Mengganyang Kemerdekaan Pendidikan

Oleh: ANNO SUSABUN

Perayaan hari proklamasi atau yang akrab disebut acara tujuh belasan sudah terasa semarak. Indonesia sudah berhasil menapaki tujuh dekade lebih satu tahun usia kemerdekaannya. Acara tujuh belasan biasanya merupakan acara yang paling ditunggu-tunggu, lantaran membawa kegembiraan tersendiri, entah karena besarnya rasa gembira atas hari kemerdekaan atau boleh jadi karena banyaknya tradisi semarak tujuh belasan, misalnya pelbagai perlombaan menarik. Ekspresi kesemarakan ini jelas menggambarkan betapa kemerdekaan atau kebebasan dari keterjajahan menjadi suatu kebanggaan tak ternilai dalam jati diri sebuah bangsa, apalagi bangsa sebesar Indonesia.

Menjelang HUT kemerdekaan ke tujuh puluh satu ini, presiden Joko Widodo melakukan reshuffle kabinet Kerja. Salah satu yang diganti adalah Mendikbud Anies Baswedan. Posisinya digantikan oleh Muhadjir Effendi.

Tak lama setelah dilantik, Mendikbud Effendi, mengganggas kebijakan full day school sebagai salah satu program dalam seratus hari pertama kepemimpinannya. Kebijakan full day school atau sekolah sehari penuh dalam drafnya akan diterapakan pada sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP).

Rencana kebijakan ini langsung menuai pro dan kontra. Dalam penjelasannya, Mendikbud menyatakan merilis gagasan full day school ini dalam rangka membangun karakter anak didik agar tidak menjadi ‘liar’ di luar sekolah ketika orang tua mereka belum pulang kerja (www.pendidikanindonesia.com). Argumentasi mendikbud ini memang masuk akal mengingat kenyataan yang acapkali terjadi mempertontonkan betapa siswa kurang efektif memanfaatkan waktu untuk belajar. Selain itu, kekerasan terhadap anak seringkali terjadi lantaran sepulang sekolah anak-anak tidak berada di bawah pengawasan orang tua yang sedang sibuk bekerja.

Ganyang kemerdekaan pendidikan   

Mendengar kata pendidikan, barangkali sekolah menjadi asosiasi terdekat yang langsung terbayangkan. Akan tetapi, kesejatian pendidikan, hemat saya, bukan hanya sekolah melainkan juga pelakon lain, termasuk di dalamnya keluarga (rumah). Artinya peran keluarga tidak dapat digantikan begitu saja oleh peran pelakon lain, dalam hal ini lembaga sekolah. Pentingnya peran keluarga dalam pendidikan anak terletak pada bagaimana relasi antara anggota-anggotanya terjalin sehingga memungkinkan terciptanya pribadi anak yang sesuai dengan harapan. Dalam hal ini, dapat diasumsikan bahwa setiap keluarga tentu tidak menghendaki anak-anaknya tidak berhasil, apalagi berhasil menjadi ‘penjahat’.

Full day school dalam konteks ini persis hadir sebagai monster yang  mencaplok dan mengikis partisipasi orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Bayangkan apabila seorang anak sejak pagi hingga malam hari berada di sekolah, ia tentu lebih dekat berelasi dengan orang lain ketimbang orang tuanya. Artinya apa yang terjadi ialah terkikisnya kasih sayang orang tua yang sejatinya merupakan hal pertama dan utama yang mesti dimiliki anak dalam perkembangan psikologisnya. Menurut penulis, relasi sekolah dengan orang tua (rumah) ialah relasi komplementer yang saling melengkapi, bukan relasi substitutive yang saling menggantikan, apalagi sampai pada relasi alienatif yang saling meniadakan peran. Dalam artian ini, bisa saja asumsi orang tua mengarah pada anggapan bahwa sekolah (baca: Mendikbud) tidak lagi menaruh kepercayaan pada peranan mereka sebagai pendidik pertama dan utama seorang anak.

Tentang wacana full day school, selain persoalan terganyangnya peran keluarga, lingkungan sekitar atau realitas dunia pun turut disayangkan menjadi semakin jauh dari ranah pergumulan anak didik. Alhasil sekolah nantinya tidak lagi menjadi sarana ampuh yang memperkenalkan anak didik dengan realitas dunia, melainkan melulu menjadi ‘penjara baru’ di mana anak didik disekat dari relasinya dengan alam dan lingkungan sosial di sekitarnya. Karena dominasi sekolah yang berlebihan, dapat dipastikan nantinya pribadi anak menjadi tertekan dan terasing dari dunia alam dan terutama pergaulan sosial. Prof Kurt Singer dalam karyanya Wenn Schule krank macht (Jika Sekolah membuat sakit; 2000) menamai pendidikan sekolah yang sarat dengan pembebanan diri anak sebagai schwarzer Paedagogik atau pedagogi hitam (Sindhunata, “Awas Pedagogi Hitam”, dalam BASIS ed. Januari-Februari 2001, p 3).

Bias lain yang bakal diproduksi dari kebijakan ini ialah ketidakefektifan waktu. Dalam kenyataan bangunan masyarakat yang kompleks dari Sabang hingga Merauke apakah pantas full day school diberlakukan. Saya kira kita semua mesti sepakat untuk mengatakan tidak. Ketidakmerataan infrastruktur di berbagai daerah tentunya membuat kebijakan ini mereproduksi masalah-masalah baru, misalnya ketika full day school diterapkan dan kondisi sekolah tidak memungkinkan untuk belajar sore hari, antara lain karena ada rombongan belajar yang sekolahnya diadakan sore hari lantaran kekurangan ruang kelas. Selain itu, kenyataan menunjukkan ada siswa yang mesti berjalan jauh ke sekolah, maka ketika mereka harus bersekolah hingga malam bagaimana mereka akan pulang ke rumah?

Bukankah banyaknya kegiatan ekstrakurikuler yang terjadi selama ini di sekolah-sekolah sudah cukup mengembangkan kepribadian siswa? Jika Mendikbud meragukan soal efektivitas waktu belajar, bukankah kegiatan belajar sore juga banyak diselenggarakan slama ini tanpa mesti memaksa anak didik untuk tinggal di sekolah seharian hingga malam hari? Bukankah juga rumah dapat menjadi wadah bagi anak untuk belajar religiositas? Apakah hanya sekolah atau guru yang berkompetensi memberi pelajaran mengaji bagi peserta didik?

Dalam pandangan Paulo Freire, tokoh pendidikan pembebasan, pendidikan mesti menjadi miniatur kehidupan riil manusia di mana anak didik pertama-tama dibuat sadar tentang siapa dirinya dan bagaimana hubungannya dengan dunia di luar dirinya (Sindhunata, “Awas Pedagogi Hitam”, dalam BASIS ed. Januari-Februari 2001, p 3).

Sehubungan dengan wacana full day school, pandangan Freire memang sangat liberatif, bahwa ketertindasan di sekolah (di mana anak-anak dijejali dengan pelbagai macam hal yang di luar dari realitas dunia) tidak akan membuat pendidikan menjadi suatu sarana pembebasan atau pemerdekaan, selain menjadi suatu jeruji besi yang membatasi sosialitas peserta didik.

Maka, sejalan dengan itu, kebijakan full day school mesti dipikirkan lagi secara matang agar tidak terlanjur menjadi racun mematikan bagi pendidikan yang memerdekakan. Full day school mestinya segera dibahas kembali, jangan sampai mengganyang kemerdekaan pendidikan. Sebab, apalah arti kemerdekaan dari penjajahan bangsa asing apabila pendidikan menjadi penjajah baru bagi bangsa Indonesia sendiri.

Biodata penulis: 

Anno Susabun lahir di Manggarai Timur pada 24 Oktober 1997. Menamatkan pendidikan menengah pada SMP-SMA Seminari Pius XII Kisol. Saat ini sedang mempersiapkan kuliah pada Sekolah Tinggi Filsafat Ledalero, Maumere, Flores, NTT. Sejak SMA aktif menulis opini di Flores Pos, Pos Kupang, Warta FLOBAMORA, Floresa.co dan Kompas Muda.

 

spot_img

Artikel Terkini