Dugaan Korupsi Lando Noa, Kepercayaan Kepada Penegak Hukum di Titik Nadir

Floresa.co – Tidak ada tanda-tanda dalang dari kasus dugaan korupsi Lando-Noa akan terungkap. Penyidikan dugaan korupsi proyek jalan senilai hampir Rp 4 milliar itu seakan hilang kabar.

Padahal, lebih dari 20 saksi sudah dimintai keterangannya. Beberapa saksi mengungkapkan Bupati Manggarai Barat, Agustinus Ch Dula punya peran besar dalam proyek ini.

BACA: Kilas Balik Pengusutan Dugaan Korupsi Lando-Noa oleh Polres Manggarai Barat

Kabar terakhir tentang kasus ini – sejauh dipantau melalui Floresa.co –  masih seputar saling lempar tanggung jawab antara BPKP NTT dengan kepolisian. Menurut kepolisian, tindak lanjut kasus ini hanya tinggal menunggu perhitungan kerugian dari BPKP. Sementara di pihak BPKP, masih menunggu kelengkapan dokumen dari Kepolisian.

BACA JUGA: Soal Lando-Noa, BPKP NTT Dituding Masuk Angin, BPKP Pusat Belum Bersuara

Setelah bergulir selama dua tahun, kenyataan ini sudah sangat mengecewakan. Alih-alih mengetahui siapa koruptor yang sudah menyengsarakan nasib banyak orang itu, publik malah disuguhkan perdebatan yang tidak berbobot antara kedua lembaga negara.

Hanya bertele-tele pada persoalan sepele yakni soal komunikasi lintas lembaga untuk mempercepat proses pengungkapakan kasus korupsi tersebut.

Itu pun persoalan tersebut terungkap saat di-follow up oleh media. Bayangkan jika tidak dipertanyakan lebih lanjut, entah apa jadinya kasus ini. Mungkin, seperti nasib kasus korupsi-korupsi lain, didiamkan begitu saja, lalu menghilang tak berbekas.

Melampaui perdebatan itu, gambaran kenyataan itu menceminkan sekaligus banyak menegaskan kenyataan penegakkan hukum di negeri ini. Di antaranya, yang paling normatif disebut-sebut, yakni tidak ada itikad baik dalam pemberantasan korupsi.

BACA JUGA: Lando-Noa di Antara Korupsi yang Lain

Sementara alasan lain yang tak kalah menyakinkan, kasus korupsi kemungkinan menjadi lahan basah bagi lembaga-lembaga penegak hukum. Para koruptor demi melepaskan diri dari jeratan hukum, mengadakan kongkalingkong di “ruang gelap” dengan “oknum” aparat penegak hukum.

Tak ayal lagi, lembaga penegak hukum pun mendapat citra negatif di mata publik. Dari berbagai survei, lembaga penegak hukum di negeri ini masih rentan terhadap praktik suap. Pasal-pasal hukum dengan mudahnya diperjualbelikan.

BACA: Polda NTT Bantah Pernyataan Kepala BPKP NTT Terkait Lando-Noa

Hasil survei Populi Center tahun 2015 menunjukkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat dan Kepolisian  dianggap masyarakat sebagai lembaga terkorup di Indonesia. Survei dilakukan secara nasional di 34 provinsi di Indonesia melalui wawancara tatap muka dengan 1.200 responden yang dipilih dengan metode acak bertingkat (multistage random sampling) dengan margin of error ± 2.98 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Di Manggarai Raya, sudah ada beberapa kasus korupsi serupa. Polanya hampir sama. Dienduskan ke publik dan lalu menghilang tanpa jejak. Sebagai contoh, di Manggarai Timur dugaan korupsi senilai Rp 21 milliar cukup menggemparkan publik pada tahun 2012.

Sementara kasusnya tak kunjung menemukan hasil akhir, masyarakat disugugi  fakta lain yang mencengangkan. Polisi menerima hibah mobil pajero sport dari Pemda Manggarai Timur.

Dalih boleh berkembang macam-macam terkait itu. Namun siapa sangka lembaga yang semestinya vertikal tersebut mendapat hibah mobil dari pemda. Sudah pasti, integritas lembaga penegak tersebut layak dipertanyakan dan dicurigai.

BACA: Seriuskah Polisi Mengusut Dugaan Korupsi Lando-Noa?

Dan tentu saja, tidak ada yang lebih mengkhawatirkan daripada korupsi yang bersarang di lembaga penegak hukum tersebut. Sebab daya rusak dari korupsi menjadi berlipat ganda. Tanpa diawasi dan diadili, perilaku korup lantas terus berurat akar dan tumbuh subur dalam lingkungan pemerintahan.

Kita sendiri sudah alami sendiri bagaimana buruknya akibat korupsi. Infrastruktur jalan dan jembatan rusak parah. Terjadi krisis air bersih yang tak kunjung usai. Pelayanan kesehatan yang tidak memadai. Lapangan kerja yang tidak cukup dan lain sebagainya.

Untuk Indonesia secara umum, efek domino korupsi sungguh terasa. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi masih bergantung kepada investasi pemerintah yakni sebesar 39 persen. Jika proyek-proyek investasi itu ditilap, tentu saja menghambat pertumbuhan ekonomi dan lebih lanjut menghambat peluang-peluang lebih luas dalam segala bidang kehidupan.

Di tengah krisis langkah penegakkan hukum tersebut, ironi lain kita temukan dalam lingkungan pemerintah. Selalu saja ada alasan-alasan yang selalu direproduksi untuk menjelaskan kenyataan tersebut.

Melihat jalan provinsi yang rusak di Manggarai Timur baru-baru ini, gubernur NTT, Frans Lebu Raya, misalnya, mengeluhkan soal jumlah APBD yang tidak cukup. Dia tidak pernah mempersoalkan budaya korupsi di lingkungan pemerintah sebagai sebabnya.

Soal krisis air di Manggarai Barat, beberapa waktu lalu Bupati Manggarai Barat mengeluhkan soal biaya operasional pengelolahan air yang mahal. Sedikitpun, ia tidak pernah menyinggung fakta-fakta korupsi pengelolahan air bersih di kabupaten Manggarai Barat sebagai alasannya.

Dalam Sail Komodo tahun 2013, misalnya, dugaan korupsi proyek pengadaan air bersih tercatat mencapai Rp 30-an milliar.

Jelas, kealpaan langkah penegakkan hukum membuat masalah korupsi menjadi serba gampang. Korupsi menjadi lumrah dan tidak dipandang sebagai akar persoalan. Alasannya, tidak lain karena semua bisa diatur dengan mudah melalui konspirasi level elite.

Meski demikian, seperti kata pepatah bahwa kejahatan tidak semata-mata karena niat tetapi juga karena kesempatan. Tidak ada faktor tunggal di balik membudayanya korupsi. Selain karena lemahnya integritas lembaga penegak hukum, bisa juga ditengarai oleh minimnya partisipasi masyarakat dalam urusan politik.

BACA JUGA: Kadis PU Mabar di Kantor BPKP: Datang Lupa Isi Buku Tamu, Pulang Gemetar

Politik seringkali diartikan sebatas keterlibatan dalam pilkada. Sementara jalannya roda pemerintahan dan langkah penegakkan hukum masih jauh dari pengawasan.

Kehadiran media-media kritis belum cukup berandil. Demikian juga, berbagai elemen masyarakat sipil belum mampu mendorong tumbuhnya keadailan. Tidak heran, kepolisian terkesan “sesuka hati” menangani kasus korupsi.

Dalam kasus korupsi Lando Noa, satu catatan yang pasti bahwa harapan kepada lembaga kepolisian sudah di ambang batas.

Jika untuk satu kasus saja dibutuhkan waktu bertahun-tahun, kita tidak punya alasan lagi untuk mempercayai kepolisian untuk menumbuhkan rasa adil. (Gregorius Afioma/PTD/Floresa)

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini