Ada Apa di Balik Pemberhentian Hila Jonta?

Floresa.co – Baru enam bulan usai dilantik, Bupati Manggarai, Deno Kamelus memberhentikan sementara Hilarius Jonta, Kepala Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (PPTSP) pada pertengahan bulan ini.

Hila menerima Surat Keputusan pembebastugasan itu pada 11 Agustus 2016.

Menurut Deno, putusan itu mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 53 Tahun 2010 tentang Disipilin Pegawai Negeri Sipil (PNS), di mana Hila disebut melanggar “kebijakan strategis terkait pembangunan tower telekomunikasi di beberapa wilayah di Manggarai.”

Pemberhentian sementara ini, kata dia, dilakukan agar pemeriksaan bisa objektif dan berjalan lancar.

Menurut Deno, pembangunan tower telkomunikasi  tidak dilarang. Tetapi, kata dia, kebijakan bupati era kepemimpinan bupati Christian Rotok (2010-2015), disarankan agar pembangunan tower harus menyebar ke pelosok desa, hal yang kemudian ia anggap bertentangan dengan langkah Hila terkait pembangunan tower di dalam kota Ruteng.

BACA JUGA: Bupati Deno Copot Hila Jonta dari Kepala PPTSP Kabupaten Manggarai

“Dulu, bupati izinkan pembangunan tower telekomunikasi hanya pada tempat yang kurang sinyal, dengan tujuan pemerataan akses informasi. Akan tetapi periode Oktober 2015 sampai Januari 2016, ada 11 tower yang dibangun dalam kota Ruteng, sehingga ini dinilai melanggar kebijakan strategis,” ujar Deno kepada media di Ruteng, Senin, 22 Agustus.

“Keputusan yang Tergesa-gesa”

Namun, benarkah tudingan Deno terkait pelanggaran disiplin dan penyalahgunaan wewenang itu?

Kepada Floresa.co, Rabu malam, 24 Agustus, Hila menampik dan menyebut, langkah yang diambil Deno “tergesa-gesa.”

“Tindakan itu tidak melalui sebuah proses. Saya juga tidak telaah betul PP 53, tapi mestinya ada tahapan-tahapan,” katanya. “Saya tidak pernah diundang atau dipanggil oleh bupati.”

Ia menjelaskan, selama ini dirinya memang pernah diperiksa oleh sebuah tim khusus terkait masalah pembangunan  tower, di mana dalam pemeriksaan ia diduga melakukan pelanggaran dispilin dan salah menggunakan wewenang, sebagaimana klaim Deno,

Terkait hal ini, Hila menjelaskan, dirinya memang tidak membantah bahwa pada 2013, Pemkab Manggarai mengeluarkan larangan yang ditandatangani Deno yang kala itu masih menjabat sebagai Wakil Bupati untuk tidak boleh membangun tower di kota Ruteng sebelum dibangun di daerah Cibal Barat Reok Barat.

Dalam perjalanan waktu, kata dia, mereka dari kantor PPTSP mengupayakan supaya permintaan itu bisa dijawab oleh Telkomsel, pihak yang hendak membangun tower.

“Karena itu awal Maret 2015, kami datangkan orang Telkomsel ke Ruteng dan kami bersama mereka melakukan survei ke Reok Barat dan Cibal Barat,” katanya.

Hasil survei, kala itu, kata dia, dilaporkan kepada Bupati Rotok. Dan, atas perintah Rotok, Hila menemui pihak Telkomsel di Denpasar, menyampaikan secara resmi hasil survei itu.

“Jawab mereka saat itu, ‘Pa Hila kami akan perhatikan.’ Mereka apresiasi karena bupati proaktif,” katanya.

Setelah kembali ke Ruteng, kata dia, tanpa sepengetahuannya, pihak Telkomsel dari Denpasar diam-diam ke Manggarai dan melakukan survei ulang ke lokasi.

Dan, setelahnya mereka memenemui Hila.

“Hasilnya, menurut mereka, tower tidak bisa dibangun Cibal Barat dan Reok Barat. Perkuatkan Ruteng terlebih Ruteng,” katanya.

“Memang, waktu itu sinyal Ruteng kacau. Mereka bilang, bukan kami yang tentukan, tapi titik-titik untuk pembanguan towernya dari Jakarta yang tentukan,” katanya.

Saat itu, kata Hila, ia memberitahu pihak Telkomsel bahwa ada larangan dari Pemkab Manggarai untuk membangun tower di Ruteng, sebelum dibangun di Cibal Barat dan Reok Barat.

Mendengar hal itu, kata dia, mereka menemui Pejabat Sementara Bupati Manggarai, Marius Ardu Jelamun, yang menggantikan Rotok selama proses Pilkada.

Dan, jelas Hila, setelah mempertimbangan hasil survei pihak Telkomsel, Marius kemudian memberi rekomendasi untuk pembangunan tower di dua lokasi di Ruteng.

Ia mengaku, setelah itu, ia berpikir, kalau dua sudah diberi rekomendasi, yang lainnya juga diberi ruang.

Karena itu, Hila menerbitkan 9 izin lainnya. “Saya menerbitkan itu karena saya diperintah wakil bupati sebelumnya bahwa saya punya wewenang menerbitkan IP IMB (Izin Prinsip Izin Mendirikan Bangunan),” katanya.

“Kalau ada peluang investasi, mengapa tidak dibuka ruangnya,” katanya, meski memang hal ini kemudian dipakai Deno sebagai alasan untuk memberhentikannya.

Hila pun mengatakan, “Yang jadi soal, larangan zaman mereka (Credo), tapi Pak Marius kan bupati. Mestinya yang ditegur, Pa Marius, karena dia yang rekomendasikan.”

Ia juga menjelaskan, izin pembanguna tower yang ia terbitkan adalah “demi kepentingnanya masyarakat Manggarai.”

Kaitan dengan Dugaan Korupsi?

Ketika ditanya apakah ada soal lain di balik pemberhentian ini, Hila menduga, jangan-jangan ada hubungannya dengan kasus dugaan korupsi dalam pembangunan kantor PPTSP yang kini ditangani Polres Manggarai.

Ia menyebut, Juli lalu, kantornya itu diperiksa oleh tim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Polres karena kata Hila, menurut desas-desus, pembangunannya kurang bagus.

Ia menjelaskan, pada 18 Juli, ia disurati Kapolres Manggarai, yang meminta izin untuk memasuki kantornya, supaya kantor itu bisa diperiksa.

Menanggapi surat itu, pada 21 juli, ia mengkomunikasikan soal surat itu ke Bupati Deno.

“Dan jawaban bupati, buat surat penolakan dengan merujuk pada pasal 384 dan 385 tentang Pemerintahan Daerah,” kata Hila.

Isi peraturan itu, katanya, terkait adanya kordinasi dengan bupati sebelum penegak hukum melakukan penegakan hukum di lingkungan birokrasi.

Mendapat jawaban demikian, Hila kemudian menjawab surat Kapolres, di mana ia meminta untuk langsung menyurati bupati, bukan dirinya.

Kata Hila, Kapores membalas surat itu pada 22 Juli.

“Kapolres bilang, ‘Saya tidak sedang memeriksa staf bapak, saya memeriksa CV Tri Sampurna (yang mengerjakan proyek itu), dengan objek kantor bapak.’ Dan, di surat itu, saya diminta jangan menghalang-halangi polisi. ‘Karena bapak akan dianggap menghambat kami,’ begitu kata Kapolres.”

Mendapat surat demikian, Hila lalu mengizinkan polisi mendatangi kantornya.

Polisi, katanya, meminta agar bisa melakukan pemeriksaan pada 23 dan 24 Juli.

“Namun saya menolak, karena hari itu hari Sabtu dan Minggu. Saya mengizinkan 25 dan 26 Juli, saat hari kerja,” katanya.

Pada 23 Juli, jelas dia, Bupati Deno dan Wakil Bupati Victor Madur sempat ke kantornya, melakukan sidak dan melihat-lihat kantor itu.

Namun, Hila menolak menafsirkan kaitan kehadiran Deno-Madur kala itu dengan kasus dugaan korupsi yang sedang diselidiriki polisi, juga hubungannya dengan pemberhentian dirinya.

“Saya tidak bisa komentar banyak soal itu. Yang pasti kantor dibangun 2011. Saya baru pakai itu kantor 2013, bulan Januari. Yang bangun bukan tanggung jawab saya, tapi Dinas PU, karena KPA (Kuasa Penggguna Anggaran – red) dan tendernya di sana,” jelas Hila.

Kini, ia mengaku hanya bisa menerima keputusan Deno.

“Itu wewenang mereka, tapi saya mau bilang, langkah mereka terlalu cepat,” katanya. (ARL/Floresa)

 

spot_img

Artikel Terkini