Feminisme vs Politik

Oleh: YANDRIS TOLAN

Ideologi politik kita sering berbenturan dengan berbagai kepentingan, baik dalam ranah privat maupun publik. Pertentangan antara dua kutub kepentingan ini bisa menjadi salah satu penyebab terciptanya situasi kaos dalam tatanan sosial.

Tanpa disadari, kita semua yang bermukim di balik sistem demokrasi sedang terjerembab dalam situasi serupa. Konflik horisontal maupun vertikal rentan terjadi dalam dunia perpolitikan.

Dengan adanya konflik seperti ini, maka unsur normatif negara yang legitim sifatnya sering menjadi petaruh dalam menetralisir situasi sosio-politis. Segala bentuk relasi sosial kemudian digadai pada pola laku politis yang labil. Tak dipungkiri bahwa animo politik seperti ini lambat-laun menciptakan distorsi dalam ruang gerak publik.

Penyimpangan bisa menjadi penanda awal bagaimana ideologi politik kita mudah mengalami disorientasi. Segala bentuk norma, instruksi, dan rancangan dalam misi politis akan mangkir dalam sebuah sistem negara yang stagnan sifatnya. Bahkan psikologi politik seperti ini akan mereduksi sistem demokrasi bangsa yang sah dan integral.

Isu mengenai feminisme dan politik di daerah ini masih dominan terjadi. Dalam beragam hajatan demokrasi kita sering mendengar slogan mengenai aliran rasialisme. Satu paham yang melahirkan prasangka berdasarkan keturunan bangsa atau lebih cenderung mendewakan ras/etnis sendiri.

Aliran semacam ini pada satu sisi bisa dinilai sebagai ancaman karena mereduksi peran masyarakat saat berkiprah di dunia perpolitikan. Sementara pada sisi yang lain, aliran rasialisme bisa menciptakan konflik kepentingan di balik ideologi politik. Tidak lagi mengherankan apabila dari waktu ke waktu ketika adanya momentum demokrasi (pilkada), misalnya, selalu terjadi perbenturan politis.

Isu Suku, Agama dan Ras (SARA) selalu saja menjadi fenomena utama dalam mengejar popularitas politik. Lebih memprihatinkan lagi ketika unsur gender turut dimanipulasi ke dalam ruang gerak politik.

Penulis mengetengahkan pernyataan ini berbasiskan pada realitas yang terjadi di daerah ini. Hampir menjadi trend umum bahwa bias gender cenderung dimanipulasi dalam dunia perpolitikan. Dengan adanya polemik ini, maka bias nyata dari idelogi politik kita melahirkan apa yang dikenal publik sebagai politik dinasti atau politik yang cenderung mengadopsi satu sistem garis keturunan dalam satu sistem pemerintahan.

Feminisme dan Politik

Feminisme secara sederhana dapat dipahami sebagai satu gerakan yang datang dari kaum wanita untuk menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria. Gerakan ini sebagai bentuk representasi dari harapan kaum perempuan untuk menunjukan eksistensi mereka dalam ruang publik.

Oleh karena itu, dalam beberapa dekade terakhir kita mendengar dan menyaksikan berbagai gerakan kaum perempuan dalam menetralisir situasi peradaban bangsa. Muncul begitu banyak organisasi sosial yang dimotori oleh kaum perempuan.

Realitas ini menegaskan sebuah perubahan peradaban sosial, bahwa semua manusia siapa pun dia dan bagimana latar-belakangnya hendaknya diperlakukan secara sama di hadapan hukum bangsa ini.

Kelihatannya, prospek yang tampak di balik reputasi kaum feminis sedang dicederai bahkan dinegasikan pada seribu satu macam persoalan krusial. Kiprah dan ruang gerak kaum feminis mudah direduksi atau dibatasi pada sistem legitim negara yang lebih cenderung mendewakan reputasi kaum patriarkat. Kaum feminis masih dipandang sebelah mata atau golongan kelas dua.

Dengan adanya kenyataan semacam inilah, maka dalam strata sosial serta kehidupan budaya lokal, kita sering mendengar ungkapan berkonotasi negatif yang disematkan pada rekam-jejak kaum feminis.

Hemat penulis, label dengan konotasi negatif sebagaimana dimaksud tercipta berkat ikatan batin masyarakat lokal yang masih kuat menyanjung klan patriarkat. Ideologi yang tercipta dalam ruang lingkup budaya lokal seperti ini hendaknya sedini mungkin diubah. Hal ini mengingat peradaban dunia kita sedang mengedepankan kesetaraan gender dalam strata sosial.

Kenyataan sebagaimana yang penulis utarakan adalah salah satu gambaran kecil dari jutaan fenomena lainnya. Sekurang-kurangnya realitas ini membantu publik dalam menyikapi pelbagai situasi sosial yang masih kuat menciptakan garis pemisah antara kaum wanita dan pria dalam sistem negara kita. Kita tidak bercermin terlalu jauh untuk mengklarifikasi fenomena ini.

Penulis mengajak publik untuk bercermin di balik wajah serta peradaban politik di daerah ini. Bukan lagi hal aneh dan baru ketika kita menemukan adanya budaya yang  mendewakan kaum patriarkat dalam perhelatan politik.

Publik bisa berasumsi bahwa dunia politik adalah miliknya kaum patriarkat. Sementara kaum feminis sekadar tampil sebagai objek dari reputasi kaum patriarkat.

Namun, asumsi seperti ini kedengarannya berlebihan apabila disandingkan pada situasi politik saat ini. Situasi politik yang bebas, adil, dan jujur kini membuka ruang yang sangat signifikan untuk menampung kiprah kaum feminis. Bahkan dunia perpolitikan saat ini lebih memberi kesempatan kepada kaum feminis.

Penulis percaya bahwa peradaban baru dalam dunia perpolitikan seperti ini adalah sebuah tanda maju bahwa negara menghargai reputasi kaum feminis. Sejatinya kaum feminis yang berlaga dalam kancah perpolitikan akan lebih dalam merasakan kegetiran jiwa bangsa dengan hati ketimbang logika semata.

Oleh karena itu, dalam momentum pesta demokrasi yang berlangsung kapan dan di mana pun kaum feminis hendaknya mendapat ruang yang cukup untuk berkiprah. Andil dan rekam-jejak kaum feminis dalam dunia politik menjadi penting berhubung akhir-akhir ini wajah perpolitikan di negara ini sedang buram dan kehilangan arah karena didalangi oleh reputasi kaum patriarkat yang garang dalam petuah dan mati rasa dalam bertindak.

Seruan Moral

Ideologi politik beserta segala kompleksitasnya sudah saatnya dibenahi. Realitas sebagaimana yang penulis utarakan di atas mengindikasikan sebuah seruan moral ke ruang publik.

Sebuah seruan yang menegaskan prospek kaum feminis dalam membuktikan pengalaman eksistensialnya dalam seluruh sistem tata negara pada umumnya, dan dalam dunia politik, khususnya.

Seruan moral ini turut mengangkat reputasi kaum feminis menuju ruang gerak politik yang setara dan kolektif, bukan ruang politik yang parsial sifatnya. Penulis memberi apresiasi atas daya juang berbagai perhimpunan organisasi perempuan di negara ini yang begitu antusias untuk turut berbelarasa dalam merestorasi jiwa perpolitikan kita.

Penulis berharap agar segala bentuk prospek dan seruan moral yang termaktub dalam berbagai organisasi kaum perempuan mampu menginspirasi semua kalangan, khususnya ruang gerak kaum patriarkat di daerah ini untuk semakin menjunjung tinggi nilai kesetaraan gender. Sebab setiap warga negara baik pria maupun wanita selalu diperlakukan sama di hadapan hukum.

Semoga kaum pria semakin sadar bahwa kaum perempuan diciptakan dari tulang rusuk sang lelaki, bukan dari kakinya untuk menginjaknya, tidak dari kepala untuk menguasainya, tetapi dari sisinya, agar keduanya menjadi setara.

Penulis adalah alumnus Seminari San Dominggo Hokeng, Flores Timur

 

spot_img

Artikel Terkini