Waspadai Ijon Politik Pertambangan pada Pemilukada Lembata 2017

Oleh: Melky Nahar & Umbu Tamu Ridi


Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Serentak pada Februari 2017 tidak akan menyelesaikan persoalan masyarakat di daerah tambang. Pemilukada ini tidak lebih dari sekadar ajang merebut kuasa dan jabatan bagi segelintir elit dan politisi untuk terus mengakumulasi kapital keuangan bagi diri sendiri, kelompok mereka dan partai politik. Lebih dari itu, pesta lima tahunan ini juga momentum bagi para pebisnis berbasis lahan skala besar yang sedang mencari jaminan politik dalam melanggengkan usaha mereka di daerah tambang.

Laporan dari Direktorat Penelitian dan Pengembangan Komisi Pemberantasan Korupsi (Litbang KPK) berjudul, “Studi Potensi Benturan Kepentingan Dalam Pendanaan Pilkada 2015”, memaparkan, biaya yang dibutuhkan untuk menjadi Walikota/Bupati mencapai Rp 20 miliar hingga Rp 30 miliar, sedangkan untuk menjadi Gubernur bisa mencapai Rp 20 miliar hingga Rp 100 miliar. Selanjutnya, Laporan Harta dan Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), menunjukkan total harta kekayaan calon Kepala Daerah pada 2015 rata-rata hanya mencapai Rp 6,7 miliar.

Kekayaan para calon kepala daerah ternyata tidak sebanding dengan kebutuhan biaya yang sangat besar yang dibutuhkan untuk mengikuti kontestasi Pemilukada langsung. Sehingga untuk menutupi kebutuhan biaya tersebut para kandidat giat mencari sponsor. Para pebisnis melihat persoalan di atas sebagai salah satu celah untuk mendapatkan jaminan kenyamanan dan keberlangsungan investasi mereka. Salah satu pendekatan yang sudah menjadi pengetahuan umum adalah dengan menunggangi dan mengendalikan para kandidat melalui pembiayaan pencalonan dan kampanye sebagai praktik ijon politik. Maka investasi berbasis lahan skala besar adalah bentuk hubungan saling menguntungkan antara pelaku bisnis dan politisi. Modal finansial untuk kebutuhan politik Pemilukada ditebus dengan jaminan politik untuk pemberian ataupun pengamanan konsesi perizinan.

Kabupaten Lembata sebagai salah satu daerah yang menyelenggarakan Pemilukada Serentak 2017, pun taklepas dari persoalan di atas. Potensi tambang Lembata yang tersebar di hampir seluruh wilayah menjadi incaran para korporasi tambang. Hal ini diperparah dengan trackrecord dan visi-misi para kontestan yang bertarung nyaris tidak menyentuh persoalan riil masyarakat, seperti ancaman industri ekstraktif terhadap ruanh hidup dan alat produksi masyarakat.

Padahal, sebanyak 93% wilayah Lembata merupakan kawasan budidaya pertanian, dan 90% masyarakatnya bekerja sebagai petani. Bahkan sebanyak 40, 41% pendapatan Kabupaten Lembata disumbangkan oleh pertanian, sementara tambang hanya 0,49%. Lebih dari itu, Lembata juga merupakan daerah dengan jalur vulkanik dan gempa.

Potensi ancaman seperti daya rusak tambang dipastikan akan menghebat pasca Pemilukada Serentak 2017, mengingat investasi berbasis lahan skala besar ini terdapat kecenderungan peningkatan jumlah perizinan di tahun menjelang, saat berlangsung dan selepas Pemilukada.

Contoh nyata atas kecederungan peningkatan izin tambang ini adalah Kabupaten Belu. Kabupaten yang berbatasan langsung dengan Timor Leste ini, tercatat penerbitan 54 IUP baru pada 2010, satu tahun setelah pelaksanaan Pemilukada 2009. Padahal, Kabupaten Belu pada tahun sebelumnya hanya menerbitkan tujuh IUP saja. Kecenderungan tersebut juga terjadi di Kabupaten Timor Tengah Utara, dimana satu tahun setelah Pemilukada 2010 lalu, jumlah izin tambang baru yang diterbitkan sebanyak 22 IUP. Padahal, satu tahun sebelum Pemilukada (2009), kabupaten ini hanya memiliki 15 IUP. Kecenderungan lain juga terjadi di Kabupaten Manggarai, Kabupaten Kupang, dan beberapa wilayah lainnya di NTT. Temuan ini bukan karena kebetulan, tetapi menunjukkan bahwa ijon politik sangat kental dalam proses Pemilukada.

Parahnya, Pemilukada Serentak dengan biaya yang demikian besar cenderung keluar dengan pesan-pesan kampanye yang tidak menggambarkan kekhasan daerah, baik dari segi potensi maupun permasalahannya. Sekiranya diamati dari satu daerah ke daerah lain, termasuk Lembata yang menyelenggarakan pemilukada serentak, kemungkinan besar akan ditemukan pesan-pesan kampanye yang hampir sama, hanya berbeda wajah para kandidat pada poster dan baliho kampanye.

Sementara beragam krisis yang dirasakan masyarakat tidak muncul dalam pesan-pesan kampanye. Prosedur demokrasi yang berlangsung masih terputus dari harapan rakyat untuk terbebas dari krisis, yang ada hanya menjembatani kepentingan politisi dan pelaku bisnis melalui ijon politik. Tak heran jika para pemenang Pemilukada memiliki tanggungjawab yang lebih berat pada pemodal sebagai penyokong dana ketimbang rakyat pemberi suara. Akibatnya, selepas Pemilukada, muncul bagi-bagi konsesi lahan untuk kepentingan investasi berbasis lahan dan air.

Kondisi ini, selain akan mempersempit ruang hidup juga akan berimplikasi pada terancamnya tradisi dan kearifan lokal masyarakat.  Di Kabupaten Lembata yang terkenal dengan tradisi penangkapan ikan paus, delapan dari sembilan kecamatan di wilayahnya terancam ditambang. Ancaman ini tentu saja mempertaruhkan masa depan masyarakat Lembata yang 90 persen bergantung pada pertanian dan hasil laut.

Para pemimpin daerah yang lahir dari banyak Pemilukada tersebut makin jelas tidak memperjuangkan agenda krisis yang dialami masyarakat. Sebaliknya mereka justru memperjuangkan keamanan investasi dari pemilik modal, sponsor mereka.

Sebagian besar pesan-pesan kampanye dalam Pemilukada disusun dengan mengacu pada identifikasi masalah yang generik dan tidak mencerminkan realitas krisis yang terjadi di wilayah yang bersangkutan. Identifikasi masalah yang generik mencakup rendahnya sumber daya manusia, pengangguran, kemiskinan, kurangnya infrastruktur, dan kesehatan. Sementara, potret krisis yang sudah diuraikan di atas masih belum digunakan dalam penyusunan pesan-pesan kampanye, termasuk visi dan misi calon kepala daerah yang akan menjadi ruh penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) ke depan jika mereka terpilih. Pemilukada Serentak di wilayah lingkar tambang tidak lebih dari upaya melanggengkan kekuasaan dan investasi berbasis lahan skala besar, tanpa membahas urusan keselamatan rakyat dan ruang hidupnya.

Melky Nahar adalah Kepala Kampanye JATAM Nasiona

Umbu Tamu Ridi, WALHI NTT

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Juga Artikel Lainnya

Gedung Sekolah di Manggarai Timur Rusak Diterjang Angin Saat Jam Pelajaran

Kejadian ini membuat peserta didik dan guru panik dan berhamburan ke luar kelas untuk menyelamatkan diri

Bicara Tuntutan Nakes Non-ASN, Bupati Manggarai Singgung Soal Elektabilitas, Klaim Tidak Akan Teken Perpanjangan Kontrak

Herybertus G.L. Nabit bilang “saya lagi mau menaikkan elektabilitas dengan ‘ribut-ribut.’”

Apakah Paus Fransiskus akan Kunjungi Indonesia dan Rayakan Misa di Flores?

Kendati mengakui bahwa ada rencana kunjungan paus ke Indonesia, otoritas Gereja Katolik menyebut sejumlah informasi yang kini menyebar luas tentang kunjungan itu tidak benar

Buruh Bangunan di Manggarai Kaget Tabungan Belasan Juta Raib, Diklaim BRI Cabang Ruteng Dipotong Sejuta Per Bulan untuk Asuransi

Nasabah tersebut mengaku tak menggunakan satu pun produk asuransi, sementara BRI Cabang Ruteng terus-terusan jawab “sedang diurus pusat”

Masyarakat Adat di Nagekeo Laporkan Akun Facebook yang Dinilai Hina Mereka karena Tuntut Ganti Rugi Lahan Pembangunan Waduk Lambo

Akun Facebook Beccy Azi diduga milik seorang ASN yang bekerja di lingkup Pemda Nagekeo