Demi Komodo

Floresa.co – Saat berkunjung ke Taman Nasional Komodo (TNK) di Pulau Komodo pada Selasa lalu, 12 Juli 2015, hanya ada satu komodo yang dapat dilihat di sana. Sedang tidur dan malas-malasan di tepi pantai.

Tempat itu seketika tidak seserem yang dibayangkan, di mana seharusnya komodo berjumlah banyak dan berkeliaran di mana-mana.

Barangkali mereka sesekali bertengkar dan lain sebagainya.

Namun, bagi ranger – sebutan untuk pawang –  komodo satu-satunya itu tersebut adalah penyelamat.

Di saat kunjungan wisatawan meningkat pada bulan-bulan ini, hanya komodo itu yang masih bebas berkeliaran dan dapat disaksikan para pengunjung.

Yang lain, kata mereka, lagi musim kawin. Sembunyi. Sulit dicari.

Usia komodo itu, menurut ranger, sekitar 40 tahun. Usia yang sudah cukup tua.

Sedikit menghibur, dia berkata, “Yang tua biasanya memberikan kesempatan kepada yang muda”. Tentu maksudnya adalah soal kawin.

Masih berupaya menghibur, dia berkata lagi, “Kalian cukup beruntung. Dua rombongan pengunjung awal bahkan tidak melihat satu pun komodo”.

Dalam kasus tersebut, kata dia, pengunjung marah kepada agen travel.

Pengunjung beralasan, “mengapa masih menjual paket wisata menuju Pulau Komodo kalau komodonya tidak ada.”

Apa yang kami lakukan dengan seekor komodo itu? Kami cukup lama melihatnya. Memperhatikan matanya buka tutup secara lamban. Kakinya depannya berselojor. Tidak tampak siap menyerang siapapun. Ia juga tak bergerak sedikit pun.

Ranger pun meminta handphone kami. Seperti yang ia mungkin lakukan dengan tamu-tamu lain — kebetulan saya memperhatikan model foto dengan komodo di media sosial.

Ia membungkuk di depan komodo dan bersiap-siap memotret. Kami disuruhnya bersiap-siap di belakang komodo.

Saat dijepret, saya bayangkan, saya akan unggah di Facebook, dan mendapat berbagai komentar dan simbol “suka” dan banyak orang.

Mungkin ingin memuaskan kami yang datang, ranger coba menganggu komodo dengan tongkat bercabang.

Dia mengharapkan kepala komodo itu mendongak seperti siap menyerang, lalu memotret kami. Tapi, sialnya komodo itu hanya membuka mata, lalu tutup kembali. Tidak bergerak sedikitpun.

Sedikit kesal, kami menghibur satu sama lain.

Ibu Hilma, peneliti dari Agrarian Research Center (ARC) berkelakar, “Siapa tahu ketika kita pulang, komodonya bangun dan membuka jaketnya.”

Ia memberikan contoh seperti seorang badut yang usai menjalankan tugasnya.

Yang lain, tak mau kalah untuk membenarkan keadaan itu. Karena kami datang dengan Wakil Ketua Komnas HAM, Dianto Bachriadi, Edward Angimoy, peneliti Sunspirit for Justice and Peace berseloroh, “Mungkin karena komodo tahu kalau kita datang dengan Komnas HAM. Mereka tahu kita lebih menghargai hak-hak manusia daripada komodo”.

Setelah melihat-lihat sebentar, kami pulang. Sebelum mencapai dermaga, saya mendengar kisah tentang komodo dari salah seorang penduduk Kampung Komodo. Haji Majid, namanya.

Menurutnya, komodo adalah saudara kembar dari manusia. Dulunya penduduk komodo kalau berburu rusa, organ dalam dan kepalanya ditinggalkan di hutan. Disisakan untuk saudara manusia yakni komodo.

Tentang kehidupan masyarakat komodo, dia juga bercerita. “Dahulu pagar kebun masyarakat di sini!” katanya sambil menunjuk deretan pepohonan yang tumbuh rapi dalam kawasan taman nasional.

Padahal, semula saya berpikir, pohon-pohon itu sengaja ditanam oleh pihak pengelolah TNK agar memperindah tampilan kawasan itu. Rupanya saya salah.

Haji Majid menjelaskan, dahulu warga mempunyai kebun di sana. Namun semenjak menjadi kawasan TNK pada tahun 1980-an, tanah-tanah warga diambilalih.

Sekarang ini, kata dia, warga kampung Komodo hanya tinggal dalam pemukiman yang sempit. Sebagian besar mata pencarian adalah pematung dan penjual suvenir.

Sebelumnya, hampir semua warga berprofesi sebagai nelayan. Tetapi, sebagai kawasan konservasi, kegiatan melaut akhirnya dibatasi. Para penduduk beralih profesi menjadi penjual soveinir dan penjual patung komodo.

Papagarang

Lumayan jauh dari kampung Komodo, yakni sekitar dua jam perjalanan dan melewati gelombang laut yang cukup besar, kami berlabuh di kampung Papagarang.

Sekitar seratus meter mendekati pantai, tampak pulau Paparang sangat gersang.

Ketika pada bulan April datang ke pulau itu, penduduk mengakui bahwa nelayan adalah pekerjaan mereka satu-satunya.

Tanah di sana tidak bisa menjadi sumber penghidupan. Bahkan, air untuk mandi dan cuci pakaian saja didatangkan dari luar pulau. Warga harus membeli air.

Akan tetapi, kehidupan sekitar 1.700 warga di sana boleh dikatakan telah rela berkorban demi keberlangsungan hidup komodo selama bertahun-tahun.

BACA: Desa Papagarang dan Ironi Zonasi di Taman Nasional Komodo

Mengapa? Kampung Paparang sudah masuk dalam kawasan TNK sejak tahun 2000 karena adanya sistem zonasi.

Dengan penetapan itu, sudah ada tiga kampung dalam kawasan TNK. Dua lainnya adalah Kampung Komodo dan Kampung Rinca.

Dari paparan warga, sistem zonasi ini adalah bagian dari upaya konservasi komodo dan TNK.

Melindungi alam sekitar Pulau komodo dan Pulau Rinca, antara lain kawasan daratan dan lautan, termasuk Lampung Papagarang demi melestarikan satwa langka, komodo.

Sudah sering warga mempertanyakan status itu. Pada pertemuan bulan April, Abdul Hamid mengatakan, “Di sini tidak ada komodo. Apa yang mau dilindungi?”

Menurutnya, tidak ada untungnya masuk dalam kawasan TNK. Sebab, kata dia, bagi warga setempat, melindungi komodo berarti mengorbankan hak-hak warga setempat.

Tidak ada penghormatan terhadap kedua-duanya, yakni manusia dan komodo sekaligus.

Secara kasarnya, kata Wakil Ketua Komnas HAM, Dianto, yang mau dikatakan sebagai kawasan taman nasional sama dengan memperlakukan semua dalam kawasan seolah-olah kawasan tak berpenduduk. Dengan kata lain, seharusnya pemukiman dan masyarakat tidak boleh berada di dalam kawasan TNK.

BACA: Menanti Konflik di Labuan Bajo

Namun faktanya, hampir semua kawasan taman nasional di Indonesia sudah ada pemukiman warga di dalamnya. Bukan karena pemukiman yang muncul belakangan saat status taman nasional sudah ditetapkan, tetapi pemukiman yang mendahului penetapan itu dan punya pertalian sejarah dan cerita dengan keberadaan satwa langka di dalamnya.

“Untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak warga itu, aturan diubah. Tidak kaku. Disesuaikan dengan kondisi yang ada. Atau kemungkinan lain, dibuatkan aturan oleh otoritas BTNK (Balai Taman Nasional Komodo) yang berlaku terbatas” ujarnya Dianto.

Apa yang dialami warga di tiga kampung itu hampir sama. Sama-sama tidak boleh memiliki sertifikat tanah meskipun selalu membayar pajak. Tidak mudah mendapat fasilitas pendidikan, kesehatan, dan ruang mata pencarian.

Di Pulau Komodo, misalnya, SMA tidak mudah dibangun lantaran tidak mendapat izin dari pihak BTNK.

Sebagai satu-satunya mata pencarian, kehidupan nelayan di Papagarang juga sangat sulit. Kawasan penangkapan ikan dibatasi.

Di dalam kawasan TNK, tidak boleh menangkap ikan sembarangan. Seorang warga mengaku pernah ditodong senjata beberapa tahun silam dan menyisakan trauma.

Di satu pihak mereka boleh susah menangkap ikan, di lain pihak mereka menyaksikan langsung bagaimana bisnis diving dan snorkeling mengambil untung dalam kawasan konservasi secara masif.

BACA: Mabar dan Ironi Pembangunan Pariwisata

Menghadapi hubungan yang tidak saling menguntungkan itu, baik warga di Kampung Komodo dan Kampung Papagarang sudah terus-menerus mengeluhkannya.

Abdul Malik, seorang guru di Kampung Komodo mengatakan, “Kalau warga kampung digigit komodo, mungkin lebih baik membiarkan dia mati daripada memukul komodo sampai mati”.

Sampai kapan ironi itu berakhir? (Gregorius Afioma/ARL/Floresa)

spot_img
spot_img

Artikel Terkini