Ironi di Balik Nama Besar Komodo

Oleh: GREGORIUS AFIOMA

Jika Anda ke pulau Komodo, perhatikanlah ketiga tempat yang letaknya berdekatan ini: Kampung Komodo, Loh Liang, dan pantai merah atau lebih populer disebut pink Beach.  Jika di tarik garis lurus, ketiga tempat itu membentuk segitiga sama kaki. Jarak tempuh antara ketiga tempat itu hampir sama yakni sekitar 10 menitan.

Untuk mengetahui dinamika di Pulau Komodo yang sudah mendunia itu, hubungan ketiga titik tersebut menarik ditelusuri. Mengapa? Karena ketiga tempat itu paling mudah menggambarkan ketiga kepentingan yang sedang berkembang atau bahkan berkompetisi di Pulau Komodo. Kampung Komodo mewakili kepentingan penduduk lokal, Loh liang merepsentasikan kehadiran negara melalui Balai Taman Nasional Komodo (BTNK), dan Pink Beach mencerminkan perkembangan industri pariwisata.

Di area itu, pertama-tama yang menarik adalah menyaksikan lalu lintas motor laut atau kapal. Paling banyak, lalu lintas motor laut adalah menuju Loh Liang. Para wisatawan mengunjungi Komodo. Jumlah wisatawan bisa mencapai 120 per hari.  Sejak tahun 1980, di sana terdapat pos jaga BTNK dan tempat penjualan souveinir dari penduduk lokal.

Dari Loh Liang, kapal-kapal wisata lazimnya menuju pink beach. Ini salah satu spot rekreasi terbaik dalam kawasan TNK. Wisatawan biasanya berjemur di pantai merah itu. Lautnya yang bersih menjadi tempat favorit untuk snorkeling. Tak heran, di tempat itu berseliweran kapal-kapal wisata.

Lalu bagaimana dengan kampung Komodo? Sangat jarang wisatawan ke sana meskipun kampung Komodo sudah kelihatan dengan jelas dari dua titik yang lain tersebut. Hanya perahu-perahu milik warga yang bersandar di dermaga kayu. Bahkan, tak sedikit yang baru mengetahui bahwa ada kampung penduduk dalam kawasan Taman Nasional Komodo. Padalah, lampung ini sudah berpenduduk lebih dari seribu jiwa.

Dari kenyataan itu, menarik untuk menelusuri sejauh manakah gambaran penguasaan, akses, dan manfaat dari kekayaan alam Pulau Komodo itu bagi penduduk lokal? Untuk siapakah perkembangan wisata yang semakin pesat sekarang ini? Atau , apa maksud dari ungkapan Menteri pariwisata, Arief Yahya, bahwa “makin lestari, makin sejahtera” dalam kaca mata penduduk lokal?

Ini menjadi pertanyaan penting sebelum lebih jauh bertanya soal akses dan manfaat dari pariwisata dan konservasi bagi masyarakat Manggarai Barat dan Nusa Tenggara Timur pada umumnya.

Me-lokal-kan Komodo

Konservasi dan pertumbuhan industri pariwisata di Pulau Komodo sebetulnya masih menjadi tanya tanya besar bagi masyarakat lokal. Sementara pemerintah, badan-badan internasional, dan korporasi-korporasi berusaha menginternasionalisasikan Komodo dalam berbagai proyek promosi, penelitian dan publikasi dari tahun ke tahun, masyarakat penduduk Komodo sampai saat ini masih berkutat pada soal bagaimana me-lokal-kan lagi Komodo. Bersamaan dengan upaya negara terus-menerus memfasilitasi upaya menduniakan kepemilikan, akses, dan manfaat dari Komodo, penduduk lokal masih mempertanyakan bagaimana manfaat, akses, dan kepemilikan dari Komodo.

Dari sejarahnya, penduduk Kampung Komodo dan Komodo sebenarnya tak terpisahkan. Jika kini Komodo sudah tenar di mata dunia, salah satu faktor yang menyebabkannnya tak lain adalah kepercayaan dan keyakinan masyarakat Komodo.

Pemukiman di Pulau Komodo sudah mendahului kehadiran negara dan pertumbuhan industri pariwisata. Bahkan, kehadiran itu jauh sebelum terbentuknya negara kesatuan Republik Indonesia meskipun belum diteliti betul bagaimana kehadiran itu berawal mula. Saat itu, penduduk Komodo tinggal terpencar-pencar antara lain menempati daerah gunung dan pesisir.

Mereka hidup meramu dan berburu, setelahnya menetap dan berkebun. Di Loh Liang, sebelum berstatus TNK,  ada sekitar 67 keluarga yang tinggal dan berkebun di sana.

Tentu, yang lebih penting sekadar kehadiran pemukiman itu, kepercayaan masyarakat yang diteruskan melalui mitos dan sungguh diyakini masyarakat lokal. Penduduk Komodo selalu percaya bahwa Komodo dan penduduk Komodo adalah saudara. Dilahirkan dari rahim yang sama namun dengan wujud berbeda.

Karena itu, Komodo dalam bahasa Komodo disebut sebae, artinya sebelah. Dalam keseharian, keyakinan itu mendapat wujud nyata dalam kebiasaan masyarakat. Ketika sedang berburu, misalnya, sudah menjadi kebiasan untuk membunuh rusa di tempat buruan. Kepala, kulit dan organ dalam ditinggalkan untuk Komodo.

Tentu saja, jika penduduk Komodo tak menganggap Komodo sebagai saudara, sudah lama Komodo dimusnahkan. Pasalnya Komodo adalah binatang berbahaya. Hanya karena Komodo dianggap saudara oleh nenek moyang penduduk kampung Komodo maka Komodo tetap lestari sampai saat ini. Kepercayaan itu adalah bentuk konservasi ala masyarakat lokal.

Keyakinan semacam itu sempat dipersoalkan lantaran realitas penduduk Komodo adalah multietnis yang datang dari luar. Ada etnis Bajo, Sumba, Manggarai, dan Bima. Akan tetapi, alasan demikian layak disangsikan karena mereka bukan saja hadir pra-negara, tetapi juga sudah terbangun suatu entitas sosial-budaya-politik bersama dalam pulau Komodo.

Di antara etnis-etnis pendatang, mereka mengakui bahwa keturunan Si Gerong adalah keturunan terduhulu di Komodo. Masih terekam dalam ingatan banyak orang, keturunan awal penduduk Komodo bertubuh kecil, tinggi, dengan ukuran daun telinganya sangat besar. Namun Si Gerong sendiri sulit ditelusuri asal-usulnya secara lebih jauh karena ia sudah meninggal pada tahun 1970-an dan ia tidak mewariskan keturunan.

Lalu, bagaimana kebudayaan bersama itu terbangun dapat ditelusuri dalam cerita pertemuan orang Sumba dan penduduk awal di pulau Komodo.  Diceritakan, populasi penduduk Komodo tidak berkembang lantaran tidak mengenal proses persalinan. Jika ingin melahirkan, perut wanita dibelah yang menyebabkan ibu selalu meninggal. Kenyataan itu berakhir setelah orang Sumba tiba di Pulau Komodo. Mereka  memperkenalkan proses persalinan. Sebagai bentuk balas jasa, keturunan Sumba dihadiahi teritori tertentu di pulau Komodo. Relasi-relasi serupa juga terjadi dengan etnis lain yang hadir kemudian. Dari etnis Bajo, penduduk Komodo juga belajar tentang melaut dan menjadi nelayan. Sampai akhirnya, hampir semua etnis mempercayai dan sama-sama mengakui bahwa Komodo adalah saudara.

Sekarang ini, wujud etnis bersama itu terlihat dalam pemakaian bahasa Komodo. Meskipun mengetahui banyak bahasa dan berasal dari berbagai etnis, bahasa Komodo menjadi bahasa sehari-hari. Bahkan penduduk Komodo menyakini, sebagaimana Komodo yang langka dan hanya ada di Pulau Komodo, demikianpun bahasa Komodo. Hanya berlaku di Pulau Komodo.

TNK dan Proses Eksklusi

Diawali dengan penelitian demi penelitian serta berbagai publikasi, Komodo kini sudah mendunia. Digelari sebagai Komodo the dragon atau Varanus Komodoensis, kadal terbesar di dunia itu juga membangkitkan daya tarik wisata. Perkembangan-perkembangan itu tak terlepas dari dukungan keputusan-keputusan politik di Indonesia terutama penetapan menjadi Cagar Manusia dan Biosfer pada tahun 1977 dan  penetapan Taman Nasional pada 6 Maret 1980.

Menariknya, menurut penduduk Komodo, keputusan-keputusan itu masih dipertanyakan. Di satu pihak, keputusan-keputusan itu sudah berhasil mengkapitalisasi Komodo sedemikian sehingga membawa keuntungan bagi negara. Intervensi negara membuka peluang lebih luas terutama di bidang pariwisata. Di pihak lain keputusan-keputusan yang sama justru mengeksklusi masyarakat lokal. Masyarakat lokal kehilangan kepemilikan, akses, dan manfaat dari konservasi dan berkembangnya industri pariwisata.

Masyarakat menyaksikan bahwa bersamaan dengan intervensi negara melalui terbentuknya TNK, kehidupan masyarakat lokal mengalami perubahan-perubahan drastis sekaligus mengalami berbagai bentuk eksklusi. Penduduk Komodo tidak boleh menebang pohon. Mereka tidak boleh lagi berburu rusa. Dari tinggalnya tersebar-sebar, mereka ditempatkan di satu tempat. Mereka tidak boleh memiliki sertifikat tanah meskipun membayar pajak. Jumlah penduduk sekitar 1735 orang hanya menempati wilayah 7,5 ha dari luas total luas wilayah 33.300 ha.[1] Artinya, tidak sampai 5 persen dari total wilayah.

Di bawah rejim Orde Baru (1966-1997), tanah-tanah milik penduduk di Loh Liang dengan mudah diambil alih oleh pihak TNK. Namun sampai sekarang, masih bisa disaksikan bekas pagar milik pemiliknya.  Pohon angsono sejajar. Ada juga kuburan dalam kawasan Loh Liang.

Apa yang membuat perubahan begitu drastis dan mendasar adalah pemahaman konservasi. Hampir semua Taman Nasional di Indonesia menerapkan sistem Amerika (yellowstone). Konservasi diartikan sebagai upaya memisahkan Komodo dari keberadaan manusia. Keberlangsungan Komodo dipercaya hanya mungkin terjadi jika tanpa intervensi manusia. Karena manusia dipandang kompetitor yang bisa memusnahkan Komodo. Hal itu mengkhiri pandangan masyarakat tentang Komodo sebagai saudara.

Akibat dari gagasan demikian, satu-satunya yang bisa dilakukan penduduk Komodo sejak masuknya TNK adalah melaut atau nelayan. Namun kenyataan itu tidak berlangsung lama. Sepanjang tahun 2004-2012,  ketika TNK dikelolah oleh PT. Putri Naga Komodo, melaut pun tidak mudah. Atas nama konservasi, sistem zonasi mulai diterapkan yang membuat kesulitan menangkap ikan. Di lokasi-lokasi yang seharusnya banyak ikan justru dilarang menangkap ikan. Kemudian, minimnya sosialisasi kerap membuat masyarakat melanggar aturan tanpa harus disengaja. Dari polisi hutan, polisi, dan pihak TNK mereka kerap mendapat siksaan, pukulan bahkan dijebloskan ke dalam penjara.

Aturan yang mengeksklusi sekaligus memiskinan itu sangat menarik kalau membandingkan dengan evolusi pekerjaan dari penduduk Komodo. Sekitar tahun 2000, sebagian besar penduduk Komodo bekerja sebagai nelayan. Ada sekitar 67 bagang (motor laut penangkap ikan) yang beroperasi.[2]

Hanya sedikit saja yang berprofesi sebagai penjual souvenir dan penjual patung di Loh Liang. Kini  keadaannya terbalik. Kurang dari 10 bagang saja yang beroperasi menangkap ikan, sementara sebagian besar sudah menjual patung dan souvenir. Peralihan pekerjaan itu juga tidak didorong semata-mata oleh alasan bahwa menjual patung lebih menguntungkan atau tidak, tetapi juga karena  pemerintah terus-menerus memfasilitasi penduduk lokal untuk terlibat dalam pariwisata.

Meskipun pada permulaan, kenyataan tersebut sungguh menguntungkan, namun sekarang tak sedikit yang pesimis dengan masa depan pekerjaan sebagai pengrajin dan penjual kerajinan itu. Pasalnya, di tempat jual patung dan souvenir itu terdapat 150 orang yang menjual produk yang sama. Padahal tampilan tempat jual itu tidak menarik pengunjung. Persaingan pun sering terjadi. Karena itu, sering muncul kasus bahwa demi barangnya laku terjual, perahu-perahu motor orang Komodo biasanya mengejar atau menjumpai kapal wisatawan di laut.

Lalu bagaimanakah kehidupan masyarakat Komodo selanjutnya? Seberapa jauh mereka akan bertahan? Masyarakat Komodo pada umumnya masih menaruh harapan besar bahwa pariwisata memberikan manfaat lebih besar bagi masyarakat.  Tidak cukup hanya terlibat dalam penjualan souvenir dan patung. Tidak cukup hanya diberikan pelatihan-pelatihan kerajinan. Tidak cukup hanya menjadi naturalist guide di Loh Liang. Di tengah ketiadaan ruang gerak bekerja, pemerintah  semestinya mampu membuka lebih banyak alternatif di bidang pariwisata.

Akan tetapi, sejauh ini kesempatan itu rupanya masih sangat tertutup sekali. Sarana pendukung untuk terlibat dalam pariwisata masih sangat terbatas. Akses pendidikan untuk warga Komodo, misalnya, saja masih terkatung-katung. Baru-baru ini, pembangunan SMA dibatalkan lantaran, salah satunya,  mempertimbangkan kawasan konservasi. Sementara, untuk terlibat dalam usaha atau bisnis, belum maksimal karena akses terhadap modal terbatas. Karena tanah-tanah tidak berserfifikat, mereka tidak bisa melakukan akses terhadap modal di bank.

Industri Pariwisata dan Ketidakadilan Sosial

Sekali lagi, kenyataan lain dari konservasi menunjukkan bahwa TNK sudah membuka ruang pariwisata seluas-luasnya. Dari TNK, pemerintah sudah memperoleh pendapatan mencapai 18-20 milliar per tahun. Industri pariwisata tumbuh secara signifikan tiap tahun. Di Kota Labuan Bajo, sebagai pintu masuk menuju TNK, investasi tumbuh pesat. Jumlah peredaran uang sudah mencapai lebih dari 800-an milliar (bandingkan tahun 2012). Kapal-kapal wisata berkeliaran. Jumlah hotel-hotel dan restoran sudah mencapai 40-an.

Setelah peluang pariwisata dibuka melalui kehadiran BTNK, sekarang ini pemerintah secara terus-menerus mempromosikan tumbuhnya pariwisata di Pulau Komodo melalui berbagai proyek pemerintah. Pada tahun 2011, Komodo ditetapkan sebagai salah satu dari Seven Wonders of Nature. Pada tahun 2013 diselenggarakan Sail Komodo yang menggunakan dana APBN sebesar 3,7 trilliun. Even akbar lain adalah Tour de Flores yang memakan dana sekitar 32 milliar pada tahun 2016. Pada tahun ini juga, direncanakan terbentuknya Badan Otoritas Pariwisata senilai 16,4 trilliun.

Kenyataan itu tidak terlepas dari perubahan pandangan soal konservasi. Konservasi sebelumnya hanya dipandang sebagai bentuk perlindungan atas alam sehingga tidak merangsang masifnya bisnis pariwisata.

Namun, semenjak terjadi privatisasi manajemen area konservasi oleh PT. Putri Naga Komodo, konservasi diartikan “konservasi pertumbuhan”. Konservasi pertumbuhan adalah pembangunan berkelanjutan dimana alam berubah artinya. Dari “harta yang harus dirawat” menjadi “kekayaan yang menghasilkan sesuatu yang harus dirawat”.[3]

Dengan begitu, peluang wisata tidak lagi terbatas pada Komodo lagi, tetapi juga menjangkau dan mengeksploitasi wisata alam seperti diving, snorkeling, dan jelajah alam. Hal itu beralasan mengingat kekayaan bawah laut di kawasan Konservasi sangat kaya dan terpelihara. Ada sekitar 1000 jenis ikan, 260 jenis karang dan 70 jenis bunga karang (sponge) dan banyak invertebrata lain yang dapat di jumpai di banyak tempat di Taman Nasional ini.[4] Wisata bahari dalam kawasan TNK, misalnya, dinobatkan sebagai destinasi snorkeling terbaik dunia atau Worlds Best Snorkeling Destination berdasarkan survei CNN pada 2015.[5]

Dalam survei Swiss contact pada tahun 2011, urutan teratas tujuan wisatawan  ke Pulau Komodo, selain melihat Komodo adalah diving dan snorkeling. Di Labuan Bajo, sudah ada sekitar 47 dive operator dengan estimasi penerimaan minimal mencapai 30-an milliar per tahun.

Dengan investasi semakin besar dan tawaran wisata yang semakin banyak, target kunjungan wisatawan juga sudah semakin meningkat. Sepanjang periode 1970-1990-an, jumlah wisatawan berkisar 20-40 ribu pengunjung, kini keadaannya sudah meningkat pesat. Tahun 2015, tercatat jumlahnya mencapai 90 ribu wisatawan. Ditargetkan tahun 2019, yakni hanya dalam jangka waktu tiga tahun, jumlah kunjungan bisa mencapai 500 ribu kunjungan. Dengan kata lain, terjadi peningkatan sebesar lima kali lipat.

Akan tetapi, yang mengkhawatirkan, sebenarnya perkembangan fantastis itu tidak tanpa catatan miris selama ini. Bersamaan dengan pertumbuhan pariwisata yang semakin dashyat itu, eksploitasi dan pencaplokan sumber daya publik juga semakin menjadi-jadi melalui upaya privatisasi dan pencaplokan pulau-pulau, pesisir, pantai, tanah, dan air. Sebagai contoh, penjualan pulau Punggu  pernah heboh pada tahun 2011 karena terpampang nyata dalam situs www.skyproperty.com. Memang jamak bahwa di daerah destinasi pariwisata, cara-cara akumulasi modal ditempuh melalui pencaplokan penguasaan sumber daya publik. Melalui berbagai regulasi dan konspirasi dengan elite politik, investor dengan mudah mencaplok sumber daya publik tersebut.

Lalu, apa artinya pertumbuhan pariwisata begitu dasyhat bagi penduduk dalam Komodo? Bagaimana keterlibatan mereka dalam pariwisata? Keterlibatan dalam bidang pariwisata sebagai lapangan kerja masih sangat terbatas. Belum sampai 10 orang yang terlibat dalam operator wisata. Sekitar 20 orang yang terlibat sebagai naturalist guide (tenaga harian lepas). Selebihnya hanya menjadi penjual souvenir dan patung.

Keterlibatan lebih jauh memang tidak bisa diharapkan karena pariwisata dalam konteks Manggarai Barat diaplikasikan tanpa didahului perencanaan, pertimbangan-pertimbangan dan persiapan yang matang. Masyarakat secara umum belum paham bagaimana mereka seharusnya berpartisipasi dalam pariwisata dengan segala logikanya. Janji-janji pariwisata seperti ramah lingkungan, mudah menciptakan lapangan kerja, dan diversifikasi model ekonomi, diterima begitu saja sebagai sektor pendorong kemajuan ekonomi.[6] Tidak seperti kepada investor yang difasilitasi dan dirangsang oleh berbagai regulasi dari pemerintah, keterlibatan masyarakat dalam pariwisata masih bersifat optional.

Selain itu, bagi penduduk Komodo, raupan keuntungan dari bisnis pariwisata dan kehadiran konservasi yang begitu dibanggakan belum memberikan manfaat secara signifikan. Dari BTNK, penduduk kampung Komodo hanya mendapat kegiatan pelatihan-pelatihan saja. Dari alokasi anggaran, kelihatan jelas ketimpangan dan ketidakberpihakan kepada masyarakat lokal. Pada tahun 2017, misalnya, direncanakan anggaran untuk TNK sebesar 40 milliar namun hanya 1 milliar untuk kegiatan pelatihan-pelatihan. Sementara dari sektor pariwisata, terutama dari pink beach , pemerintah desa tidak bisa memungut retribusi apa-apa.

Sebenarnya, jangankan untuk penduduk Komodo, untuk Labuan Bajo saja dimana aktivitas pariwisata sudah sedemikian lebih dashyat, belum ada distribusi manfaat yang merata bagi penduduk secara umum. Dari data tahun 2012, misalnya, tercatat peredaran uang sudah mencapai lebih dari Rp 838 miliar. [7]

Namun dari jumlah itu, sebagian besar diterima oleh operator wisata dan pengusaha kapal wisata (75,55%). Sebanyak 2,09 % diterima oleh pengelolah TN. Komodo dan pemerintah daerah. Sebanyak 22, 36 % terdistribusi pada pengusaha hotel, restoran dan toko retail/ souvenir. Sementara manfaat pariwisata bagi masyarakat setempat sangat kecil karena penyerapan tenaga kerja yang terbatas sebagai akibat rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan yang dimiliki masyarakat.[8]

Bertolak dari itu, ucapan menteri pariwisata, Arief Yahya, “semakin lestari, semakin sejahtera” dalam upaya pembentukan Badan Otoritas Pariwisata jelas-jelas dipertanyakan. Sejahtera untuk siapa? Lestari untuk siapa? Setelah tiga dekade, BTNK terhitung gagal. Di satu pihak mampu memfasilitasi dan menopang berkembangnya industri pariwisata; namun di pihak lain gagal mendorong hak-hak masyarakat lokal terhadap akses ekonomi.  Karena itu, berkembangnya bisnis pariwisata bisa saja hanya mereproduksi ketimpangan-ketimpangan yang ada.

Bagi penduduk Komodo, sebelum menikmati janji-janji pembangunan pariwisata itu, mereka sudah terbiasa menyaksikan ketidakadilan. Meskipun di pintu masuk kampung tertulis “kampung ekowisata”, mereka terbiasa tidak disinggahi kapal-kapal wisata karena tak satu pun yang bisa ditawarkan jadi atraksi wisata. Pulau Komodo sebagai ikon pariwisata di Provinsi Nusa Tenggara Timur ternyata masih menyimpan banyak ironi ketimbang kebanggaan bersama.

Penulis adalah adalah alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta. Kini bekerja sebagai peneliti.

[1] Profil Desa Komodo tahun 2015

[2] Abu Bakar dan Peter J Mous, 1999, Resource Utilization in and Around Komodo National Park, Yayasan Pusaka Alam Nusantera, hlm. 7

[3] Maribeth Erb, The Dissonance of Conservation: Environmentalities and The Enviromentalism of The Poor in Eastern Indonesia, dalam THE RAFFLES BULLETIN OF ZOOLOGY 2012 Supplement No. 25: 11–23

[4] http://kupang.tribunnews.com/2016/01/03/rajaampat-dan-taman-pulau-Komodo-dinobatkan-cnn-jadi-destinasi-snorkeling-terbaik-dunia

[5]  http://kupang.tribunnews.com/2016/01/03/rajaampat-dan-taman-pulau-Komodo-dinobatkan-cnn-jadi-destinasi-snorkeling-terbaik-dunia

[6] Maribeth Erb,Sailing to Komodo: Contradictions of tourism and development in eastern Indonesia. ASEAS – Austrian Journal of South-East Asian Studies, 8(2), 143-164.

[7] http://m.tempo.co/read/news/2012/08/09/199422289/Mengapa-Jumlah-Turis-ke-Pulau-Komodo-Naik-4-Ribu

[8]  Wahyuti E., Wibowo T., dkk. 2013. Kajian Peranan Taman Nasional Komodo dalam perekonomian Kabupaten Manggarai Barat Propinsi Nusa Tenggara Timur (Studi Kasus Pengembangan Aspek Pemanfaatan Ekowisata). Labuan Bajo: Balai Taman Nasional Komodo.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini