Ketika KPK Ikut Selidik Konflik Tanah di Pantai Pede-Labuan Bajo

Floresa.co – Pantai Pede yang terletak di kota Labuan Bajo Kabupaten Manggarai Barat – Flores terus menjadi buah bibir masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT). Belum selesai urusan soal rencana privatisasi, kini orang nomor satu di provinsi ini berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Rabu 5 Oktober 2016 pekan lalu, Gubernur NTT Frans Lebu Raya diperiksa selama kurang lebih 10 jam oleh KPK. Belum terang benar, apa sebabnya Lebu Raya diperiksa komisi antirasuah itu.

Kepada wartawan pasca diperiksa KPK, Lebu Raya mengatakan ia dimintai keterangan terkait kasus dugaan menerima suap yang menyeret nama Sektretaris Mahkamah Agung, Nurhadi.

Apa kaitan antara Nurhadi dengan Lebu Raya belum terang benar. KPK sendiri belum memberikan keterangan yang gamblang dengan alasan masih dalam tahap penyelidikan.

Namun, fakta yang sudah terungkap dan sudah menjadi konsumsi publik adalah Pemerintah Provinsi NTT sedang bersengketa dengan pihak swasta terkait kepemilikan tanah seluas 29.690 meter pesegi di Pantai Pede. Perkara ini memang sudah bergulir hingga ke Mahkamah Agung (MA).

Gubernur Lebu Raya kepada wartawan menyebutkan pihak swasta yang bersengketa dengan Pemprov itu  adalah Hendrik Chandra.

Perkara ini,kata dia, bermula dari kebijakan provinsi NTT tahun 2014 untuk menertibkan aset-aset daerah. Salah satu aset yang terletak di Pantai Pede Laban Bajo, menurut Lebu Raya, seperti dilaporkan antaranews.com, masih dikuasai pihak swasta yaitu oleh Hendrik Chandra.

Menurut Gubernur, Hendirik Chandra bersama dua saudaranya yaitu Hadi Chandra dan Mulyadi Chandra mendirikan hotel New Bajo Beach di atas lahan tersebut dan mengklaim tanah itu milik mereka.

Penelusuran Floresa.co, sebenarnya pemerintah Provinsi NTT sudah sejak 2009 memerintahan PT Pede Beach Permai sebagai pengelola Hotel New Bajo untuk segera angkat kaki dari Pantai Pede. Perintah itu disampaikan melalui surat tertanggal 25 Juni 2009. Surat lain kemudian menyusul pada 12 September 2011.

Namun, dalam catatan Floresa.co, seteru Pemerintah Provinsi NTT sebenarnya bukan semua Chandra bersaudara. Sebab, Hadi Chandra justru turut menggugat kakanya Hendirik Chandra bersama Pemerintah Provinsi NTT (Gubernur & Sekda) serta Bupati Manggarai Barat dalam sengketa kepmilikan lahan itu.

“Yang kita gugat itu adalah Hendrik Candra selaku ahli waris, Gubernur NTT,  Bupati Mabar, Sekda provinsi NTT,”ujar Gabriel Kou, kuasa hukum Hadi Chandra kepada Floresa.co, Juni 2016 lalu.

Gabriel mengklaim kliennya sudah memenangkan perkara ini dan sudah berkekuatan hukum tetap. “Putusannya sudah in kracht,”ujarnya.

Menurut Gabriel, awalnya kepemilikan tanah ini dulu dalam bentuk perseroan terbatas (PT) sekitar tahun 1989. PT tersebut dimiliki tiga bersaudara yaitu Hendrik Chandra, Hadi Chandra dan Mulyadi Chandra

Dalam perjalanan, kata Gabriel, PT tersebut diberi nama Pede Beach Permai. Pemegang saham mayoritas adalah Hadi Chandra yang kemudian menjadi komisaris. Sementara Hendrik Chandra menjadi Direktur.

“Setelah ada PT, mereka mendirikan hotel (Hotel New Bajo Beach-red),”ujarnya.

Namun, saat Hendrik Chandra menjadi Direktur perusahaan itu, tanah tadi diserahkan ke Pemerintah Provinsi NTT.

“Dalam pembebasan lahan, Hendrik Chandra mendapat uang dari pemerintah provinsi. Setelah ada pembebasan, pemerintah NTT langsung membuat sertifikat atas nama pemerintah provinsi dengan Nomor 1 tahun (tahun) 1994 (HPL No 1/1994-red)”,ujarnya.

Selanjutnya, setelah memiliki sertifikat pemerintah mendesak pihak Hendrik Chandra dan saudaranya segera keluar dari lokasi tersebut. Pemerintah mau kelola sendiri.

“Mendapat informasi bahwa mereka diminta keluar dari lokasi itu, Hadi Chandra (yang sekarang tinggal di Surabaya), selaku Komisaris dan pemegang saham mayoritas kaget dan melakukan gugatan.”

Pada Tahun 2014, Hadi Chandra gugat ke PT TUN untuk membatalkan sertifikat milik pemerintah Provinsi dan dikabulkan. Lalu, membatalkan sertifikat pemerintah provinsi sampai tingkat kasasi.

“Kemudian,gugat status kepemilikan tanah di Pengadilan Negeri Labuan Bajo,dengan perkara nomor 11 waktu itu tahun 2014. Di pengadilan Labuan Bajo,kami kalah (Hadi Chandra kalah). Lalu, kami lakukan upaya hukum banding (untuk-red) batal putusan pengadilan Labuan bajo.”

Selanjutnya, tahun 2015 pihak provinsi, ajukan kasasi. “Nah sekarang baru-baru ini putusan sudah in kracht dan Hadi Chandra menang. Tanahnya hampir 3 hektar, persis di samping tanah Pantai Pede,”ujar Gabriel.

Setelah Lebu Raya diperiksa KPK, Hadi Chandara melalui Gabriel Kou membantah pemeriksaan Gubernur NTT Frans Lebu Raya di KPK itu terkait sengketa tanah di Pantai Pede itu.

“Tidak ada hubungannya. Putusannya sudah in kracht. Apa kaitanya,tidak ada kerugian negara di situ, ujar Gabriel kepada Floresa.co Jumat 7 Oktober 2016.

Gabriel mengaku heran dengan pernyataan Lebu Raya kepada wartawan di KPK bahwa ia diperiksa terkait sengketa tanah provinsi dengan nomor sertifikat HPL 1.

”Pertanyaan saya apa kaitanya pemeriksaan gubernur Lebu Raya dengan sengketa lahan di pantai pede? Tidak kerugian Negara?”

Ketika ditanya saat menjalani proses kasasi di Makamah Agung, apakah dirinya mengenal Sekretaris MA, Nurhadi, Gabriel mengaku tidak kenal.

”Saya tidak kenal, kan pemerintah provinsi yang ajukan kasasi ke Mahkamah Agung,bukan kami,”ujarnya.

Gabriel menjelaskan saat ini pihak New Bajo Beach sedang melakukan proses balik nama sertifikat berdasarkan keputusan Makamah Agung . “Karena tempo hari Pemprov NTT sudah terbit sertifikat dengan nomor sertfikat 1,”ujarnaya.

Rencana Privatisasi

Tanah sengketa seluas 29.690 meter persegi ini merupakan bagian dari 61.360 meter persegi tanah yang diserahkan Pemerintah Provinsi NTT kepada PT Sarana Investama Manggabar (PT SIM) untuk dibangun hotel dan sarana wisata.

Rencana ini mendapat penolakan dari sejumlah elemen masyarakat. Bahkan terakhir Menteri Dalam Negeri meminta  agar rencana itu ditinjau kembali.

Kembali ke soal tanah 61.360 meter persegi. Tanah seluas itu, berasal dari tiga sertifikat yaitu SHP No. 10 Tahun 1985 atas nama Depparpostel seluas 17.286 meter persegi, SHP No. 11 Tahun 1986 atas nama Depparpostel seluas 14.384 meter persegi  dan SHPL No.1 Tahun 1994 atas nama Pemprov NTT seluas 29.690 meter persegi.

Dua sertifikat atas nama Depparpostel sudah diserahkan atau dihibahkan kepada Pemerintah Provisi NTT pada 22 Desember 1998.

Kepemilikan Depparpostel atas dua bidang tanah itu dimulai sejak 15 November 1984 berdasarkan Surat Pernyataan Pelepasan Hak Atas Tanah Nomor: 50/SPUMH/1984 dan Nomor: 51/SPUMH/1984.

Para pemilik tanah yang tercantum dalam surat penyerahan tanah Nomor: 50/SPUMH/1984 adalah: Fransiskus Mali, Paulus Natong dan Hendrikus Chandra.

Berdasarakan surat itu, ketiganya menyerahkan tanah masing-masing Fransiskus Mali seluas 8.171 meter persegi; Paulus Natong, seluas 3.655 meter persegi dan Hendrikus Chandra, seluas  2.558 meter persegi. Total tanah yang dilepaskan seluas 14.384 meter persegi. Tanah ini kemudian diterbitkan Sertifikat Hak Pakai Nomor 11 tahun 1986 dengan luas yang sama.

Ketiga pemilik tanah ini, sesuai surat penyerahan Nomor 51 itu mendapatkan ganti rugi masing-masing Fransiskus Mali Rp 2.451.300, Paulus Natong Rp 1.088.500 dan Hendrikus Chandra Rp 767.400. Total ganti rugi yang dibayar pemeritah sebesar Rp 4.315.200

Sedangkan para pemilik tanah dalam surat Nomor 51 adalah Hendrikus Chandra dan Abdul Salam Lambor. Total tanah yang dilepaskan  29.690 meter persegi.

Dalam suarat Nomor 51 ini, Hendrikus Chandara tercatat menyerahkan dua bidang tanahnya dengan luas masing-masing 16.062 meter persegi dan 5.397 meter persegi. Sedangkan tanah yang dilepaskan Abdul Salam Lambor seluas 7.881 meter persegi. Berdasarkan penjumlaan ketiga bidang tanah yang diserahkan ini, total luasnya 29.340 meter persegi. Tetapi dalam dokumen surat penyerahan tercatat 29.690. Kemudian dalam dalam sertifikat No 10 tahun 1985 hanya  17.286 meter persegi.

Berdasarkan surat Nomor 51 ini, total ganti rugi yang dibayar pemerintah adalah Rp 8.907.000. Rinciannya, Hendrikus Chandra Rp 4.998. 600 dan Rp 1. 610.100. Sedangkan, Abdul Salam Lambor Rp 2.298.300.

Terkait besaran ganti rugi (uang siri pinang) ini ada perbedaan antara yang tercantum dalam Surat Pernyataan Pelepasan Hak Atas Tanah Nomor: 50/SPUMH/1984 dan Nomor: 51/SPUMH/1984 tanggal 15 Nopember 1984. Dalam dua surat ini total jumlah ganti rugi adalah  Rp 13.222.200 yang terdiri dari: Rp 4.315.200 untuk penyerahan tahap pertama (Surat No 50) dan Rp 8.907.000 untuk penyerahan tahap kedua (Surat No 51).

Namun, dalam lampiran Surat Keputusan Menteri Pariwisata, Seni dan Budaya Nomor: KEP/388/M-PSB/1998 tanggal 22 Desember 1998, total besar uang ganti rugi tanah adalah Rp 12.658.000.

Soal kejanggalan luas tanah di sertifikat HP No 10/1985. Seharusnya merujuk Surat Penyerahan No 51/1984 total luasnya 29.690. Tetapi dalam sertifikat hanya  17.286 meter persegi. Anehnya, luas tanah dalam Surat Penyerahan No 51 itu sama dengan luas tanah dalam sertifikat HPL No.1/1994 yang kini sedang dalam sengketa dengan Hadi Chandra. (PTD/Floresa)

 

spot_img
spot_img

Artikel Terkini