Meningkatkan Olahraga di NTT, Roman Lendong: Pemerintah Harus Punya Visi

Jakarta, Floresa.co – Roman Ndau Lendong, Wakil Ketua II Divisi Media dan Hubungan Masyarakat (Humas) Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) mengatakan pentinganya peran pemerintah di Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam mengembangkan olahraga di Provinsi tersebut.

Hal itu ditegaskan Roman kepada Floresa.co di sela-sela kegiatan pembekalan wartawan olahraga menjelang Pekan Olahraga Nasional (PON) XIX di Jawa Barat (Jabar) pada bulan Oktober 2016 mendatang yang diadakan di Kantor PP PON Kemenpora di, Cibubur, Jakarta Timur Selasa, 31 Agustus 2016 lalu.

Menurut Roman, tertinggalnya olahraga NTT dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia disebabkan karena pemerintah tidak memiliki visi tentang olahraga.

“Kalau pemimpinnya punya visi olahraga, dia akan menggunakan olahraga sebagai motor dalam menggerakan masyarkat”, tuturnya.

Selain itu, putra asli Wukir, Elar Selatan, Matim itu juga menegaskan bahwa secara sosial budaya, olahraga bisa mengurangi masalah sosial. Aksi balap liar di jalanan, demikian ia mengambil contoh, terjadi karena pelakunya tidak diakomodasi untuk bisa mendapatkan fasilitas balapan.

“Jadi, kalau kita lihat secara sosial budaya, olahraga bisa menekan kriminalitas. Balap liar itu terjadi karena mereka tidak memliki fasilitas”.

“Atau narkoba karena orang yang sepi hati. Tapi kalau olaraga dia punya kawan dan teman. Jadi, kita terlalu banyak ruang kosong dalam diri dan kemudian kalau tidak diantisipasi, orang kemudian lari ke hal-hal negatif”, tutur kader muda Partai Golongan Karya tersebut.

Dilema Lingkaran Setan Kemiskinan

Dalam konteks NTT, mengembangkan potensi olahraga menjadi sesuat yang dilematis ketika berhadapan dengan kemiskinan, pengangguran, pernikahan dini, dan berbagai persoalan yang mililit masyarakat.

Maka, pemerintah dan masyarakat cenderung menomorduakan dan mengabaikan olahraga.

Namun, Roman berpendapat kemiskinan tidak akan menjadi alasan untuk mengabaikan olahraga. Sebaliknya, menjadi salah satu jalan mengentaskan kemiskinan.

Secara medis pun olahraga menjadi sumber kesehatan dan merupakan kebutuhan.

“Kita hanya sampai pada hiburan, belum sampai pada kebutuhan. Dan kebutuhan dasar itu kebugaran dan kebugaran itu selalu berkaitan dengan kecerdasan, kesehatan sosial”

“Selain itu, persoalan olahraga di kita itu kan, tidak diitegrasikan dengan nilai-nilai. Jadi, orang berolahraga itu sangat berkaitan dengan kesehatan, kebudayaan” tutupnya, lanjutnya.

Ia pun membandingkan NTT dengan negara Jamaika, salah atu negara di Benua Afrika dimana selalu berhasil mencetak atlet lari kelas dunia. NTT, klaimnya kondisi geografisnya tidak beda jauh dengan negara Jamaika yang keras dan panas.

Bedanya, klaim Roman, masyarakat Jamaika memanfaatkan kesulitan itu untuk berprestasi dan telah berhasil melahirkan pelari kelas dunia seperti Usain Bolt dan lainnya.

“Kalau kita melihat NTT, alamnya keras, tidak beda dengan negara Afrika. Tetapi mereka memanfaatkan kesulitan itu untuk berprestasi”.

“Mengapa Usain bolt dan kawan-kawan itu berprestasi. Itu karena kultur mereka. Mereka itu kan berangkata dari kondisi perbudakan tinggi. Jadi, untuk bebas dari perbudakan itu, jadi dia lari. Kemudian, hanya mereka yang tangguh itu yang lolos”, tuturnya.

Lebih dari itu, di Jamaika, jelasnya, campur tangan pemerintah juga menjadi faktor penentu. Berbagai kompetisi selalu diselenggarakan setiap tahun. Dari kelas junior sampai senior.

Maka, tidak salah kalau mereka bisa mencuri panggung dunia. Bahkan, dari jumlah penduduk yang hanya berjumlah 2,7juta jiwa, mereka berada di nomor 12 dunia dalam olahraga.

“Secara teknis memang mereka melihat bahwa bangsa itu tidak ada jalan lain untuk dikenal dunia selain dengan jalan olahraga”.

Selain kemiskinan, perkawinan dini, pengangguran dan TKI juga menjadi masalah yang lekat dengan NTT. Soal pengangguran, menurut Roman, olahraga bisa menjadi salah satu jalan untuk memcahkan persoalan itu.

Pembangunan fasilitas olahrga misalnya, bila dilakukan di setiap desa di seluruh NTT akan menyerap tenaga kerja.

“Maka, seharusnya, fasilitas olahraga itu harus dibuka banyak. Ada pun di kampung-kampung itu di Kabupaten Manggarai misalnya, orang ramai-ramai rebut lapangan untuk jadi tanah pribadi. Apa salahnya kalau pemerintah membeli lahan tersebut untuk dijadikan tempat umum”.

“Sebenarnya itu kembali kepada pemerintah. Karena teorinya, bumi air dan segala kekayaan alam di kuasai negara”, lanjutnya.

Begitupun dengan pernikahan dini. Bisa saja diatasi kalau kegiatan olahraga terus digalakkan.

“Jadi, untuk memperpanjang usia perkawinan, olahraga sangat diperlukan. Karena dengan berolahraga, ia bisa menyalurkan energinya dengan baik. Energi dalam tubuh itu harus keluar. Kalau dia olahraga itu, penyaluran ke sana dia ngantuk dan cepat tidakur. Kalau tidak, mati, tuturnya.

Alumnus Seminari Pius XII Kisol ini juga mengumbar seandainya suatu saat bisa menjadi bupati di daerahnya di Matim, secara khusus ia akan memperhatikan olahraga di Kabupatennya tersebut.

Janji tersebut berangkat dari keprihatinannya akan pemimpin di Matim yang menurutnya tidak mempunyai visi pembangunan.

“Kekurangan-kekurangan mereka (bupati) membuat kita terinspirasi. Jujur saja, kalau saya bisa menjadi bupati, pasti akses ke olahraga kita besar. KONI dan Mepora ini satu kamar, satu rumah. Di menpora itu, dana banyak. Di matim, kita bisa bangun lapangan voley, basket, bola kaki. Karena di KONI itu ada obsesi supaya ada daerah menjadi percontohan pengembangan olabhraga yang baik di Indonesia”, jelasnya.

Hambatannya kepala daerah yang tidak punya visi olahraga. Selain itu, faktor bahwa dana-dana untuk olahraga gampang dikontrol.

“Jadi, olahraga ini, secara ilmu korupsi kecil, karena memang terlalu gampang orang kontrol”, tutupnya. (Ario Jempau/ ARJ/Floresa)

 

spot_img

Artikel Terkini