tindakan mengambil keputusan untuk mewujudkan kepetingan bersama. Masyarakat merupakan tujuan sekaligus penggerak demokrasi itu. Dengan kata lain, masyarakat merupakan ruh  dari demokrasi tersebut. Oleh karena itu, masyarakat mesti diberi kesempatan maksimal dan penuh untuk turut terlibat dalam mengambil setiap tindakan untuk pencapaian keadilan dan kesejahteraan bersama – bonum commune.

Setiap masyarakat mesti diberi ruang untuk dapat menyampaikan seluruh aspirasinya bagi kehidupan bersama. Hal itu terwujud melalui peran ruang publik sebagai lokus interaksi yang mempertemukan berbagai aspirasi masyarakat tersebut. Ruang publik merupakan tempat di mana setiap orang dapat mengaksesnya dan berdiri bersama untuk mendiskusikan berbagai masalah bersama dan kemudian secara bersama-sama berusaha memecahkan berbagai persoalan yang ada dengan argumentasi rasional yang menghasilkan nilai-nilai inklusif terhadap seluruh kepentingan masyarakat.

Yones Hambur  adalah  Mahasiswa STF DRIYARKARA-JAKARTA

spot_img

Artikel Terkini